Pentingnya Teknologi bagi Kinerja Sektor Keuangan

 

Oleh: Achmad Deni Daruri

President Director Center for Banking Crisis

 

Teknologi menjadi satu-satunya solusi untuk meningkatkan kinerja sektor keuangan ketika era deflasi menghantui perekonomian. Sementara dari sisi permintaan diperkirakan perekonomian dunia akan terus melemah. Hingga saat ini memperlihatkan bahwa negara berkembang termasuk China yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia selama sepuluh tahun terakhir akan mengalami pelemahan kinerja perekonomian.

Ada kecenderungan motor pertumbuhan ekonomi negara berkembang termasuk China bergeser dari investasi menjadi konsumsi dimana pertumbuhan modal melamban karena kondisi keuangan eksternal yang tidak menguntungkan (defisit neraca berjalan dan harga komoditas yang melemah) dan permasalahan struktural (hambatan infrastruktur). Sementara negara maju tertawan oleh faktor demografi dan juga lemahnya pertumbuhan modal dibandingkan periode yang lalu. Kedua faktor ini (penawaran dan permintaan migas) dunia akan cenderung menekan harga migas dunia di masa depan.

Teknologi dalam sektor keuangan memiliki pengaruh yang langsung bagi sektor keuangan sementara itu teknologi di sektor non keuangan juga memiliki pengaruh baik langsung maupun tak langsung bagi sektor keuangan. Teknologi dapat diukur dengan menggunakan total faktor produktivity (TFP). TFP juga harus menjadi sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi.

Krisis ekonomi tahun 1997 disebabkan oleh lemahnya dukungan TFP bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga merusak sistem pembayaran di Indonesia. Sumber utama pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah input modal dan tenaga kerja, sedangkan kontribusi TFP sangat rendah (atau bahkan negatif). TFP yang rendah selama periode 1962-2000 juga dikonfirmasi oleh data tentang perubahan teknis dan efisiensi teknis.

Antara tahun 1964 dan 1966, misalnya, pertumbuhan TFP yang rendah lebih dikaitkan dengan perubahan teknis daripada dengan efisiensi teknis. Antara tahun 1969 dan 1972, 1975 dan 1976, dan 1978 dan 1982, TFP yang rendah terkait dengan perubahan teknis yang rendah. Sebaliknya, tahun 1983-1988 dan 1993-1999, TFP yang rendah atau negatif lebih dikaitkan dengan efisiensi teknis.

Alasan korelasi antara TFP yang rendah (negatif) dan perubahan teknis yang rendah (negatif) pada awal beberapa tahun tersebut, mungkin karena fakta bahwa, dalam tahun-tahun ini, pembangunan ekonomi di Indonesia masih pada tahap transisi. Dengan kata lain, setiap investasi asing besar dan aliran bantuan luar negeri digunakan untuk tujuan penanaman modal dan bukan untuk pengembangan teknologi. Hal ini juga harus dicatat bahwa, selama bertahun-tahun, terdapat keuntungan besar dari minyak sehingga tidak ada banyak pembangunan di sektor manufaktur. Ini mengakibatkan rendahnya (negatif) TFP dan perubahan teknis.

Dalam hal TFP oleh industri, Timmer (1999) memperkirakan bahwa kinerja TFP sangat bervariasi di seluruh industri. Selama periode tahun 1975-1981, tingkat pertumbuhan TFP berkisar dari yang sangat tinggi (12%) dalam industri kayu hingga ke rendah (-5%) untuk bahan kimia. Pada tahun 1982-1985, industri logam dasar yang berkinerja terbaik (14%), sedangkan TFP mineral non-logam merosot (-8%). Larangan ekspor kayu tampaknya telah berdampak buruk terhadap efisiensi di industri kayu, dengan pertumbuhan TFP menjadi negatif (-2%).

Periode tahun 1986-1990 menunjukkan tingkat pertumbuhan TFP tahunan lebih dari 5 persen untuk semua industri kecuali bahan kimia. Selain itu, antara tahun 1991 dan 1995, tingkat TFP tampaknya meningkat sangat pesat terutama untuk makanan, minuman, tembakau dan produk logam dan mesin industri, sementara ada penurunan tajam dalam industri logam dasar. Oleh karena itu, semua industri - kecuali bahan kimia dan mineral non-logam - mengalami pertumbuhan TFP minimal 2 persen antara tahun 1975 dan 1995.  Rendahnya tingkat pertumbuhan TFP di bidang mineral non-logam (terutama manufaktur semen) adalah mungkin karena peraturan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat efisiensi dalam industri ini.

Banyak faktor yang bisa ditunjukkan sebagai faktor penentu kinerja produktivitas di Indonesia. Dalam hal faktor-faktor kelembagaan, tampaknya sulit untuk memastikan apakah ada hubungan linear antara pengembangan kelembagaan dan pertumbuhan sosial ekonomi jangka panjang. Alasan untuk ini adalah karena ada banyak fakta dan banyak bukti yang menunjukkan bahwa struktur kelembagaan yang baik tidak selalu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Hasilnya sektor keuangan di Indonesia ikut terjerembab akibat perkembangan teknologi di sektor perekonomian yang buruk tersebut.

Sollow mengingatkan "You can see the computer age everywhere but in the productivity statistics." Di Indonesia dan banyak negara Asia memperlihatkan bahwa permintaan lebih banyak terjadi untuk produk pembayaran yang dihasilkan oleh perbankan karena faktor keamanan dan kecepatan serta kehandalan. Pada pasar persaingan monopolistik, harga bukanlah faktor yang bisa mendongkrak penjualan. Bagaimana kemampuan perusahaan menciptakan citra yang baik di dalam benak publik, sehingga membuat mereka mau membeli produk tersebut meskipun dengan harga mahal akan sangat berpengaruh terhadap penjualan perusahaan.

Oleh karenanya, perusahaan yang berada dalam pasar monopolistik harus aktif mempromosikan produk sekaligus menjaga citra perusahaannya. Jika hal tersebut dapat diandalkan maka teknologi yang tercipta akan bersifat increasing return to scale. Teknologi yang seperti ini yang harus dikembangkan sektor perbankan di Indonesia.

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…