Robohnya Pilar Gizi Anak Bangsa

 

Oleh: Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan di Unika Santo Thomas SU Medan 

Indonesia yang disebut-sebut dan dipuja-puji sebagai negeri agraris yang makmur jumlah orang miskin masih  banyak. Mereka tidak mampu mengakses makanan bergizi di tengah harga berbagai kebutuhan hidup yang makin mahal.

Daya beli yang masih rendah membuat tingkat konsumsi daging sapi masih sekitar 2,08 kg/kapita/tahun (Susenas, 2014), angka ini tergolong rendah dibandingkan dengan konsumsi di negara-negara lain. Argentina misalnya tingkat konsumsi daging sapi mencapai 55 kg per kapita per tahun, Malaysia 15 kg per kapita per tahun dan  Filipina 7 kg per kapita per tahun. Harga bahan pangan lainnya  yang ikut terseret  mahal membuat aksesibilitas masyatakat kian rendah. Pilar gizi anak bangsa itu telah roboh!   

Tanpa harus disurvei ulang pun jumlah anak penderita gizi buruk sudah pasti memuai. Merujuk pada hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013,  jika pada 2010  jumlah balita gizi buruk  sebesar 4,9 persen maka pada 2013 meningkat jumlahnya menjadi 5,7 persen. Dampaknya, selain tubuh pendek (stunting), juga pengecilan otak, jantung dan organ lain yang mendorong turunnya tingkat kecerdasan anak.

 Negara Gagal

Komitmen pemerintah untuk mencapai target dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), yakni  menurunkan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sudah gagal. 

Indonesia sebagai negara yang berpenghasilan menengah (middle income countries), pendapatan per kapita 3.362 dollar AS pada 2015,  tidak bersinergi dengan capaian MDGs-nya. Walau secara moderat  bisa menekan angka kemiskinan,  Indonesia menjadi negara gagal karena pemerintahnya tidak mampu menyejahterakan warganya. Jumlah pengangguran  membengkak. Sebagian mereka menjadi TKI ke luar negeri dan mengais rezeki di sana sebagai pembantu rumah tangga, sebagian lagi menjadi pemulung sampah di berbagai kota besar di Tanah Air. Mereka mencari apa saja untuk mendapatkan uang halal agar dapat bertahan hidup.

Jika kita rajin berkeliling di jumlah desa tertinggal, dengan  mudah akan menemukan warga yang hanya mengonsumsi nasi aking dan singkong setiap hari. Bahkan pernah ada kisah pilu, enam bersaudara tewas di Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Jepara karena mengonsumsi tiwul maut beracun sianida. Tragedi kemanusiaan ini ialah ekses dari ketidakseriusasan pemerintah membangun ketahanan pangan  yang mandiri dan berdaulat serta aman dikonsumsi.

Saat ini, sekitar 60 juta  lebih penduduk Indonesia tidak mampu mengakses beras berkualitas baik karena daya beli tumpul. Data tahun 2015, pemerintah menyalurkan beras miskin (raskin) sebanyak 15 kg  per bulan – dengan harga tebus sebesar Rp 1.600 per kg – kepada 15,53 juta keluarga yang masuk sasaran penerima manfaat. Jika setiap keluarga beranggota 4 orang, maka penerima raskin dengan mutu rendah sebanyak 62,12  juta jiwa

Pemerintahan Jokowi-JK seperti pemerintahan sebelumnya, mengatasi kemiskinan dengan memurah-murahkan harga beras lewat program raskin. Padahal untuk hidup sehat,  seseorang tidak hanya mengonsumsi makanan berkarbohidrat bernama beras. Ia juga harus makan daging, ikan, telur dan susu untuk sumber protein. Sekedar menyebut contoh tingkat konsumsi susu di Indonesia hanya 20 tetes per hari dan mengonsumsi telur satu butir per minggu.

Indikator kemiskinan selalu berimplikasi dengan relasi keterbelakangan dan kebodohan. Di tengah zaman yang semakin maju, salah satu indikator hidup miskin ialah ketidakmampuan mengakses informasi lewat pendidikan formal. Mereka terabaikan dan terpinggirkan sehingga tidak berkesempatan untuk mengakses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pemerintah boleh saja menyebut dalam pidato kenegaraannya bahwa angka kemiskinan dari tahun ke tahun telah menurun. Namun, persoalan kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup telah berimplikasi kian kuatnya belitan lingkaran kemiskinan yang mencengkram hidup dan kehidupan warga. Anjloknya daya beli merupakan tsunami yang menghantam pilar kualitas SDM Indonesia. Jumlah penduduk yang mengalami rawan pangan dan gizi akan terus meningkat di tengah kian membuihnya perilaku koruptif para pejabat di negeri ini.

 Kebijakan Keliru     

Harga pangan yang cenderung kian mahal akan menjadi bom waktu bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Pemerintah telah menggelar  kebijakan keliru guna mengatasi kenaikan harga pangan dengan membuka kran impor. Fenomena ini jelas terlihat pada program raskin dan daging sapi impor yang berbiaya mahal, namun efektivitasnya untuk mengatasi kemiskinan hampir tida ada.

Dampaknya, kualitas SDM Indonesia belum mampu dikatrol dengan baik. Fakta buram ini tercermin pada  laporan Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia/IPM) 2015 yang menyebutkan bahwa peringkat pembangunan manusia Indonesia berada di urutan ke-110 dari 188 negara. Meski dalam rentang tahun 1980-2014 IPM Indonesia cenderung mengalami kenaikan sebesar 44,3 persen, peringkat Indonesia masih di bawah Malaysia (ke-62) dan Thailand (ke-93).

Peringkat Indonesia yang masih bercokol di papan tengah klasemen IPM Dunia ini diukur berdasarkan tingkat keberhasilan peningkatan  mutu pendidikan, kesehatan dan daya beli. Lantas, siapa yang menikmati kemajuan pembangunan ekonomi selama Indonesia merdeka 70 tahun? Sebagian warga masih  harus antre mendapatkan 15 kilogram raskin dan 1 kg daging sapi impor. Bahkan sedihnya sebagian lagi harus meregang nyawa karena mengonsumsi tiwul beracun. Ketersediaan energi aktual yang melimpah di tingkat makro tidak mengalir ke rumah tangga yang membutuhkan. Peningkatan ketersediaan pangan belum diikuti membaiknya tingkat konsumsi masyarakat.

Kenaikan harga beras tertinggi, misalnya, dialami kelompok beras termurah yang sehari-hari dikonsumsi masyarakat miskin. Kontribusi kenaikan harga beras terhadap laju inflasi masih signifikan. Ini menunjukkan tingkat ketergantungan warga terhadap beras sebagai sumber energi utama masih tetap tinggi. Yakni sekitar 65 persen dari  seharusnya 50 persen. Ini menahan laju skor pola pangan harapan (PPH) nasional tetap berada di bawah target 95.

Masalah serius bangsa ini ialah  kegagalan memberantas kemiskinan yang berimplikasi pada daya beli rendah. Negara terjebak dengan prinsip yang dibangun, yakni romantisisme pangan murah. Pemerintah memberantas kemiskinan dengan menggiring harga pangan semurah mungkin lewat subsidi dan impor. Di sisi lain, strategi memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat dengan mengutamakan  pangan berbasis sumberdaya lokal untuk mengatasi kekurangan pangan masih setengah hati.

Jika pemerintah tetap gagal mendorong masyarakat mengonsumsi pangan  lokal di tengah harga pangan global yang kian mahal, akan menyulitkan puluhan juta warga miskin. Pilar gizi anak bangsa akan roboh dan menetaskan generasi yang hilang di masa datang. (www.satuharapan.com)

 

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…