Kementerian Keuangan dan Balanced Scorecard

Oleh: Risman, Staf Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu *)

Jika sebuah organisasi merencanakan untuk menerapkan manajemen kinerja yang baru, maka hal yang umum terjadi adalah timbulnya penolakan dari internal organisasi itu sendiri. Penolakan akan dilakukan oleh pegawai yang merasa terancam dengan pemberlakukan manajemen kinerja yang baru, sementara ia sebelumnya telah berada pada kondisi nyaman (comfort zone). Namun jika ingin survive, maka suatu organisasi mau tidak mau, dan suka tidak suka harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Begitupun dengan Kementerian Keuangan yang telah memutuskan untuk menerapkan konsep pengukuran kinerja sekaligus manajemen kinerja yang baru yang dikenal dengan Balanced Score Card(BSC). Tujuannya tidak lain adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman yang menuntut organisasi pemerintahan untuk memiliki kinerja  yang lebih baik sehingga dapat dicapai kepercayaan publik (public trust).

Model pengukuran kinerja BSC diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Robert S. Kaplan dan Doktor David P. Norton tahun 1992 melalui tulisan ilmiahnya yang berjudul “BSC: Measures That Drive Performance” pada jurnal ilmiah Amerika Serikat yaitu Harvard Business Review edisi Januari-Februari 1992. Adapun inti dari konsep BSC adalah suatu sistem manajemen kinerja yang bisa membantu organisasi untuk mewujudkan visi dan stategi organisasi menjadi sebuah tindakan nyata dengan cara melakukan pengukuran terhadap seluruh aspek strategis organisasi yang meliputi 4 (empat) perspektif yaitu perspektif keuangan (financial), pelanggan (customer), proses internal (internal process), dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth), sehingga menghasilkan outputoutcomes, dan atau impact yang diinginkan organisasi.

Sejak pertama kali dicetuskan, konsep BSC mulai sukses diterapkan pada beberapa organisasi swasta di Amerika Serikat, dan kemudian berhasil diterapkan di banyak perusahaan di seluruh dunia seperti Rockwater Inc., AT&T Canada Long Distance, Siemens AG, BMW Financial Services, Daimler Chrysler, Bank of Tokyo-Mitsubishi, Philips Electronics, dan lainnya. Seiring perkembangannya, konsep BSC juga telah berhasil diterapkan pada organisasi sektor publik di seluruh dunia. Organisasi sektor publik berbentuk pemerintahan yang pertama kali sukse menerapkan konsep BSC adalah pemerintah kota Charlotte City, North Caroline, Amerika Serikat pada tahun 1996. Berawal dari kesuksesan tersebut, maka kemudian BSC berhasil diterapkan di banyak lembaga pemerintahan dan organisasi nonprofit di berbagai negara seperti di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, EthiopiaKenya, pemerintahan Malaysia, Singapura, Filipina, dan lainnya.

Bagaimana dengan organisasi pemerintahan di Indonesia? Organisasi pemerintahan di Indonesia yang pertama kali menerapkan konsep BSC adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan hal ini merupakan terobosan besar bagi pemerintah Indonesia. Pada tahun 2008, Kemenkeu menerapkan konsep BSC secara bertahap yaitu dimulai pada level atas (belum sampai pada level unit organisasi terkecil). Penerapan BSC sampai pada unit organisasi terkecil (secara koheren) baru dimulai pada tahun 2011, hal ini sebagaimana diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan yang kemudian diganti dengan KMK No. 454/KMK.1/2011, dan diganti lagi dengan KMK No. 467/KMK.01/2014 sebagaimana kemudian diubah dengan KMK No. 556/KMK.01/2015.

Kebijakan Kemenkeu mengadopsi BSC sebagai tools untuk mengukur kinerja organisasi sekaligus sebagai alat manajemen strategis bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang good governance dan terciptanya kepercayaan masyarakat Indonesia maupun dunia terhadap kinerja organisasi Kementerian Keuangan.

Penerapan konsep BSC pada Kemenkeu dilatarbelakangi oleh adanya program reformasi birokrasi bersekala nasional sebagaimana diatur di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Di dalam Inpres tersebut secara umum diatur bahwa seluruh kementerian wajib membuat penetapan indikator dan target kinerja yang dapat menjelaskan keberhasilan pencapaian kinerja organisasinya baik berupa hasil (output) maupun berupa manfaat (outcome). Selain itu, terdapat pengaturan yang bersifat khusus yang ditujukan kepada Kemenkeu agar melaksanakan tugas dan fungsi yang strategis dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara, sehingga Kemenkeu mempunyai peran sangat strategis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi tidak terlepas dari keuangan dan kekayaan negara.

Namun demikian, pada dasarnya reformasi birokrasi pada Kemenkeu telah dimulai sejak tahun 2003 yaitu sejak adanya reformasi di bidang keuangan negara melalui penerbitan paket Undang-Undang Keuangan Negara yang terdiri dari: 1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan 3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Program reformasi birokrasi tersebut kemudian dikuatkan lagi dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia No. 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.

Sebagai wujud pelaksanaan reformasi birokrasi, selanjutnya Kemenkeu membuat inisiatif tersendiri yaitu membuat agenda reformasi birokrasi yang khusus diberlakukan pada internal Kemenkeu. Agenda reformasi dimaksud bertumpu pada tiga pilar utama yaitu: 1) Penataan dan penajaman fungsi organisasi, 2) Penyempurnaan proses bisnis (business process), dan 3) Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai puncaknya, untuk mencapai keberhasilan reformasi birokrasi tersebut, maka pada tahun 2007 Kemenkeu telah menetapkan penggunaan konsep BSC sebagai alat pengukuran sekaligus pengelolaan kinerja yang penerapannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2008. Hasil penilaian kinerja dengan menggunakan konsep BSC tersebut kemudian dijadikan sebagai alat “early warning system” bagi para pimpinan, untuk itu para pimpinan dituntut selalu siap sedia (standby) dengan cara bersikap antisipatif dan proaktif terhadap perubahan kondisi, serta harus mampu mencuri kesempatan emas yang dapat muncul kapan saja, demi tercapainya tujuan reformasi birokrasi.

Apakah implementasi BSC pada Kemenkeu telah berhasil dengan baik? BSC didefinisikan oleh Kemenkeu sebagai suatu alat manajemen strategis yang dapat menerjemahkan visi, misi, tujuan, dan strategi ke dalam kerangka operasional. Sebagai sistem pengukuran kinerja sekaligus manajemen kinerja pada organisasi pemerintahan, BSC memang tidak mudah untuk diterapkan, butuh proses belajar yang memadai demi kesempurnaan. Sampai dengan saat ini, implementasi BSC oleh Kemenkeu telah berjalan kurang lebih delapan tahun dan telah mengalami berbagai perkembangan berupa penyempurnaan proses implementasinya menuju konsep ideal sebagaimana dicetuskan oleh para ahli, dan tampaknya berusaha mendekati best practices di dunia. Tindakan penyempurnaan tersebut antara lain terlihat dari pemberlakukan implementasi BSC secara koheren yaitu pemberlakuan penerapan konsep BSC pada semua level organisasi tanpa terkecuali dari level Menteri sampai pada unit kerja terkecil bahkan sampai kepada level pegawai, dan adanya tindakan perbaikan terhadap standardisasi implementasi BSC melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kemenkeu.

Melihat pada perkembangan implementasi konsep BSC pada Kemenkeu, dengan case study pada salah satu unit organisasi eselon I di bawah Kemenkeu yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), maka saat ini dapat dilihat adanya perubahan yang signifikan di internal organisasi DJKN antara lain setiap pegawai telah mempunyai Indikator Kinerja Utama (IKU) dan target kinerja masing-masing, dan pada level  organisasi (corporate) telah dibuat peta strategi yang dapat menggambarkan strategi unit kerjanya secara jelas (clear), yang kesemuanya dibuat secara top down melalui proses cascading dan alignment. Selanjutnya, reward and punishment diterapkan bagi pegawai dan/atau unit kerja sesuai dengan target masing-masing. (www.kemenkeu.go.id*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…