Pelaku Usaha Keluhkan Banjir Impor Produk Makanan dan Minuman Asal ASEAN

NERACA

Jakarta – Kalangan pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) mengeluhkan banjir impor produk makanan dan minuman olahan asal empat negara ASEAN yakni Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. Agresivitas penetrasi produk mamin asal negeri tetangga itu diperkirakan akan memukul sektor industri mamin domestik secara telak. Selain itu, mereka juga menilai implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 akan memicu melonjaknya impor produk makanan dan minuman asal negeri jiran.

“Produk impor makanan dan minuman dari Asean terus menguat. Pada triwulan pertama tahun 2010 masih dari 4 negara, sekarang menjadi 5 negara. Vietnam meningkatkan volume ekspor produk makanan dan minuman ke Indonesia. Sementara, Malaysia dan Thailand masih mendominasi, serta agresif menyerbu pasar dalam negeri,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani saat dihubungi Neraca, Minggu (27/11).

Produk makanan dan minuman ASEAN yang masuk pasar Indonesia terutama berupa saus dan olahannya, campuran bumbu dan bahan penyedap, permen selain permen karet yang mengandung obat dan cokelat putih. Beberapa jenis makanan impor lainnya yaitu olahan makanan bayi dari kacang kedelai, produk-produk sereal dan filled milk atau susu lemak nabati.

Gapmmi menampilkan data impor makanan dan minuman asal Vietnam pada triwulan I 2011 menembus US$ 915 ribu dengan porsi sekitar 2%. Padahal, tahun lalu, tak ada catatan mengenai impor mamin dari negara tersebut. “Sepanjang tahun 2010, impor mamin dari 4 negara ASEAN berkontribusi sekitar 46,07 %. Sedangkan pada Januari-Maret 2011, porsi impor dari 5 negara Asean termasuk Vietnam, sudah mencapai 43,26%,” lanjut Franky.

Oleh karena itu, Gapmmi mendesak pemerintah meningkatkat daya saing industri mamin. “Pemerintah negara lain terus berbenah dan secara aktif meningkatkan daya saing industrinya. Sedangkan, industri mamin di dalam negeri masih menghadapi hambatan-hambatan klasik yang belum disikapi jelas oleh pemerintah. Yakni, terkait bunga bank di Indonesia masih diatas 13%, dibandingkan rata rata negara Asean lain pada level 1 digit,” tegas Franky.

Salah satu yang dikeluhkan industri mamin adalah tingginya bunga bank lokal dalam memberikan pinjaman sehingga ekspansi para pengusaha terkendala. "Masih adaa beberapa yang menjadi masalah serius industri mamin dalam negeri saat ini. Investor-investor baru yang berbasis luar negeri akan mudah berinvestasi karena menggunakan dana sendiri atau perbankan dengan bunga murah. Sementara industri dalam negeri tergantung bunga bank lokal yang menyediakan bunga mahal," katanya.

Kalah Bersaing

Di samping itu, lanjut Franky, kurangnya ketersediaan gas dan harga gas yang terus naik membuat industri mamin dalam negeri tidak efisien dan kalah bersaing dengan industri mamin Malaysia. "Mengapa? karena yang mendapat kepastian gas (juga listrik) dengan harga yang lebih murah didapatkan Malaysia. Ditambah masih banyaknya pungli-pungli di distribusi. Akibatnya, biaya produksi dan biaya distribusi mahal dan menyebabkan sekaligus melemahkan daya saing," jelas Franky.

Menurut Franky pasar Industri mamin dalam negeri perlu mendapat perlindungan antara lain dengan cara penetapan wajib label berbahasa Indonesia yang menyatu dengan kemasan. "Serta larangan menggunakan stiker. Saat ini banyak produk impor resmi dan ilegal yg beredar tanpa ijin," kata Franky.

Selain itu diperlukan penguatan pengawasan di daerah perbatasan (antar negara), pelabuhan-pelabuhan resmi dan pelabuhan lain pun merupakan ancaman serius adalah impor ilegal yang masih banyak di berbagai daerah perbatasan dan luar Jawa. Selain itu, masih ada persoalan lain yang dirasa Gapmmi menjadi kendala. Misalnya, kebijakan pajak dan tarif yang dianggap masih belum berpihak kepada industri nasional seperti bea masuk (BM) bahan baku masih lebih tinggi dari bahan jadi.

Kondisi tersebut, lanjut Franky, diperparah oleh kurang koordinasi antarinstansi dan regulasi. Termasuk, pengawasan yang lemah di smeua pelabuhan Indonesia. Sehingga, produk ilegal masih merajalela dipasar. “Untuk itu, kami mendesak pemerintah segera memberlakukan wajib label bahasan Indonesia menyatu pada kemasan produk pangan, peningkatan SNI dan pengawasan, terutama di pelabuhan tikus di seluruh Indonesia,” pungkas Franky.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…