Mencermati Arus Deras FCTC

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

Melalui Kementerian Kesehatan wacana pengendalian tembakau global atau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) kembali menjadi diskursus publik. Dalam perdebatan antara pro dan kontra-ratifikasi FCTC, perlu dicatat bahwa posisi Indonesia tidak sendirian. Negara-negara yang belum menandatangani FCTC pun beragam mulai dari Amerika Serikat hingga Argentina. Beragam alasan penolakan muncul, salah satunya logika pengendalian tembakau versi FCTC dinilai lemah.

Kasus di Australia dapat dijadikan contoh kegagalan FCTC. Paska penghilangan merk di bungkus rokok atau plain packaging pada tahun 2013, jumlah volume rokok meningkat sebanyak 115 juta batang rokok atau 5,75 juta pak. Yang terjadi justru kenaikan terhadap konsumsi rokok.

Sementara itu untuk kasus di Indonesia, wacana pro-ratifikasi FCTC menguat setelah mendapat dukungan data BPS yang menyebutkan bahwa salah satu penyumbang kemiskinan di Indonesia adalah rokok. Tentu informasi ini bias kepentingan dan cenderung simplistik. Rokok dikatakan sebagai komoditas penyumbang garis kemiskinan sebesar 8,08% di perkotaan dan 7,68% di perdesaan.

Padahal kontributor kemiskinan pertama di sektor makanan yaitu beras sebesar 22,1% dan non makanan yaitu perumahan sebesar 9,07%. Sudah nyata bahwa kedua komoditas penyumbang garis kemiskinan tersebut merupakan tanggung jawab Pemerintah. Selama ini faktor yang paling memukul daya beli masyarakat miskin adalah harga pangan yang masih mahal. Ada upaya pengalihan isu, sehingga masyarakat fokus pada wacana rokok sebagai dalang utama kemiskinan.

Argumen kedua yang seringkali dipakai untuk mengendalikan rokok dengan instrumen peningkatan cukai rokok adalah perbandingan harga rokok di Indonesia dengan negara lainnya. Harga rokok rata-rata di Indonesia sebesar US$1,6 per bungkus sedangkan di Singapura mencapai US$10,4 per bungkus. Jika dilihat secara sepintas maka harga rokok di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan Singapura.

Menurut pendapat ini yang perlu dilakukan adalah menaikkan harga dengan instrumen cukai sehingga konsumsi menurun. Faktanya argumentasi ini lemah dan cenderung menggiring opini sesat di tengah masyarakat. Padahal jika dihitung menggunakan teori PPP (Purchasing Power Parity) terlihat bahwa harga rokok di Indonesia termasuk mahal. Berdasarkan perhitungan tersebut jelas terlihat harga rokok relatif terhadap pendapatan masyarakat sangat tinggi yaitu 2,9%.

Sementara itu Singapura dan Malaysia masing-masing hanya 1,5% dan 2%. Di Singapura terbukti bahwa harga rokok yang kita anggap mahal ternyata masih dalam jangkauan daya beli penduduk Singapura. Penghitungan lain misalnya menggunakan GDP per kapita dibanding harga rokok juga terlihat bahwa rokok di Indonesia tidak dapat dikategorikan murah. GDP per kapita Indonesia tercatat US$5.498 sedangkan di Singapura US$67.035. Sekali lagi, menggunakan harga rokok sebagai argumentasi kenaikan cukai versi FCTC juga tergolong lemah dan tak berdasar.

 

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…