Rasionalitas Impor

Oleh : Prof. Firmanzah Ph.D

Dekan Fakultas Ekonomi UI

Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) total impor 2010 mengalami peningkatan sebesar US$ 135,61 miliar atau naik 40% dibandingkan 2009. China dan Jepang merupakan dua Negara penyumbang terbesar peningkatan impor Indonesia. Sementara itu, ekspor Indonesia di tahun 2010 meningkat sebesar 21,9% atau sebesar US$142,53 miliar. Neraca perdagangan kita masih surplus, namun perlu diwaspadai karena laju peningkatan impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor.      

Fenomena impor menjadi sorotan banyak pihak karena dua hal. Pertama akibat liberalisasi perdagangan seperti perjanjian Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai berlaku 1 januari 2010 dan penerapan Asean Free Trade Area (AFTA) secara menyeluruh pada 2015. 

Dengan penerapan ACFTA, tidaklah mengherankan apabila China merupakan Negara penyumbang terbesar kenaikan impor Indonesia di tahun 2010.  Liberalisasi perdagangan perlu diimbangi kesiapan industri untuk mampu bersaing tidak hanya di pasar domestik tetapi di pasar internasional. Perlu paket kebijakan yang secara khusus dan segera untuk hal ini.   

Kedua, dimungkinkannya 239 produsen oleh Kementerian Perdagangan untuk mengimpor barang jadi. Meski dalam ketentuannya ke-239 perusahaan tersebut perlu mencatatkan diri volume dan kesesuaian produk yang di-impor, banyak kalangan yang menyangsikan hal tersebut dapat secara konsisten dilakukan di lapangan. Selain itu juga, persoalan keberpihakan untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor juga dipertanyakan oleh dunia industri.  

Laju pertumbuhan ekspor nasional perlu lebih ditingkatkan agar Indonesia tetap mampu menjaga surplus perdagangan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dalam negeri dan memberikan disinsentif bagi ekspor bahan mentah (komoditas). Juga memberikan insentif bagi berkembangnya industri pengolahan dan manufaktur di Indonesia, sehingga kita mendapatkan nilai tambah dari proses mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi.  

Serbuan produk impor menjadi sangat logis karena besarnya permintaan dalam negeri dan masih terbatasnya kapasitas produksi dalam negeri. Solusi terbaik adalah menguatkan struktur dan kapasitas industri dan bukan memberikan insentif bagi impor produk jadi.

Memang dalam jangka pendek (short-term) impor produk bisa menjadi solusi untuk menekan tingginya harga akibat disekuilibrium permintaan-penawaran. Seperti pembebasan 59 pos tarif  bagi produk pangan dan bahan pangan. Dalam jangka panjang (long-term) kebijakan perbaikan irigasi, penyediaan pupuk bagi petani, penyediaan lahan pertanian dan pembiayaan petani perlu dikembangkan secara serius.  

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…