NERACA
Jakarta – Niat yang baik, tidak selamanya direspon positif. Langkah inilah yang dilakukan pemerintah terkait rencana holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi yakni PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) dengan PT Pertamina yang justru mendapatkan resistensi. Menurut Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Iwa Garniwa, pemerintah sebaiknya membesarkan PT PGN (Persero) Tbk dibandingkan menggabungkannya dengan PT Pertamina (Persero) melalui skema perusahaan induk (holding).”Penggabungan PGN ke Pertamina tidak mudah,"ujarnya di Jakarta, Selasa (23/8).
Menurut dia, sebagian saham PGN sudah menjadi milik publik, sehingga Pertamina harus membeli dulu saham tersebut.”Saya kira bukan hal yang mudah bagi Pertamina membeli saham publik PGN. Andaipun bisa dibeli, harga jual sahamnya pasti tinggi dan akan menjadi masalah keuangan Pertamina sendiri," tuturnya.
Di sisi lain, lanjutnya, opsi PGN dilebur dengan anak usaha Pertamina, PT Pertagas, ataupun berdiri sendiri pascapenggabungan juga bukan perkara mudah, mengingat selama ini PGN-Pertagas cenderung bersaing, sehingga ke depannya bakal menimbulkan masalah organisasi. Oleh karena itu, tambah Iwa, pemerintah lebih baik membesarkan PGN sebagai BUMN tersendiri yang fokus mengelola hilir gas.”Sedang, Pertamina fokus pada pengelolaan minyak bumi baik di hulu maupun hilir serta gas di hulunya," ujarnya.
Hal senada sebelumnya dikemukakan ekonom UI Faisal Basri. Dirinya meminta pemerintah kembali ke skenario awal pembentukan "holding" BUMN energi yakni PGN mengakuisisi Pertagas. Selanjutnya, menurut mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu, pemerintah mendorong Pertamina lebih fokus di hulu dengan menggalakkan eksplorasi, eksploitasi, dan pemilikan ladang minyak dengan cadangan besar di luar negeri yang bisa memasok kebutuhan kilang di dalam negeri.
Sementara, PGN bisa lebih kokoh di hilir sebagai perusahaan utilitas yang memasok gas untuk rumah tangga, industri, dan bisnis.”Dengan skenario itu agaknya bauran energi (energy mix) akan menjadi lebih progresif," kata Faisal
Sebelumnya, pakar hukum energi dari UI, Wasis Susetyo menyatakan, tidak ada aturan dan hukum yang ditabrak dalam holding BUMN Migas, termasuk terkait pola inbreng saham. Sebaliknya, menurut dia, di Jakarta, Senin pembentukan holding BUMN tersebut justru sangat mendesak dan sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.”Tidak ada satu pun yang dilanggar. Bahkan, pembentukan holding adalah perwujudan amanah konstitusi yang merupakan landasan hukum tertinggi di negara kita," kata Wasis menanggapi pernyataan mantan Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri.
Menurut Wasis, tak ada yang salah dengan inbreng saham, sebab, holding berbeda dengan merger atau akuisisi yang akan "mematikan" badan usaha lain. Sedangkan dalam holding, baik PGN maupun Pertamina masih tetap ada dan beroperasi sebagaimana biasa, yang berbeda, hanya perencanaan, koordinasi, dan pengendalian yang sekarang berada di bawah holding.
"Jadi inbreng tidak selalu terhadap aset, SDM, atau uang tunai. Inbreng saham juga bisa, karena inbreng hanya diperlukan untuk membuat payung hukum," tandasnya. (bani)
Summarecon Crown Gading yang merupakan kawasan terbaru Summarecon yang di Utara Timur Jakarta, kini semakin berkembang. Saat ini sedang berlangsung…
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) memperkirakan sektor logistik nasional tahun ini mengalami pertumbuhan tujuh sampai dengan delapan persen. Tak heran, bisnis…
NERACA Jakarta - Perusahaan jasa pelayaran dan logistik PT Mitra Investindo Tbk (MITI) membukukan laba bersih yang meningkat signifikan 212% year…
Summarecon Crown Gading yang merupakan kawasan terbaru Summarecon yang di Utara Timur Jakarta, kini semakin berkembang. Saat ini sedang berlangsung…
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) memperkirakan sektor logistik nasional tahun ini mengalami pertumbuhan tujuh sampai dengan delapan persen. Tak heran, bisnis…
NERACA Jakarta - Perusahaan jasa pelayaran dan logistik PT Mitra Investindo Tbk (MITI) membukukan laba bersih yang meningkat signifikan 212% year…