PP Pengupahan Dipertanyakan Lagi - PEMERINTAH DIMINTA JANGAN PAKSA PEMBERLAKUAN

Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuding pemerintah berusaha memanfaatkan Forum Konsolidasi Dewan Pengupahan se-Indonesia di Bali untuk membenarkan dan memaksakan kembali pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurut KSPI, forum tersebut telah diatur sehingga peserta mayoritas adalah pendukung PP Pengupahan dari unsur pengusaha dan pemerintah, sementara unsur pekerja hanya 25%.

NERACA

Anggota Dewan Pengupahan Nasional dari KSPI Iswan Abdullah menyatakan, serikat pekerja dan serikat buruh yang selama ini vokal dalam menyuarakan penolakan terhadap PP Pengupahan hampir tidak terlihat. Pada forum tersebut Ketua Dewan Pengupahan Nasional Irianto Simbolon juga menyatakan bahwa dewan telah sepakat menerima PP Pengupahan. Menurut Iswan, yang juga sedang mengikuti forum tersebut, pernyataan tersebut tidak pantas disampaikan dalam forum tersebut karena masih ada penolakan dari unsur buruh.

“Pernyataan tersebut tidak memperhatikan dan menghargai upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan Gerakan Buruh Indonesia ke Mahkamah Agung dan rekomendasi Panitia Kerja Komisi IX DPR agar pemerintah mencabut PP Pengupahan,” tuturnya di Jakarta, Rabu (20/7).

Menurut dia, pemerintah seharusnya mengevaluasi 12 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan, termasuk paket IV yang memuat PP Pengupahan, yang telah gagal mengatasi perlambatan ekonomi. Hal itu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 yang hanya 4,92%.

Iswan mengatakan, permasalahan pertumbuhan ekonomi yang lambat di Indonesia adalah penurunan daya beli. Karena itu, seharusnya kebijakan yang seharusnya diambil adalah peningkatan daya beli. “Instrumen untuk meningkatkan daya beli setidaknya ada tiga, yaitu perluasan kesempatan kerja bagi warga negara Indonesia, bukan warga negara China; kenaikan upah pekerja; serta subsidi dan jaminan sosial,” katanya.

Di samping soal PP Pengupahan, KSPI menyatakan peningkatan daya beli merupakan perangkat yang paling tepat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Iswan mengatakan saat pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2015 hanya mencapai 4,8%, konsumsi rumah tangga saat itu hanya 51% dengan investasi mencapai 33% serta APBN dan ekspor hanya 16%.

Kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang hanya bertumpu pada investasi, kata Iwan seperti dikutip Antara, hanya akan melahirkan pengusaha kaya yang semakin kaya atau konglomerat baru. “Data membuktikan ada penumpukan modal puluhan ribu triliun di luar negeri oleh para konglomerat Indonesia dan kesenjangan ekonomi semakin lebar, sementara pendapatan upah pekerja dan masyarakat dihabiskan untuk belanja kebutuhan hidup bulanan bahkan tidak bersisa untuk menabung,” tutur dia.

Rezim Upah Murah

Itu sebabnya,  buruh mendesak pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan karena telah membawa Indonesia kepada rezim upah murah. Upah murah yang diterima buruh akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga pertumbuhan ekonomi melambat.

Gerakan Buruh Indonesia (GBI) yang terdiri atas konfederasi dan federasi serikat pekerja dan serikat buruh telah mengajukan peninjauan kembali terhadap PP Pengupahan kepada Mahkamah Agung. Panitia Kerja Komisi IX DPR juga telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk mencabut PP tersebut.

Pada kesempatan lain, Presiden KSPI Said Iqbal mendesak forum konsolidasi dewan pengupahan se-Indonesia yang diadakan Kementerian Ketenagakerjaan di Bali membahas pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. “Panitia kerja DPR sudah merekomendasikan agar PP Pengupahan dicabut. KSPI mendesak dewan pengupahan membahas rekomendasi tersebut dan mencabut PP Pengupahan,” kata Iqbal.

Menurut Iqbal ada tiga alasan utama buruh menolak PP Pengupahan. Pertama, kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Kedua, PP Pengupahan juga membatasi kenaikan upah minimum. Padahal, upah dasar pekerja di Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia Tenggara. Ketiga, PP Pengupahan juga membuka ruang untuk menghilangkan upah minimum sektoral sehingga akan berdampak pada penurunan daya beli buruh dan rakyat serta memperburuk kondisi perekonomian Indonesia.

Said Iqbal juga mendesak pemerintah untuk menjalankan rekomendasi panitia kerja DPR untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. “Panja DPR sudah merekomendasikan agar PP Pengupahan dicabut. Namun, Menaker masih ngotot mempertahankan PP yang jelas-jelas merugikan buruh itu,” ujarnya.

PP Pengupahan telah menetapkan rumus kenaikan upah minimum berdasarkan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Rumus tersebut adalah Upah minimum baru = upah minimum saat ini (upah minimum saat ini x (persentase inflasi + persentase pertumbuhan ekonomi)).

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, dalam sebuah kesempatan, mengatakan pemerintah tidak akan mencabut PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang ditentang oleh organisasi buruh. Pemerintah justru akan memperkuat pelaksanaan PP tersebut agar diaptuhi oleh seluruh daerah di Indonesia. “Pengupahan di seluruh wilayah harus mengikuti dan menegakkan PP 78/2015,” ujar Hanif.

Menaker juga mengimbau pemerintah daerah yang belum menentukan besaran upah minimum untuk mengikuti ketentuan PP Pengupahan tersebut. Adapun bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan besaran upah minimum itu sanksi tegas telah menunggu mulai dari sanksi administratif, penolakan pelayanan oleh instansi pemerintah, hingga sanksi berat pencabutan izin usaha. mohar/bari/munib

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…