Mutu PDB Per Kapita

Apabila kita menengok pemerintah Turki yang baru menggagalkan kudeta militer, salah satu faktor soliditas rakyat di negara itu adalah kualitas PDB per kapita yang mengesankan, dari semula US$3.400 (2002) melesat menjadi US$11.000 pada 2015. Tentu saja kondisi ekonomi yang sejahtera dan makmur di bawah kepemimpinan Presiden Tayyip Erdogan, rakyat Turki mampu bersatu menjatuhkan para pemberontak di negerinya.

Nah, sebaliknya pemerintah Indonesia masih sulit mengejar target PDB per kapita US$5.000 di tengah kondisi ekonomi global yang memprihatinkan saat ini. Padahal sebelumnya kita optimistis bahwa pada akhir 2014 rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dapat tembus US$5.000, namun kenyataannya hingga 2016 belum tercapai.  

Optimisme itu muncul berdasarkan data masa lalu di mana PDB per kapita kita pada 2004 hanya US$1.184 dan meningkat mencapai US$3.000 pada akhir 2010, dan terakhir 2015 mencapai US$3.541. Ini berarti dalam lima tahun terakhir kondisi ekonomi Indonesia terlihat sangat lambat sehingga mempengaruhi distribusi pendapatan rakyatnya. Sementara untuk mengejar target  PDB per kapita US$ 5.000, pemerintah Indonesia saat ini bekerja keras melalui program percepatan pembangunan infrastruktur dan mengundang capital inflow untuk mendukung investasi sektor riil di negeri ini.  

Besaran pendapatan per kapita merefleksikan kemakmuran, tingkat daya beli, dan kemajuan pembangunan suatu negara. Angka ini didapatkan melalui pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Semakin besar PDB per kapita suatu negara, semakin makmur masyarakatnya.

Karena itu, PDB per kapita juga seringkali digunakan untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi antarnegara. Namun, optimisme peningkatan PDB per kapita ini perlu dicermati dengan penuh kehati- hatian.Hal ini karena data PDB dihitung dengan menjumlahkan total output/pendapatan yang diproduksi di dalam negeri.

Hanya saja,data ini perlu dilengkapi dengan melihat distribusi dan kualitas kontribusi sektoral maupun kelompok pendapatan masyarakat sehingga pencapaian PDB per kapita perlu dilengkapi dengan indikator yang lebih mencerminkan pemerataan akses, kontribusi, dan distribusi agar PDB per kapita menjadi lebih berkualitas.

Meski demikian, juga bisa dipertanyakan apakah PDB per kapita adalah alat ukur yang layak untuk Indonesia karena penduduk Indonesia memiliki karekteristik ketidaksetaraan yang tinggi dalam distribusi pendapatan. Dengan kata lain, ada kesenjangan antara statistik dan kenyataan karena kekayaan 43.000 orang terkaya di Indonesia (yang mewakili hanya 0,02% dari total penduduk Indonesia) setara dengan 25% PDB Indonesia. Kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan 10,3% PDB (yang merupakan jumlah yang sama dengan kombinasi harta milik 60 juta orang termiskin di Indonesia). Angka-angka ini mengindikasikan konsentrasi kekayaan yang besar untuk kelompok elit yang kecil. Terlebih lagi, kesenjangan distribusi pendapatan ini diperkirakan akan meningkat di masa mendatang.

Apabila pada 2014 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 312,328, ini setara dengan US$ $25 yang berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. Menurut data Bank Dunia, angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$2 per hari mencapai angka sekitar 25% dari jumlah penduduk pada 2014. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan. Meski demikian, menurut Bank Dunia, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan dukungan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan.

Hal ini sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit. Ini akan lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.

Beberapa data terakhir menunjukkan ada pola pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektoral menunjukkan pertumbuhan positif untuk sektor-sektor non-tradable seperti keuangan, transportasi dan telekomunikasi, hotel dan restoran, perdagangan, konstruksi, gas dan air bersih,listrik, serta jasa lain.Sementara itu tren sebaliknya ditunjukkan oleh sektor tradable seperti pertanian, pertambangan dan galian, serta industri manufaktur nasional.

Persoalan terjadi karena mayoritas tenaga kerja dan masyarakat Indonesia hidup dari sektor tradable. Dikhawatirkan, ketimpangan kontribusi sektoral terhadap total pertumbuhan ekonomi nasional memunculkan persoalan atas ketimpangan pendapatan antara pekerja di sektor non-tradable dan tradable.  


BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…