Penilaian Efektivitas KUR

Penilaian Efektivitas KUR
Fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan bank-bank milik pemerintah pusat ataupun daerah disebut bank pelaksana, pada hakikatnya bertujuan memperbesar akses UMKM ke kalangan perbankan. KUR merupakan kredit modal kerja dan/atau kredit investasi yang dibiayai sepenuhnya oleh  dana perbankan, diberikan kepada UMKM dan koperasi yang produktif, serta secara bisnis layak tetapi dari sudut pandang perbankan belum layak atau belum bankable. 
Besaran nilai pinjaman dari KUR mikro maksimum Rp 25 juta dan KUR ritel maksimum Rp 500 juta, dengan suku bunga saat ini 9% per tahun disubsidi pemerintah. Program KUR ini dibuat karena selama ini mayoritas UMKM, terutama usaha mikro dan kecil, sulit mendapatkan pinjaman komersial dari bank, karena mereka tidak memiliki aset berharga yang bisa dijadikan agunan atau kolateral. 
Pemerintah sebenarnya sadar selama ini bahwa banyak kendala yang dihadapi UMKM, bukan saja keterbatasan modal. Hasil survei usaha mikro dan kecil 2013 oleh BPS, membuktikan bahwa permasalahan utama dari mayoritas usaha mikro dan kecil yang disurvei adalah kesulitan pemasaran; disusul kemudian kesulitan pengadaan bahan baku dan keterbatasan modal. Namun, sejak awal Orde Baru, model seperti KUR di waktu lalu ada dua skim kredit untuk UMKM, yakni kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP), yang sampai hingga sekarang ini skim kredit seperti ini masih menjadi andalan pemerintah untuk membantu kalangan pengusaha mikro dan kecil. 
Tidak hanya itu. Dalam paket kebijakan ekonomi Jilid 3 yang diluncurkan beberapa bulan lalu bertujuan meningkatkan daya saing, produksi, dan jumlah wirausaha, salah satu solusinya adalah menurunkan suku bunga KUR dari 9% ke 7%. Namun sayangnya, hingga sekarang tidak ada kebijakan pengembangan UMKM yang fokus pada, misalnya, pengembangan teknologi di UMKM, dengan salah satu solusinya, misalnya penerapan sistem voucer seperti yang sudah lama diterapkan di negara-negara industri maju.  
Padahal, kita semua sadar bahwa uang itu ada di mana-mana, banyak calon investor, banyak perusahaan yang secara potensial mau menjadi sumber modal ventura. Sekarang bergantung pada UMKM itu sendiri. Jika UMKM bisa meyakinkan pemilik modal bahwa produk yang mereka ciptakan unik, atau berdaya saing tinggi, atau memiliki prospek pasar yang baik, pasti uang itu akan datang. Sekarang pertanyaannya: apakah KUR terbukti efektif bagi perkembangan UMKM di negeri ini? 
Kita tentu harus sepaham dulu dengan pengertian "efektif". Dari sejumlah pernyataan dan laporan resmi pemerintah selama ini, tampaknya penilaian efektivitas keberhasilan dari sebuah skim kredit, umumnya mencakup pada pencapaian target seperti jumlah kredit yang disalurkan meningkat terus, jumlah penerima kredit mencapai target; dan tidak ada kredit macet (NPL nol). Ini sebenarnya pola penilaian keliru terhadap skim kredit. 
Idealnya, sebuah skim kredit berhasil apabila kondisi si penerima menjadi lebih baik. Jadi, KUR dapat dianggap berhasil apabila UMKM penerima menjadi lebih baik. Misalnya, sebelum dapat KUR, seorang perajin makanan hanya mampu membuat 50 porsi makanan setiap minggu karena keterbatasan dana. Setelah meminjam KUR, dia bukan saja mampu menambah jumlah porsi makanannya, tetapi mampu menyewa bangunan yang lebih layak untuk menampung jumlah tamu yang lebih banyakdengan kualitas jauh lebih baik, dan sudah punya karyawan di warungnya.  
Artinya, efektivitas KUR harus dilihat dari sisi kualitas, bukan kuantitas. Dan pihak bank penyalur jangan menyalahgunakan tujuan KUR misalnya, diberikan kepada karyawan kantor sehingga seolah-olah berubah menjadi kredit tanpa agunan (KTA). Karena faktor penilaian target dan keamanan pengembalian pinjamannya di kemudian hari. 
Bank pelaksana khususnya ada bank BUMN yang seenaknya meminta agunan tambahan kepada debitur skala kecil maksimum pinjaman Rp 25 juta. Ini jelas bahwa bank hanya mengejar target dan berpikir menyelamatkan dananya, ketimbang mengikuti persyaratan yang ditetapkan pemerintah, bahwa untuk pinjaman maksimal Rp 25 juta, bank dilarang meminta jaminan tambahan. Ini menjadi bahan masukan buat pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan KUR di masa depan supaya lebih akomodatif terhadap masyarakat yang benar-benar membutuhkan pinjaman skala kecil itu.

Fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan bank-bank milik pemerintah pusat ataupun daerah disebut bank pelaksana, pada hakikatnya bertujuan memperbesar akses UMKM ke kalangan perbankan. KUR merupakan kredit modal kerja dan/atau kredit investasi yang dibiayai sepenuhnya oleh  dana perbankan, diberikan kepada UMKM dan koperasi yang produktif, serta secara bisnis layak tetapi dari sudut pandang perbankan belum layak atau belum bankable. 

Besaran nilai pinjaman dari KUR mikro maksimum Rp 25 juta dan KUR ritel maksimum Rp 500 juta, dengan suku bunga saat ini 9% per tahun disubsidi pemerintah. Program KUR ini dibuat karena selama ini mayoritas UMKM, terutama usaha mikro dan kecil, sulit mendapatkan pinjaman komersial dari bank, karena mereka tidak memiliki aset berharga yang bisa dijadikan agunan atau kolateral. 

Pemerintah sebenarnya sadar selama ini bahwa banyak kendala yang dihadapi UMKM, bukan saja keterbatasan modal. Hasil survei usaha mikro dan kecil 2013 oleh BPS, membuktikan bahwa permasalahan utama dari mayoritas usaha mikro dan kecil yang disurvei adalah kesulitan pemasaran; disusul kemudian kesulitan pengadaan bahan baku dan keterbatasan modal. Namun, sejak awal Orde Baru, model seperti KUR di waktu lalu ada dua skim kredit untuk UMKM, yakni kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP), yang sampai hingga sekarang ini skim kredit seperti ini masih menjadi andalan pemerintah untuk membantu kalangan pengusaha mikro dan kecil. 

Tidak hanya itu. Dalam paket kebijakan ekonomi Jilid 3 yang diluncurkan beberapa bulan lalu bertujuan meningkatkan daya saing, produksi, dan jumlah wirausaha, salah satu solusinya adalah menurunkan suku bunga KUR dari 9% ke 7%. Namun sayangnya, hingga sekarang tidak ada kebijakan pengembangan UMKM yang fokus pada, misalnya, pengembangan teknologi di UMKM, dengan salah satu solusinya, misalnya penerapan sistem voucer seperti yang sudah lama diterapkan di negara-negara industri maju.  

Padahal, kita semua sadar bahwa uang itu ada di mana-mana, banyak calon investor, banyak perusahaan yang secara potensial mau menjadi sumber modal ventura. Sekarang bergantung pada UMKM itu sendiri. Jika UMKM bisa meyakinkan pemilik modal bahwa produk yang mereka ciptakan unik, atau berdaya saing tinggi, atau memiliki prospek pasar yang baik, pasti uang itu akan datang. Sekarang pertanyaannya: apakah KUR terbukti efektif bagi perkembangan UMKM di negeri ini? 

Kita tentu harus sepaham dulu dengan pengertian "efektif". Dari sejumlah pernyataan dan laporan resmi pemerintah selama ini, tampaknya penilaian efektivitas keberhasilan dari sebuah skim kredit, umumnya mencakup pada pencapaian target seperti jumlah kredit yang disalurkan meningkat terus, jumlah penerima kredit mencapai target; dan tidak ada kredit macet (NPL nol). Ini sebenarnya pola penilaian keliru terhadap skim kredit. 

Idealnya, sebuah skim kredit berhasil apabila kondisi si penerima menjadi lebih baik. Jadi, KUR dapat dianggap berhasil apabila UMKM penerima menjadi lebih baik. Misalnya, sebelum dapat KUR, seorang perajin makanan hanya mampu membuat 50 porsi makanan setiap minggu karena keterbatasan dana. Setelah meminjam KUR, dia bukan saja mampu menambah jumlah porsi makanannya, tetapi mampu menyewa bangunan yang lebih layak untuk menampung jumlah tamu yang lebih banyak dengan kualitas jauh lebih baik, dan sudah punya karyawan di warungnya.  

Artinya, efektivitas KUR harus dilihat dari sisi kualitas, bukan kuantitas. Dan pihak bank penyalur jangan menyalahgunakan tujuan KUR misalnya, diberikan kepada karyawan kantor sehingga seolah-olah berubah menjadi kredit tanpa agunan (KTA). Karena faktor penilaian target dan keamanan pengembalian pinjamannya di kemudian hari. 

Bank pelaksana khususnya bank BUMN tertentu ada yang seenaknya meminta agunan tambahan kepada debitur skala kecil maksimum pinjaman Rp 25 juta. Ini jelas bahwa bank hanya mengejar target dan berpikir menyelamatkan dananya, ketimbang mengikuti persyaratan yang ditetapkan pemerintah, bahwa untuk pinjaman maksimal Rp 25 juta, bank dilarang meminta jaminan tambahan. Ini menjadi bahan masukan buat pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan KUR di masa depan supaya lebih akomodatif terhadap masyarakat yang benar-benar membutuhkan pinjaman skala kecil itu.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…