Alarm Bahaya Defisit Fiskal

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

 

Apa yang paling dikhawatirkan dalam pembahasan APBN-P 2016? Jawabannya hanya satu, meledaknya defisit anggaran. Saat ini defisit anggaran yang tercatat sudah mencapai 2,48% atau jauh membesar dari tahun 2011 lalu sebesar 1,14%. Padahal UU Keuangan Negara sudah memberikan peringatan bahwa defisit tidak boleh melampaui 3% terhadap PDB.

Ada beberapa faktor yang harus dicermati mengapa alarm bahaya defisit anggaran dalam APBNP 2016 perlu dinyalakan lebih nyaring dibandingkan anggaran sebelumnya. Pertama, dari sisi penerimaan Negara, ketergantungan yang berlebihan pada sektor ekstraktif, termasuk migas dan pertambangan terbukti membahayakan APBN. Alasan utama kekhawatiran adalah harga migas dan batu-bara rupanya masih mengalami kelesuan. Adapun kenaikan harga minyak sifatnya masih temporer dan diprediksi tidak akan bisa menembus 60 USD per barel tahun ini. Realisasi penerimaan dari sektor migas pun tergerus, Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari migas hanya Rp.89,1 triliun per Mei 2016 atau turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Rp.98,1 triliun.

Sementara itu obat instan yang ditawarkan Pemerintah adalah Tax Amnesty. Porsi uang tebusan yang dianggap berhasil masuk ke kas negara cukup besar, yaitu ditarget Rp.165 Triliun. Masalahnya menjadi fatal apabila Pemerintah dengan percaya diri memasukkan tax amnesty ke dalam pos penerimaan negara. Semua sudah tahu, bahwa resiko keberhasilan program tax amnesty sangat kecil. Hampir mustahil Rp.165 triliun itu masuk menjadi penerimaan negara, yang artinya harus ada Rp.6.000 triliun total dana repatriasi yang masuk ke Indonesia. Sungguh mimpi disiang bolong.

Akibat kecerobohan dalam membuat APBN-P 2016, kekhawatiran melonjaknya defisit kini bukan sekedar bualan. Jika tax amnesty gagal tercapai, penerimaan dari migas menurun, hasilnya adalah bom waktu defisit fiskal. Dalam APBN-P 2016 Pemerintah coba bermain dengan menghemat belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp.40,58 triliun. Memang belanja K/L ini jadi sasaran empuk pertama, tapi tidak bisa terus menerus. Banyak pos penting yang harus rela dipotong, misalnya belanja pendidikan dan belanja sosial masing-masing dipotong Rp.10,57 triliun dan Rp.9,8 triliun. Tidak mungkin efisiensi dilakukan terlalu besar karena belanja pendidikan dan sosial merupakan upaya menanggulangi kemiskinan. Artinya tetap ada limit.

Defisit anggaran juga punya konsekuensi politik. DPR dapat terlibat apabila alarm bahaya defisit fiskal sudah mencapai 3% terhadap PDB. Pemanggilan Presiden, hingga pemakzulan bukan sesuatu yang mustahil. Tentu dampak negatif ini coba dihindari. Akibat diterobosnya rambu defisit juga membuat investor enggan menanamkan uangnya di Indonesia. Dan alarm itu sudah mulai terlihat ketika Standard and Poor’s tak berkenan memberikan rating investment grade pada Indonesia karena khawatir ledakan fiskal ditahun mendatang.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…