Berantas Mafia Pangan!

Berantas Mafia Pangan!
Kita tentu masih ingat saat menjelang Lebaran Idul Fitri waktu lalu, pemerintah bahkan Presiden Jokowi berjanji bahwa daging sapi lokal akan ditekan hingga di bawah Rp 80.000 per kg, namun pada kenyataannya hingga Lebaran berlalu, harga daging sapi tetap melambung di atas kisaran Rp 100.000 per kg. Ini jelas, pemerintah gagal mengatasi mafia yang mempermainkan harga daging sapi lokal di dalam negeri.  
Lalu pemerintah kemudian mencoba menurunkan harga dengan cara mengimpor daging kerbau. Tidak juga berhasil, dan jalan terakhir yang ditempuh adalah mengimpor jeroan. Padahal, di negara maju, jeroan tidak dianggap sebagai makanan layak konsumsi buat manusia, tapi anehnya Indonesia justru mengimpor jeroan.  
Dari kronologi,  awalnya kenaikan harga daging dipicu oleh permintaan musiman saat Lebaran. Namun, ada yang berbeda pada siklus kenaikan harga tahun ini. Harga pangan yang biasanya meningkat satu bulan sebelum memasuki Ramadan kini justru telah merangkak naik jauh sebelum Ramadan tiba. Salah satu kasus yang unik adalah harga daging sapi yang meroket dari awal 2016 dan bertahan di angka Rp120.000 per kg rata-rata secara nasional.  
Reaksi kebijakan yang dilakukan pemerintah pun terkesan kontraproduktif. Inpres agar harga daging bisa ditekan hingga Rp80.000 per kg ditanggapi banyak protes dari pedagang sapi karena dianggap tidak masuk akal. Pasalnya, harga daging sapi (karkas) di tingkat RPH (rumah potong hewan) sudah lebih dari Rp86.000 per kg. Jika ditambah ongkos kirim sampai pusat penjualan, plus keuntungan pedagang, maka harga sudah di atas Rp120.000 per kg. 
Kemudian upaya operasi pasar besar-besaran untuk menurunkan harga daging sapi pun kurang efektif. Buktinya harga daging sapi di pasaran tetap bergerak liar walaupun BUMN dan BUMD yang ditunjuk sudah menggelar operasi pasar. Di satu sisi, pemerintah melalui Bulog sudah menyalurkan 360 ton daging beku dari impor, dan mengklaim sudah menyalurkan rata-rata 80 ton per hari ke berbagai pasar untuk menurunkan harga. 
Namun faktanya, harga daging tetap bergeming. Sementara itu, kebijakan terkait impor cenderung terus diperlonggar. Pertama, paket kebijakan jilid IX membahas tentang asal negara impor yang diperluas. Negara yang sebelumnya tidak terdaftar sebagai importir sapi, kini masuk dalam daftar. Hal ini membuka peluang impor daging sapi secara besar-besaran dari negara eksportir nontradisional. 
Kedua, karena sadar akan terlambatnya antisipasi pemenuhan pasokan, tiba-tiba Menteri Perdagangan menerbitkan aturan diskresi untuk mempermudah importir daging sapi. Melalui peraturan yang baru dirilis, importir sapi tidak lagi kesulitan dalam memenuhi syarat dokumen impor terutama dokumen rekomendasi impor. Tenggat waktu pendaftaran lisensi impor juga diperlonggar. 
Namun sayangnya, impor sapi sedikit terlambat. Seharusnya antisipasi lonjakan permintaan daging sapi menjelang puasa sudah disiasati dengan impor di bulan April. Akibat dari molornya impor, jelas membuat pasokan di pasaran terganggu. Hal ini disebabkan data tahun 2015 tentang kebutuhan nasional tercatat 653.980 ton, sedangkan produksi dalam negeri tercatat 416.090 ton. 
Karena itu, kekurangan yang diambil dari impor sebesar 237.890 ton. Impor sapi bisa dikatakan lebih dari setengah total produksi nasional. Jika keran impor terlambat, sementara pertumbuhan pasokan sapi lokal stagnan, maka hukum ekonomi yang berlaku yaitu kekurangan  pasokan di pasar. 
Ironisnya, persoalan mahalnya harga pangan terlalu dipandang parsial dan cenderung dianggap simpel oleh pengambil kebijakan. Akibatnya pemerintah selalu mencari jalan pintas dengan membuka keran impor. Perilaku jalan pintas yang ditempuh tentu punya konsekuensi yang cukup besar. Salah satunya adalah menurunkan insentif peternak lokal untuk menggenjot produktivitasnya. 
Pemerintah seakan membuat opsi kepada para peternak, yaitu menjadi peternak yang merugi atau memilih menjadi importir dengan beragam insentif. Melihat kondisi demikian, akar permasalahan sebenarnya ada di hulu sektor pertanian. Hal ini salah satunya disebabkan luas lahan peternakan dan tenaga kerja yang tidak berimbang. Di peternakan rakyat, satu ekor sapi bisa diurus oleh tiga hingga empat orang. 
Ada bagian khusus mencari rumput, dan ada bagian khusus membersihkan kandang. Sementara itu di negara pengekspor sapi seperti Australia dan Selandia Baru, ratusan ekor sapi hanya dikelola oleh dua puluh orang tenaga kerja. Sungguh sangat efisien. Akibatnya harga sapi hidup pun bisa bersaing. Dengan pola peternakan sapi yang efektif tersebut, ujung-ujungnya yang diuntungkan adalah peternak dan konsumen. 
Sudah saatnya peran negara perlu ditingkatkan lagi. Tidak hanya menjaga rantai distribusi yang adil tanpa perlu melakukan intervensi harga. Peningkatan produktivitas juga perlu dimulai dari penataan seluruh mata rantai di sektor pangan. Di sektor hulu, misalnya, inefisiensi yang cukup parah misalnya perlu ditangani dengan pembukaan lahan-lahan peternakan rakyat baru. Pemberdayaan peternak rakyat melalui teknologi yang efisien perlu digalakkan. 
Selain itu dari sisi rantai distribusi, jangan sampai perdagangan sapi lokal dikuasai oleh beberapa gelintir pedagang besar sehingga merusak harga pasar. Atau apabila pemerintah tidak mau repot mengurusi tata kelola, maka pemerintah perlu mengambil opsi seperti di Malaysia, dengan kebijakan impor yang dibuka selebar-lebarnya, tapi harga justru bisa dikendalikan. 
Bagaimanapun, jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, setengah impor setengah lokal tanpa ada rencana yang jelas sehingga akibatnya harga naik tanpa bisa diprediksi. Tak ada jalan yang tak terjal, dan kini tergantung pilihan sadar pemerintah antara mimpi swasembada terus menerus atau fokus pada pengendalian pasokan yang lebih realistis.

Kita tentu masih ingat saat menjelang Lebaran Idul Fitri waktu lalu, pemerintah bahkan Presiden Jokowi berjanji bahwa daging sapi lokal akan ditekan hingga di bawah Rp 80.000 per kg, namun pada kenyataannya hingga Lebaran berlalu, harga daging sapi tetap melambung di atas kisaran Rp 100.000 per kg. Ini jelas, pemerintah gagal mengatasi mafia yang mempermainkan harga daging sapi lokal di dalam negeri.  

Lalu pemerintah kemudian mencoba menurunkan harga dengan cara mengimpor daging kerbau. Tidak juga berhasil, dan jalan terakhir yang ditempuh adalah mengimpor jeroan. Padahal, di negara maju, jeroan tidak dianggap sebagai makanan layak konsumsi buat manusia, tapi anehnya Indonesia justru mengimpor jeroan.  

Dari kronologi,  awalnya kenaikan harga daging dipicu oleh permintaan musiman saat Lebaran. Namun, ada yang berbeda pada siklus kenaikan harga tahun ini. Harga pangan yang biasanya meningkat satu bulan sebelum memasuki Ramadan kini justru telah merangkak naik jauh sebelum Ramadan tiba. Salah satu kasus yang unik adalah harga daging sapi yang meroket dari awal 2016 dan bertahan di angka Rp120.000 per kg rata-rata secara nasional.  

Reaksi kebijakan yang dilakukan pemerintah pun terkesan kontraproduktif. Inpres agar harga daging bisa ditekan hingga Rp80.000 per kg ditanggapi banyak protes dari pedagang sapi karena dianggap tidak masuk akal. Pasalnya, harga daging sapi (karkas) di tingkat RPH (rumah potong hewan) sudah lebih dari Rp86.000 per kg. Jika ditambah ongkos kirim sampai pusat penjualan, plus keuntungan pedagang, maka harga sudah di atas Rp120.000 per kg. 

Kemudian upaya operasi pasar besar-besaran untuk menurunkan harga daging sapi pun kurang efektif. Buktinya harga daging sapi di pasaran tetap bergerak liar walaupun BUMN dan BUMD yang ditunjuk sudah menggelar operasi pasar. Di satu sisi, pemerintah melalui Bulog sudah menyalurkan 360 ton daging beku dari impor, dan mengklaim sudah menyalurkan rata-rata 80 ton per hari ke berbagai pasar untuk menurunkan harga. 

Namun faktanya, harga daging tetap bergeming. Sementara itu, kebijakan terkait impor cenderung terus diperlonggar. Pertama, paket kebijakan jilid IX membahas tentang asal negara impor yang diperluas. Negara yang sebelumnya tidak terdaftar sebagai importir sapi, kini masuk dalam daftar. Hal ini membuka peluang impor daging sapi secara besar-besaran dari negara eksportir nontradisional. 

Kedua, karena sadar akan terlambatnya antisipasi pemenuhan pasokan, tiba-tiba Menteri Perdagangan menerbitkan aturan diskresi untuk mempermudah importir daging sapi. Melalui peraturan yang baru dirilis, importir sapi tidak lagi kesulitan dalam memenuhi syarat dokumen impor terutama dokumen rekomendasi impor. Tenggat waktu pendaftaran lisensi impor juga diperlonggar. 

Namun sayangnya, impor sapi sedikit terlambat. Seharusnya antisipasi lonjakan permintaan daging sapi menjelang puasa sudah disiasati dengan impor di bulan April. Akibat dari molornya impor, jelas membuat pasokan di pasaran terganggu. Hal ini disebabkan data tahun 2015 tentang kebutuhan nasional tercatat 653.980 ton, sedangkan produksi dalam negeri tercatat 416.090 ton. 

Karena itu, kekurangan yang diambil dari impor sebesar 237.890 ton. Impor sapi bisa dikatakan lebih dari setengah total produksi nasional. Jika keran impor terlambat, sementara pertumbuhan pasokan sapi lokal stagnan, maka hukum ekonomi yang berlaku yaitu kekurangan  pasokan di pasar. 

Ironisnya, persoalan mahalnya harga pangan terlalu dipandang parsial dan cenderung dianggap simpel oleh pengambil kebijakan. Akibatnya pemerintah selalu mencari jalan pintas dengan membuka keran impor. Perilaku jalan pintas yang ditempuh tentu punya konsekuensi yang cukup besar. Salah satunya adalah menurunkan insentif peternak lokal untuk menggenjot produktivitasnya. 

Pemerintah seakan membuat opsi kepada para peternak, yaitu menjadi peternak yang merugi atau memilih menjadi importir dengan beragam insentif. Melihat kondisi demikian, akar permasalahan sebenarnya ada di hulu sektor pertanian. Hal ini salah satunya disebabkan luas lahan peternakan dan tenaga kerja yang tidak berimbang. Di peternakan rakyat, satu ekor sapi bisa diurus oleh tiga hingga empat orang. 

Ada bagian khusus mencari rumput, dan ada bagian khusus membersihkan kandang. Sementara itu di negara pengekspor sapi seperti Australia dan Selandia Baru, ratusan ekor sapi hanya dikelola oleh dua puluh orang tenaga kerja. Sungguh sangat efisien. Akibatnya harga sapi hidup pun bisa bersaing. Dengan pola peternakan sapi yang efektif tersebut, ujung-ujungnya yang diuntungkan adalah peternak dan konsumen. 

Sudah saatnya peran negara perlu ditingkatkan lagi. Tidak hanya menjaga rantai distribusi yang adil tanpa perlu melakukan intervensi harga. Peningkatan produktivitas juga perlu dimulai dari penataan seluruh mata rantai di sektor pangan. Di sektor hulu, misalnya, inefisiensi yang cukup parah misalnya perlu ditangani dengan pembukaan lahan-lahan peternakan rakyat baru. Pemberdayaan peternak rakyat melalui teknologi yang efisien perlu digalakkan. 

Selain itu dari sisi rantai distribusi, jangan sampai perdagangan sapi lokal dikuasai oleh mafia pedagang besar sehingga merusak harga pasar. Atau apabila pemerintah tidak mau repot mengurusi tata kelola, maka pemerintah perlu mengambil opsi seperti di Malaysia, dengan kebijakan impor yang dibuka selebar-lebarnya, tapi harga justru bisa dikendalikan. 

Bagaimanapun, jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, setengah impor setengah lokal tanpa ada rencana yang jelas sehingga akibatnya harga naik tanpa bisa diprediksi. Tak ada jalan yang tak terjal, dan kini tergantung pilihan sadar pemerintah antara mimpi swasembada terus menerus atau fokus pada pengendalian pasokan yang lebih realistis.

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…