Sektor Akuakultur - Pemerintah Kembangkan Budidaya Ikan Lele Sistem Bioflok

NERACA

Semarang – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong penyebaran teknologi bioflok untuk budidaya lele, karena budidaya lele dengan menggunakan teknologi bioflok tersebut telah terbukti mendorong peningkatan produksi ikan lele. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan percontohan budidaya lele sistem bioflok di Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) Karya Mina Sejahtera Bersama  Di Desa Duren, Kec. Bandungan, Kab. Semarang.

“Teknologi bioflok telah terbukti meningkatkan produksi lele di lahan yang terbatas. Disamping itu, budidaya lele menjadi lebih ramah lingkungan, hemat dalam penggunaan air dan pakan serta dapat dilakukan di lahan yang terbatas. Ini adalah wujud dari keselarasan pembangunan perikanan budidaya dengan tiga pilar pembangunan yaitu meningkatkan kedaulatan dalam arti kemandirian pembudidaya, mendukung keberlanjutan dalam hal usaha budidaya dan lingkungan serta mampu meningkatkan kesejahteraan pembudidaya,” kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada saat melakukan penebaran benih lele, sebagai tanda dimulainya percontohan budidaya lele system biofloc di Desa Duren, Kec. Bandungan, Kab. Semarang, disalin dari siaran pers, akhir pekan lalu.

Slamet menambahkan bahwa budidaya lele dengan sistem bioflok ini efektif dan mampu mendongkrak produktifitas lahan. “Dengan lahan yang terbatas, produksi lele masih dapat di tingkatkan, disamping itu biaya produksi juga dapat di tekan dan waktu budidaya juga lebih singkat, jika dibandingkan dengan budidaya lele dengan cara konvensional,” tambah Slamet.

“Sebagai gambaran, satu lubang atau satu kolam bioflok dengan kapasitas air 10 m3, dengan modal kurang lebih Rp. 5 juta rupiah, dapat di panen lele kurang lebih sebanyak 1 ton secara parsial selama kurun waktu 2,5 bulan. Apabila harga lele konsumsi adalah Rp. 15 ribu per kilogramnya, maka akan dapat diperoleh hasil kurang lebih Rp. 15 juta. Jadi pembudidaya akan mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 10 juta, selama kurun waktu 2,5 bulan untuk wadah satu lubang,” papar Slamet.

Produksi lele secara nasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2011 – 2015) mengalami peningkatan 21,31 % per tahun. Dari 337.577 ton pada tahun 2011, menjadi 722.623 ton pada 2015. “Peningkatan produksi lele per tahun yang mencapai 21,31 % ini merupakan kenaikan terbesar di bandingkan dengan komoditas air tawar lainnya seperti nila, mas, patin dan gurame. Ini juga menjadi bukti bahwa pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan serta efisien, mampu meningkatkan produksi ikan,” ungkap Slamet.

Teknologi bioflok telah terbukti ramah lingkungan dan meningkatkan kualitas daging lele yang dipanen. “Dari pengalaman pembudidaya yang sudah menerapkan teknologi bioflok ini, mengatakan bahwa rasa dagingnya berbeda dengan lele hasil budidaya konvensional, karena lele disamping makan pellet juga makan flock atau gumpalan2 yg terdiri dari organisme2 hidup (alga, bakteri dll), sehingga teknologi bioflok ini jg mampu menekan pakan buatan atau pellet.  Dari hasil percontohan di beberapa tempat fcr pakan dapat ditekan di bawah 1.  Dsamping itu, air hasil budidaya lele system biofloc tidak berbau dan sangat baik sekali untuk pupuk tanaman, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan bahkan dpt disinergikan dg budidaya tanaman misalnya hortikultur dan buah2an. Ini karena adanya microorganism yang mampu mengurai limbah budidaya itu sendiri dan air budidaya lele banyak mengandung bakteri seperti bacillus yg dpt menyuburkan semua jenis tanaman. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah suplai oksigen tidak boleh kurang. Oksigen ini membantu proses penguraian dan sekaligus mengaduk air kolam untuk meratakan suhu dan pakan,” jelas Slamet.

Teknologi yang dikembangkan dalam suatu usaha budidaya memang di dorong untuk ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) melalui Unit Pelaksana Teknisnya akan terus mengembangkan teknologi semacam bioflok untuk mendukung peningkatan produksi dan ramah lingkungan. Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, sebagai salah satu UPT DJPB, juga telah menyebarkan teknologi ini ke wilayah lain, seperti di Karawang, Magelang, Malang, Brebes, Pemalang dan Kediri. “Ini adalah wujud dari tekad KKP melalui DJPB untuk mewujudkan Perikanan Budidaya yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan,” pungkas Slamet.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…