KATEGORI BANK BERDAMPAK SISTEMIK - KKSK: Tertutup Diumumkan ke Publik

Jakarta – Sebagai tindak lanjut implementasi UU No 9/2016, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan menetapkan daftar bank berdampak sistemik (Domestic Systematically Important Bank-DSIB) pada Juli 2016. Namun KKSK tidak akan mengumumkan nama bank yang masuk kategori sistemik tersebut ke publik, dengan alasan sesuai ketentuan Bank of International Settlements (BIS)

NERACA

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara dalam sosialisasi Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) No 9/2016 di Jakarta. "Juli 2016, KSSK akan tetapkan DSIB," ujarnya, Kamis (23/6).

Merujuk pada keterangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebelumya, adapun nama bank yang masuk kategori DSIB tidak akan diumumkan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dari Bank for International Settlements (BIS), sebuah lembaga keuangan internasional yang teraflisiasi dengan banyak bank sentral di dunia.

Penetapan DSIB merupakan tindak lanjut atau rencana aksi dari UU PPKSK yang baru disahkan Maret 2016 lalu. Bank yang masuk kategori DSIB merupakan bank yang memiliki jaringan bisnis yang luas, dan keterkaitan dengan lini bisnis lain di industri keuangan.

Pengawasan terhadap bank-bank yang masuk DSIB ini harus ditingkatkan oleh KSSK, agar segala gangguan yang terjadi pada DSIB dapat dimitgasi dampak negatifnya dan tidak menjalar ke industri keuangan.

Penetapan bank berdampak sistemik merupakan langkah mitigasi awal dalam menghadapi potensi krisis keuangan. Pasalnya sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan khususnya bank sistemik.

Pentapan tersebut dilakukan setelah KSSK yang beranggotakan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan rapat secara regular sejak UU PPKSK disahkan.

"KSSK memegang peranan penting karena mengerjakan pemantauan tiap tiga bulan sekali," ujarnya seperti dikutip Antara.

Kebijakan KKSK tidak mengumumkan nama bank yang masuk kategori sistemik, sangat bertolak belakang dengan kebijakan perbankan internasional. Lain halnya dengan Bank Sentral AS (The Fed) untuk pertama kalinya sejak 2009, sudah berani terbuka merilis terbuka hasil stress test perbankan ke publik. Meski diantara bank-bank yang tidak lolos tes terdapat Citigroup, bank ternama di AS, kebijakan The Fed itu patut kita acungi jempol dan patut ditiru oleh Bank Indonesia (BI), KKSK maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

BI dan OJK sebenarnya sudah sejak lama melakukan tes serupa untuk perbankan yang beroperasi di Indonesia, namun hasilnya tetap tidak terbuka alias tertutup mengumumkan nama bank yang gagal tes tersebut. Padahal stress test  maupun bank kategori sistemik tidak termasuk dalam jenis rahasia bank yang diatur UU Bank Indonesia.

Rasio Kecukupan Modal

Pada kesempatan yang sama, Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan II OJK Boedi Armanto di kesempatan yang sama mengatakan DSIB wajib memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal dan likuiditas. Selain itu DSIB juga wajib melaporkan segala bentuk rencana aksi korporasi untuk disetujui oleh OJK.

Calon bank yang masuk kategori DSIB, kata Boedi, antara lain memiliki rasio kecukupan modal inti (CAR) 16%. "Sedangkan untuk keterkaitan dengan anak perusahaan kita anggap dia sebagai konglomerasi kalau memang dia besar. Kita terapkan metode pengawasan terintegrasi," ujarnya.

Boedi menjelaskan nantinya jika ditetapkan masuk dalam daftar DSIB, bank wajib memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal dan likuiditas. Selain itu bank juga wajib melaporkan segala bentuk rencana aksi korporasi untuk disetujui oleh OJK.

"Kalau dia semakin masuk dalam daftar yang sangat berpengaruh maka kewajiban bank untuk menambah modal juga semakin besar," ujarnya.

Tidak hanya itu. Implementasi UU PPKSK selain menetapkan daftar bank kategori DSIB, juga memberikan Presiden Jokowi dua kewenangan khusus dalam hal penanganan krisis sistem keuangan.

Nantinya, Presiden berhak menetapkan status apakah sistem keuangan dalam keadaan normal atau krisis. Keputusan tersebut harus diambil oleh kepala negara setelah mendapat rekomendasi dari KKSK. "Presiden juga pemegang mandat politik. Sebagian pertanggung jawaban penetapan krisis adalah pertanggung jawaban politik," ujar Suahasil.

Kewenangan kedua, Presiden berhak menetapkan pengaktifan dan pemberhentian upaya restrukturisasi bank berdampak sistemik yang mengalami krisis. Penanganan permasalahan bank sistemik meliputi penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank sistemik.

"Manakala ada bank yang mengalami permasalahan dan ada indikasi yang sangat luar biasa dan bisa mengganggu perekonomian, Presiden berhak memutuskan bank tersebut harus direstrukturisasi atau tidak," ujar Suahasil.

Sebelumnya, Menkeu Bambang PS Brodjonegoro selaku koordinator KSSK, menyatakan perekonomian Indonesia dalam tiga bulan terakhir berada dalam kondisi baik. Hal itu seiring dengan meredanya ketidakpastian perekonomian global dan mulai menggeliatnya perekonomian.

"Kami sudah lakukan assessment terhadap kondisi stabilitas sistem keuangan dalam tiga bulan terakhir dan intinya baik terkendali," ujarnya di Jakarta, Jumat (13/5).

Kendati demikian, lanjutnya, KSSK perlu tetap waspada dan mengantisipasi perkembangan perekonomian global dan internal. “Masing-masing (anggota KSSK) juga berpendapat selain kondisi relatif baik kami juga harus tetap waspadai risiko yang mungkin muncul,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Komisaris OJK Muliaman D. Hadad mengungkapkan beberapa risiko yang harus diantisipasi. Risiko global diantaranya kenaikan tingkat bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve). Sementara, di sisi internal, ada risiko perlambatan pertumbuhan kredit domestik.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) dalam keterangan tertulisnya menyatakan indikasi perlambataan kredit pada kuartal I-2016 tercermin dari nilai Saldo Bersih (SBT) tertimbang, yang berdasarkan hasil survei perbankan hanya tumbuh sebesar 31,3% atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya.

BI memperkirakan perlambatan pertumbuhan kredit terjadi akibat masih rendahnya kebutuhan pembiayaan korporasi pada awal tahun dan kebijakan perbankan yang selektif guna menekan kenaikan risiko kredit bermasalah atau Non Performing Loans (NPL).

Namun demikian, Muliaman yakin pertumbuhan kredit akan mengalami kenaikan pada kuartal II hingga kuartal IV 2016. Selain itu, pelaku industri keuangan masih optimistis pertumbuhan kredit tahun ini bisa mencapai 13% sesuai dengan yang dilaporkan dalam rencana bisnis bank (RBB).

“Kami yakin akan ada recovery (permintaan kredit). Pertumbuhan ekonomi yang naik tahun ini tentunya akan meminta tambahan kredit yang lebih besar sehingga (pertumbuhan kredit) di triwulan II hingga IV saya yakin akan naik,” ujarnya.

Pada bagian lain, terkait modal perbankan, Bank Indonesia (BI) kembali menahan besaran tambahan modal penyangga bank berupa Countercyclical Buffer (CCB) sebesar 0 persen. Besaran CCB tersebut masih sama dengan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/22/PBI/2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer tanggal 23 Desember 2015.

Sebagai informasi tujuan ditetapkannya instrumen CCB ini adalah untuk mencegah peningkatan risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan (excessive credit growth) sekaligus untuk menyerap kerugian yang dihadapi perbankan melalui pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer).

Berdasarkan aturan tersebut, BI melakukan evaluasi besaran dan waktu pemberlakuan CCB paling kurang 1 (satu) kali dalam enam bulan. "Evaluasi besaran CCB dilakukan dengan menggunakan indikator utama dan indikator pelengkap serta professional judgement berdasarkan data kuartal I-2016," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, beberapa waktu lalu.

Menurut BI, kesenjangan antara kredit terhadap Produk Domestik Bruto/PDB (Credit to GDP gap), sebagai indikator utama penentuan besaran CCB, tidak menunjukkan adanya indikasi pertumbuhan kredit yang berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya risiko sistemik. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…