Kebijakan Fiskal di Persimpangan Jalan

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

Terdapat perbedaan nyata kebijakan fiskal di era Sri Mulyani. Dengan mengusung tema APBN yang lebih kredibel, misi utama Sri Mulyani adalah memotong anggaran belanja dan menyelamatkan defisit dibawah 3%. Tentu kebijakan tersebut patut di amini sebagai bagian dari reformasi fiskal. Langkah Sri Mulyani dinilai lebih realistis dalam menyusun RAPBN 2017. Salah satu hal yang menarik adalah penyusunan asumsi makro seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,3% lebih masuk akal. Ditangan menkeu sebelumnya penyusunan APBN 2015 terlihat sangat delusional. Asumsi pertumbuhan ekonomi 2015 dipatok 5,8%, padahal realisasi pertumbuhan hanya 4,79%. Selain itu realisasi pajak hanya mencapai 81,5% dari target.

Tangan besi Sri Mulyani untuk membuat anggaran lebih kredibel seharusnya sinkron dengan bauran kebijakan fiskal lainnya. Namun, baru-baru ini wacana penurunan PPh badan justru membuat publik dan dunia usaha bingung. Kebijakan bombastis ini pun langsung disorot oleh berbagai media internasional termasuk harian Wall Street Journal. Pasalnya, ditengah penerimaan pajak yang merosot, Pemerintah justru menggebu-gebu untuk menurunkan tarif PPh badan. Meniru Singapura dengan tarif 17%, Pemerintah Indonesia pun tidak mau kalah. Dengan asumsi turunnya PPh badan sebagai pendorong sektor riil, insentif ini diharapkan berhasil mengatasi kelesuan investasi.

Nampaknya Pemerintah lupa bahwa penurunan PPh badan dari 25% secara bertahap menjadi 17% bukan obat segala masalah. Pajak rendah hanya salah satu dari daya tarik mendatangkan investasi ke Indonesia. Banyak masalah lain yang lebih urgen diatasi, salah satunya adalah pembangunan dan perbaikan infrastruktur dasar dari kawasan industri ke pelabuhan. Salah satu penghambat kawasan industri di Batam contohnya adalah buruknya jalan yang menghubungkan pabrik ke terminal peti kemas.

Jadi pikiran sempit bahwa penurunan pajak secara otomatis menaikkan daya saing industri dan mendatangkan investasi justru blunder bagi kebijakan fiskal Pemerintah. Alih-alih yang terjadi justru penerimaan pajak semakin jatuh, dan tidak ada jalan keluar selain menambal defisit anggaran yang semakin besar dari penerbitan surat utang. Untuk menutup shortfall pajak otomatis defisit primer alias gali lubang tutup lubang akan semakin parah. Saat ini defisit primer sudah mencapai Rp111 triliun.

Tentu kesimpulannya kebijakan fiskal yang tidak dipersiapkan secara matang bisa beresiko. Oleh karena itu kebijakan fiskal tidak boleh ada di persimpangan jalan, ia harus tegas dan jelas dalam memberikan arahan. Karena faktanya kebijakan yang setengah-setengah sulit berhasil. Contoh paling nyata adalah tax amnesty per 8 Agustus baru mencapai 0,1% dari target Rp165 triliun dan pada akhirnya menimbulkan pesimisme dari pembuat kebijakan itu sendiri.

 

BERITA TERKAIT

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

BERITA LAINNYA DI

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…