INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN MENINGKAT - Jokowi: Ketimpangan Harus Dihentikan

INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN MENINGKAT
Jokowi: Ketimpangan Harus Dihentikan
Jakarta-Presiden Jokowi  Widodo menegaskan ketimpangan yang terjadi harus dihentikan dan pemerintah akan terus memperbaiki koefisien Gini Ratio. Sementara BPS melaporkan indeks keparahan kemiskinan mengalami kenaikan, meski angka Gini Ratio menurun pada Maret 2016.
NERACA 
“Sampai terakhir itu 0,402 saat itu, waktu kita terima (September 2015),” kata Presiden di sela-sela kunjungan kerjanya di Kepulauan Nias saat meninjau perluasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Idanoi, Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, Jumat (19/8). 
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pada Maret 2016 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,397. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2015 yang sebesar 0,408 dan Gini Ratio September 2015 yang sebesar 0,402.
Menurut Kepala BPS Suryamin, penurunan angka Gini Ratio menunjukkan adanya perbaikan dari periode sebelumnya. "Artinya, ini terjadi perbaikan pemerataan pendapatan pada periode Maret 2015-2016," ujarnya. 
Dalam pandangan Presiden, infrastruktur merupakan faktor utama yang dapat menurunkan angka Gini Ratio. “Pengaruh sekali karena di situ ada lapangan pekerjaan baru, pengaruh pada income, pada pendapatan,” ujarnya. 
Faktor lainnya yang menyebabkan turunnya Gini Ratio adalah dana desa yang bergulir. “Itu pengaruh sekali karena uang yang beredar di daerah, yang beredar di kecamatan, yang beredar di desa itu menjadi bertambah,” ujar Presiden.
Dampak dari pembangunan infrastruktur yang menyebar dan dana desa yang bergulir menjadikan daya beli masyarakat meningkat. “Income yang ada di bawah itu juga bertambah, sehingga dari 0,402 turun. Saya mendapatkan laporan 2 hari yang lalu menjadi 0,397. Dikit-dikit tapi turun, turun, yang paling penting adalah harus turun, harus turun, harus turun,” tegas Jokowi. 
Presiden menjelaskan bahwa kondisi di mana angka Gini Ratio terus mengalami penurunan adalah arah yang dikehendaki pemerintah. “Sejak awal saya sampaikan problem besar kita kemiskinan, ketimpangan sosial antar kawasan juga antar individu. Kemudian yang ketiga masalah yang berkaitan dengan pengangguran. Ini di semua negara hal-hal seperti ini yang sedang terjadi,” ujarnya. 
Jokowi juga mengingatkan, bahwa pemerintah akan lebih fokus mengatasi pengangguran. “Kalau ini sudah ada hasilnya, tentu saja fokus terus ke sana agar sebesar-besarnya, semuanya bisa dikurangi,” kata Presiden.
BPS ‎merilis data kesenjangan pendapatan (gini ratio) penduduk Indonesia periode Maret 2016 yang mencapai 0,397. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Maret 2015) yang tercatat 0,‎402.
"Pada Maret 2015 tingkat gini ratio sebesar ‎0,39. Ini turun ‎dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 0,408, dan pada September 2015 sebesar 0,402.‎ Artinya ada perbaikan pemerataan pendapatan pada periode Maret 2015-Maret 2016‎," ujar Suryamin di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, jika dilihat sejak 2010 lalu, tingkat gini rasio ini mengalami fluktuasi pada periode 2010-2014. Namun mulai September 2014 mulai menunjukkan penurunan tingkat gini rasio. "Pada 2010-2014 berfluktuasi. Tapi mulai September 2014 ada kecenderungan menurun, berarti ada perbaikan pendapatan di sini," ujarnya. 
Suryamin mengungkapkan, ‎perhitungan gini ratio ini dihitung berdasarkan kurva lorenz. Gini ratio ini menunjukkan pemerataan pendapatan penduduk Indonesia yang diukur dengan pengeluarannya. "Makin tinggi gini ratio, makin timpang pendapatan yang diukur dengan pengeluaran. Kita acu sampai penentuan basis data terpadu," ujarnya. 
Perlu diketahui, angka Gini Ratio tersebut berada pada kisaran nol dan satu, yang berarti semakin tinggi nilai gini ratio  (1) maka semakin tinggi tingkat ketimpangan di kalangan masyarakat. Sebaliknya jika Gini Ratio sama dengan 0, maka distribusi pendapatan masyarakat makin merata.
BPS mengungkapkan penurunan gini ratio terjadi di daerah perkotaan yaitu,  dari 0,428 pada Maret 2015 menjadi 0,410 pada Maret 2016, serta daerah perdesaan yaitu dari 0,334 pada Maret 2015 menjadi 0,327 pada Maret 2016.
Pada periode Maret 2015-Maret 2016, distribusi pengeluaran dari kelompok penduduk 40 persen terbawah masih berada dalam kategori ketimpangan rendah, namun distribusinya semakin menurun.
Hal itu terlihat penurunan distribusi di daerah perkotaan dan perdesaan bagi kelompok penduduk 40% terbawah dari sebelumnya pada periode Maret 2015 sebesar 17,1% menjadi 17,02% pada Maret 2016. Sedangkan, menurut provinsi, gini ratio tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan yaitu mencapai 0,426 dan terendah di Bangka Belitung sebesar 0,275.
Suryamin mengatakan beberapa faktor yang menjadi penentu perbaikan tingkat pengeluaran dalam setahun terakhir adalah adanya kenaikan upah buruh tani harian dari Rp 46.180 pada Maret 2015 menjadi Rp 47.559 pada Maret 2016 atau mengalami kenaikan 2,99%. 
Kemudian, kata dia, upah buruh bangunan harian mengalami kenaikan dari Rp 79.657 pada Maret 2015 menjadi Rp 81.481 pada Maret 2016 atau mengalami kenaikan 2,29%. 
Selain itu, terjadi peningkatan jumlah pekerja bebas pertanian dari 5,1 juta orang pada Februari 2015 menjadi 5,2 juta orang pada Februari 2016 serta peningkatan jumlah pekerja bebas nonpertanian dari 6,8 juta orang pada Februari 2015 menjadi 7 juta orang pada Februari 2016.
Suryamin mengatakan, perbaikan tingkat pengeluaran juga disebabkan oleh rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk 40 persen terbawah meningkat dari Rp 371.336 pada Maret 2015 menjadi Rp 423.969 pada Maret 2016.
"Kenaikan pengeluaran yang merefleksikan peningkatan pendapatan kelompok penduduk bawah tidak lepas dari upaya pembangunan infrastruktur padat karya, bantuan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan serta perbaikan pendapatan PNS golongan bawah," ujarnya. 
Suryamin memperkirakan penurunan angka gini ini terkait dengan menguatnya perekonomian penduduk kelas menengah bawah sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur, kondusifnya pengembangan usaha perdagangan dan jasa serta skema perlindungan sosial yang dijalankan pemerintah
Suryamin menyatakan, jika dilihat sejak 2010 lalu, tingkat gini rasio ini mengalami fluktuasi pada periode 2010-2014. Namun mulai September 2014 mulai menunjukkan penurunan tingkat gini rasio. "Pada 2010-2014 berfluktuasi. Tapi mulai September 2014 ada kecenderungan menurun, berarti ada perbaikan pendapatan di sini," ujarnya. 
Indeks Keparahan Kemiskinan
Sebelumnya BPS merilis Indeks kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia meningkat.  Indek Kedalaman Kemiskinan pada September 2015 tercatat sebesar 1,84 sedangkan pada Maret 2016 meningkat menjadi 1,94.
Ada pun Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,51 pada September 2015 menjadi 0,52 pada Maret 2016. Sementara itu, apabila dilihat pada periode sebelumnya, yaitu dari Maret 2015 ke Maret 2016, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan cenderung mengalami penurunan.
Sebagai catatan,  Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity) adalah gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Menurut data terbaru BPS (Maret 2016) jumlah penduduk miskin, yaitu penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis  Kemiskinan,   mencapai  28,01  juta  orang (10,86% dari total jumlah penduduk).
Jumlah penduduk miskin berkurang  sebesar  0,50  juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang, atau 11,13% dari total jumlah penduduk.
Adapun yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan, yaitu ukuran yang dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin.
Garis Kemiskinan untuk Perkotaan pada Maret 2015, menurut BPS, tercatat sebesar Rp 342.541, sedangkan pada September 2015 tercatat sebesar Rp 356.378 dan Maret 2016 sebesar Rp 364.527.
Sedangkan Garis Kemiskinan untuk Perdesaan pada Maret 2015, menurut BPS, tercatat sebesar Rp 317.881, September 2015 sebesar Rp333.034 dan Maret 2016 sebesar Rp 343.646.
Sedangkan Garis Kemiskinan secara total, untuk bulan Maret 2015 tercatat sebesar Rp 330.776, September 2015 sebesar Rp 344.809, dan Maret 2016 sebesar Rp 354.386.
Suryamin juga mengatakan, provinsi dengan tingkat gini rasio tertinggi yaitu Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,426. Angka ini meningkat dibandingkan gini rasio pada Maret 2015 yang sebesar 0,424 dan gini rasio provinsi tersebut pada September 2015 yang sebesar 0,404.
‎"Di Sulawesi Selatan, di Makassar perkembangannya sangat pesat di kota. Sedangkan di pedesaannya meski meningkat tapi tidak secepat ‎di perkotaan. Jadi pergerakan kecepatan peningkatan pendapatan di perkotaan lebih cepat dibandingkan pedesaan," ujarnya. 
Posisi kedua, ditempati oleh DI Yogyakarta‎ dengan tingkat gini rasio sebesar 0,420. Kemudian disusul oleh Gorontalo sebesar 0,419, Jawa Barat dengan 0,413 dan DKI Jakarta yang sebesar 0,411, serta Sulawesi Tenggara dan Jawa Timur yang masing-masing sebesar 0,402.
‎"Di Gorontalo ada peningkatan dibanding periode lalu. Kemudian Jawa Barat walaupun berada di atas rata-rata nasional tapi ada perubahan periode lalu yang sebesar 0,426‎ dan Jakarta dari 0,421 menurun menjadi 0,411‎," jelas dia.
Sedangkan provinsi dengan tingkat gini rasio terendah ditempati oleh Bangka Belitung dengan 0,275 dan Maluku Utara sebesar 0,286. Perkembangan di dua provinsi ini dinilai lebi‎h stabil dan merata. bari/mohar/fba

Jakarta-Presiden Jokowi  Widodo menegaskan ketimpangan yang terjadi harus dihentikan dan pemerintah akan terus memperbaiki koefisien Gini Ratio. Sementara BPS melaporkan indeks keparahan kemiskinan mengalami kenaikan, meski angka Gini Ratio menurun pada Maret 2016.

NERACA 

“Sampai terakhir itu 0,402 saat itu, waktu kita terima (September 2015),” kata Presiden di sela-sela kunjungan kerjanya di Kepulauan Nias saat meninjau perluasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Idanoi, Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, Jumat (19/8). 

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pada Maret 2016 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,397. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2015 yang sebesar 0,408 dan Gini Ratio September 2015 yang sebesar 0,402.

Menurut Kepala BPS Suryamin, penurunan angka Gini Ratio menunjukkan adanya perbaikan dari periode sebelumnya. "Artinya, ini terjadi perbaikan pemerataan pendapatan pada periode Maret 2015-2016," ujarnya. 

Dalam pandangan Presiden, infrastruktur merupakan faktor utama yang dapat menurunkan angka Gini Ratio. “Pengaruh sekali karena di situ ada lapangan pekerjaan baru, pengaruh pada income, pada pendapatan,” ujarnya. 

Faktor lainnya yang menyebabkan turunnya Gini Ratio adalah dana desa yang bergulir. “Itu pengaruh sekali karena uang yang beredar di daerah, yang beredar di kecamatan, yang beredar di desa itu menjadi bertambah,” ujar Presiden.

Dampak dari pembangunan infrastruktur yang menyebar dan dana desa yang bergulir menjadikan daya beli masyarakat meningkat. “Income yang ada di bawah itu juga bertambah, sehingga dari 0,402 turun. Saya mendapatkan laporan 2 hari yang lalu menjadi 0,397. Dikit-dikit tapi turun, turun, yang paling penting adalah harus turun, harus turun, harus turun,” tegas Jokowi. 

Presiden menjelaskan bahwa kondisi di mana angka Gini Ratio terus mengalami penurunan adalah arah yang dikehendaki pemerintah. “Sejak awal saya sampaikan problem besar kita kemiskinan, ketimpangan sosial antar kawasan juga antar individu. Kemudian yang ketiga masalah yang berkaitan dengan pengangguran. Ini di semua negara hal-hal seperti ini yang sedang terjadi,” ujarnya. 

Jokowi juga mengingatkan, bahwa pemerintah akan lebih fokus mengatasi pengangguran. “Kalau ini sudah ada hasilnya, tentu saja fokus terus ke sana agar sebesar-besarnya, semuanya bisa dikurangi,” kata Presiden.

BPS ‎merilis data kesenjangan pendapatan (gini ratio) penduduk Indonesia periode Maret 2016 yang mencapai 0,397. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Maret 2015) yang tercatat 0,‎402.

"Pada Maret 2015 tingkat gini ratio sebesar ‎0,39. Ini turun ‎dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 0,408, dan pada September 2015 sebesar 0,402.‎ Artinya ada perbaikan pemerataan pendapatan pada periode Maret 2015-Maret 2016‎," ujar Suryamin di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, jika dilihat sejak 2010 lalu, tingkat gini rasio ini mengalami fluktuasi pada periode 2010-2014. Namun mulai September 2014 mulai menunjukkan penurunan tingkat gini rasio. "Pada 2010-2014 berfluktuasi. Tapi mulai September 2014 ada kecenderungan menurun, berarti ada perbaikan pendapatan di sini," ujarnya. 

Suryamin mengungkapkan, ‎perhitungan gini ratio ini dihitung berdasarkan kurva lorenz. Gini ratio ini menunjukkan pemerataan pendapatan penduduk Indonesia yang diukur dengan pengeluarannya. "Makin tinggi gini ratio, makin timpang pendapatan yang diukur dengan pengeluaran. Kita acu sampai penentuan basis data terpadu," ujarnya. 

Perlu diketahui, angka Gini Ratio tersebut berada pada kisaran nol dan satu, yang berarti semakin tinggi nilai gini ratio  (1) maka semakin tinggi tingkat ketimpangan di kalangan masyarakat. Sebaliknya jika Gini Ratio sama dengan 0, maka distribusi pendapatan masyarakat makin merata.

BPS mengungkapkan penurunan gini ratio terjadi di daerah perkotaan yaitu,  dari 0,428 pada Maret 2015 menjadi 0,410 pada Maret 2016, serta daerah perdesaan yaitu dari 0,334 pada Maret 2015 menjadi 0,327 pada Maret 2016.

Pada periode Maret 2015-Maret 2016, distribusi pengeluaran dari kelompok penduduk 40 persen terbawah masih berada dalam kategori ketimpangan rendah, namun distribusinya semakin menurun.

Hal itu terlihat penurunan distribusi di daerah perkotaan dan perdesaan bagi kelompok penduduk 40% terbawah dari sebelumnya pada periode Maret 2015 sebesar 17,1% menjadi 17,02% pada Maret 2016. Sedangkan, menurut provinsi, gini ratio tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan yaitu mencapai 0,426 dan terendah di Bangka Belitung sebesar 0,275.

Suryamin mengatakan beberapa faktor yang menjadi penentu perbaikan tingkat pengeluaran dalam setahun terakhir adalah adanya kenaikan upah buruh tani harian dari Rp 46.180 pada Maret 2015 menjadi Rp 47.559 pada Maret 2016 atau mengalami kenaikan 2,99%. 

Kemudian, kata dia, upah buruh bangunan harian mengalami kenaikan dari Rp 79.657 pada Maret 2015 menjadi Rp 81.481 pada Maret 2016 atau mengalami kenaikan 2,29%. 

Selain itu, terjadi peningkatan jumlah pekerja bebas pertanian dari 5,1 juta orang pada Februari 2015 menjadi 5,2 juta orang pada Februari 2016 serta peningkatan jumlah pekerja bebas nonpertanian dari 6,8 juta orang pada Februari 2015 menjadi 7 juta orang pada Februari 2016.

Suryamin mengatakan, perbaikan tingkat pengeluaran juga disebabkan oleh rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk 40 persen terbawah meningkat dari Rp 371.336 pada Maret 2015 menjadi Rp 423.969 pada Maret 2016.

"Kenaikan pengeluaran yang merefleksikan peningkatan pendapatan kelompok penduduk bawah tidak lepas dari upaya pembangunan infrastruktur padat karya, bantuan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan serta perbaikan pendapatan PNS golongan bawah," ujarnya. 

Suryamin memperkirakan penurunan angka gini ini terkait dengan menguatnya perekonomian penduduk kelas menengah bawah sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur, kondusifnya pengembangan usaha perdagangan dan jasa serta skema perlindungan sosial yang dijalankan pemerintah

Suryamin menyatakan, jika dilihat sejak 2010 lalu, tingkat gini rasio ini mengalami fluktuasi pada periode 2010-2014. Namun mulai September 2014 mulai menunjukkan penurunan tingkat gini rasio. "Pada 2010-2014 berfluktuasi. Tapi mulai September 2014 ada kecenderungan menurun, berarti ada perbaikan pendapatan di sini," ujarnya. 

Indeks Keparahan Kemiskinan

Sebelumnya BPS merilis Indeks kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia meningkat.  Indek Kedalaman Kemiskinan pada September 2015 tercatat sebesar 1,84 sedangkan pada Maret 2016 meningkat menjadi 1,94.

Ada pun Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,51 pada September 2015 menjadi 0,52 pada Maret 2016. Sementara itu, apabila dilihat pada periode sebelumnya, yaitu dari Maret 2015 ke Maret 2016, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan cenderung mengalami penurunan.

Sebagai catatan,  Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.

Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity) adalah gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Menurut data terbaru BPS (Maret 2016) jumlah penduduk miskin, yaitu penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis  Kemiskinan,   mencapai  28,01  juta  orang (10,86% dari total jumlah penduduk).

Jumlah penduduk miskin berkurang  sebesar  0,50  juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang, atau 11,13% dari total jumlah penduduk.

Adapun yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan, yaitu ukuran yang dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin.

Garis Kemiskinan untuk Perkotaan pada Maret 2015, menurut BPS, tercatat sebesar Rp 342.541, sedangkan pada September 2015 tercatat sebesar Rp 356.378 dan Maret 2016 sebesar Rp 364.527.

Sedangkan Garis Kemiskinan untuk Perdesaan pada Maret 2015, menurut BPS, tercatat sebesar Rp 317.881, September 2015 sebesar Rp333.034 dan Maret 2016 sebesar Rp 343.646.

Sedangkan Garis Kemiskinan secara total, untuk bulan Maret 2015 tercatat sebesar Rp 330.776, September 2015 sebesar Rp 344.809, dan Maret 2016 sebesar Rp 354.386.

Suryamin juga mengatakan, provinsi dengan tingkat gini rasio tertinggi yaitu Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,426. Angka ini meningkat dibandingkan gini rasio pada Maret 2015 yang sebesar 0,424 dan gini rasio provinsi tersebut pada September 2015 yang sebesar 0,404.

‎"Di Sulawesi Selatan, di Makassar perkembangannya sangat pesat di kota. Sedangkan di pedesaannya meski meningkat tapi tidak secepat ‎di perkotaan. Jadi pergerakan kecepatan peningkatan pendapatan di perkotaan lebih cepat dibandingkan pedesaan," ujarnya. 

Posisi kedua, ditempati oleh DI Yogyakarta‎ dengan tingkat gini rasio sebesar 0,420. Kemudian disusul oleh Gorontalo sebesar 0,419, Jawa Barat dengan 0,413 dan DKI Jakarta yang sebesar 0,411, serta Sulawesi Tenggara dan Jawa Timur yang masing-masing sebesar 0,402.

‎"Di Gorontalo ada peningkatan dibanding periode lalu. Kemudian Jawa Barat walaupun berada di atas rata-rata nasional tapi ada perubahan periode lalu yang sebesar 0,426‎ dan Jakarta dari 0,421 menurun menjadi 0,411‎," jelas dia.

Sedangkan provinsi dengan tingkat gini rasio terendah ditempati oleh Bangka Belitung dengan 0,275 dan Maluku Utara sebesar 0,286. Perkembangan di dua provinsi ini dinilai lebi‎h stabil dan merata. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENKEU SRI MULYANI INDRAWATI MENEGASKAN: - Ekonomi RI Imbas Ribuan Kontainer Tertahan

Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan  ekonomi Indonesia terganggu imbas 26.000 kontainer tertahan di pelabuhan. Bahkan, sejumlah bahan baku industri…

April 2024, Nilai Impor Capai US$16,06 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama April 2024 tercatat US$ 16,06 miliar. Kinerja impor ini berkontraksi  10,60 persen dibandingkan Maret…

DIRJEN BEA CUKAI ASKOLANI: - Pengawasan Ketat Atasi Barang Impor Ilegal

Jakarta-Dirjen Bea Cukai Askolani mengungkapkan alasan ketatnya pengawasan sekaligus penindakan yang dilakukan Bea Cukai atas barang impor ilegal maupun bermasalah.…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENKEU SRI MULYANI INDRAWATI MENEGASKAN: - Ekonomi RI Imbas Ribuan Kontainer Tertahan

Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan  ekonomi Indonesia terganggu imbas 26.000 kontainer tertahan di pelabuhan. Bahkan, sejumlah bahan baku industri…

April 2024, Nilai Impor Capai US$16,06 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama April 2024 tercatat US$ 16,06 miliar. Kinerja impor ini berkontraksi  10,60 persen dibandingkan Maret…

DIRJEN BEA CUKAI ASKOLANI: - Pengawasan Ketat Atasi Barang Impor Ilegal

Jakarta-Dirjen Bea Cukai Askolani mengungkapkan alasan ketatnya pengawasan sekaligus penindakan yang dilakukan Bea Cukai atas barang impor ilegal maupun bermasalah.…