Mendorong Cashless Generation Sebagai Cikal Bakal Clear Nation

Oleh: Lolita Banni Rachmadian, Staf Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu *)

Jika kita pernah membaca komik Donal Bebek, kita tentu mengenal tokoh Paman Gober, paman dari Donal Bebek yang digadang-gadang sebagai penduduk terkaya se-Kota Bebek.  Kekayaan Paman Gober digambarkan dengan kepemilikannya akan gudang uang, dan bahkan menjadikan tumpukan koin emasnya sebagai kolam renang dimana ia kerap berenang di dalamnya. Namun ternyata, kekayaan yang disimbolisasikan dengan memiliki uang banyak seperti pada karakter Paman Gober tersebut tidak hanya terjadi di dunia kartun saja. Di dunia nyata pun, tidak bisa kita pungkiri kalau seseorang akan dikatakan kaya jika ia berdompet tebal, memegang bergepok uang tunai, dan memiliki banyak harta yang likuid. Atau setidaknya, stigma itu bertahan sampai beberapa tahun lalu.

Menginjak era milenium, penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran sedikit-sedikit mulai berkurang. Pembayaran menggunakan kartu debit maupun kartu kredit mulai banyak digemari. Perlahan-lahan jumlah uang tunai yang ada di dalam dompet seseorang mulai berkurang, berganti keberadaan kartu-kartu ‘sakti’. Di masa kini, ‘kartu sakti’ bahkan tidak hanya berarti kartu debit maupun kartu kredit lagi, tetapi juga kartu uang elektronik yang bisa merangkap sebagai kartu belanja, kartu transportasi, kartu tol, bahkan kartu untuk membayar parkir. Kekayaan kini tidak lagi dikaitkan dengan memegang banyak uang. Banyak orang seperti telah tersadar bahwa memegang banyak uang tunai justru memiliki berbagai kekurangan seperti rawan hilang dan tidak praktis. Dari sini, cashless generation telah terbentuk.

Dari sisi pengelola keuangan negara, lahirnya cashless generation ini sebetulnya memiliki lebih banyak kelebihan dibanding saat penggunaan uang tunai masih merajai moda pembayaran di kehidupan sehari-hari. Baik untuk penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dengan moda elektronik berarti uang secara langsung masuk ke dalam kas negara. Hal ini memiliki andil dalam upaya mengurangi fraud pada institusi-institusi penerimaan negara. Menurut teori segitiga fraud oleh Donald Cressey (1973), seorang kriminolog asal Amerika Serikat, fraud dapat terjadi karena tiga faktor: Opportunity (Kesempatan), Pressure (Tekanan), dan Rationalization (Pembenaran). Penerimaan negara dalam bentuk uang tunai menimbulkan kesempatan bagi pegawai, terutama yang langsung berhubungan dengan penerimaan uang seperti kasir, bendahara, maupun pembuat laporan kas, untuk melakukan fraud, misalnya dalam bentuk pencurian atau manipulasi laporan. Hal ini dapat terjadi karena sifat uang tunai yang merupakan aset yang paling mudah/rawan disalahgunakan.

Metode cashless sebetulnya telah sejak lama marak digunakan di negara-negara lain. Di Korea Selatan contohnya, Metode cashless didukung penuh oleh pemerintah, salah satu caranya dengan menerapkan sistem diskon bagi warga negara yang memilih menggunakan kartu alih-alih uang tunai. Kebijakan ini terasa jelas terutama pada penggunaan transportasi umum, di mana penumpang dengan kartu transportasi akan mendapatkan potongan harga tiket, tidak perlu membayar lagi saat pindah moda transportasi (kereta/subway ke bis, atau sebaliknya), maupun gratis naik shuttle bus pariwisata ke beberapa wisata terkenal di Korea Selatan. Hal ini tentu membuat warga secara sukarela pindah dari cara konvensional dengan menggunakan uang tunai, menjadi pengguna ‘kartu sakti’, karena berbagai keuntungan yang bisa mereka dapatkan. Bahkan di pasar tradisional, banyak toko sudah memiliki mesin EDC (Electronic Data Capture) untuk memfasilitasi pelanggannya membeli tanpa uang tunai.

Sayangnya, di Indonesia, pemerintah sepertinya belum berani menerapkan kebijakan serupa. Saya sempat sangat senang saat Indonesia mulai beralih menggunakan kartu elektronik, tapi segera sedikit kecewa karena tidak ada promosi yang dilakukan untuk lebih mendorong masyarakat agar lebih menyukai moda pembayaran tersebut. Untuk moda transportasi (busway dan KRL) terutama, warga malah seakan dipaksa untuk menggunakan kartu, bukan membuat mereka memilihnya secara sukarela. Dalam hal penerimaan pajak dan PNBP, saat ini memang sudah cukup baik dengan lebih dianjurkannya metode transfer/debit, tetapi tentu akan lebih baik jika masyarakat diberikan beberapa kelebihan jika menggunakan metode tersebut, seperti potongan pembayaran atau gratis biaya administrasi, apalagi jika membayar tepat waktu. Dengan begitu, diharapkan masyarakat akan lebih patuh dan memilih metode cashless dibandingkan uang tunai. Indonesia pun akan selangkah lebih maju menuju bangsa yang bersih (clear nation). (www.kemenkeu.go.id) *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…