Tarik Ulur Kepentingan di Tapak Gambut

Oleh: Michael Teguh Adiputra Siahaan

Isu tentang gambut, tanah berkarbon yang berasal dari timbunan bangkai tumbuhan selama berjuta-juta tahun, selalu menjadi persoalan yang cukup sensitif di Indonesia. Pasalnya, membicarakan gambut sama artinya dengan mempermasalahkan tempat di mana banyak pihak memperoleh keuntungan ekonomi yang sangat besar. Caranya yang utama adalah dengan menanam sebanyak mungkin kelapa sawit.

Tumbuhan bergenus Elaeis itu dianggap sebagai tanaman yang paling cocok ditanam di tapak-tapak gambut dengan alasan paling ekonomis, lebih tinggi nilainya dan lebih cepat menghasilkan duit daripada tanaman lain yang bisa ditumbuhkan di tempat sama seperti jati, sengon dan karet.

Sawit dapat dipanen "hanya" dalam waktu sekitar 31 bulan setelah ditanam. Tandan buah segar (TBS) yang diperoleh kemudian diolah kembali menjadi banyak produk seperti minyak sawit mentah (CPO) dan bahan bakar biodiesel.

Pada 2015 ketika harga CPO menurun akibat ketidakstabilan harga minyak dunia, catatan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapki) menyebutkan Indonesia masih bisa mencatat nilai ekspor CPO Indonesia mencapai 18,64 miliar dolar AS walau lebih rendah 21 persen dari tahun sebelumnya.

Namun, pada tahun Kambing Kayu, jumlah ekspor CPO (termasuk biodiesel dan oleochemical/mengelola minyak nabati) mencatat kenaikan, mencapai 26,40 juta ton, lebih banyak 21 persen dari tahun 2014 yaitu 21,76 juta ton.

Di sisi lain, "kue" miliar dolar AS tersebut menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Perusahaan dan masyarakat menjadi berlomba membuka lahan gambut dengan berbagai cara, termasuk membakarnya.

Akibat yang paling terlihat terjadi pada 2015, di mana kebakaran hebat hutan terjadi di beberapa wilayah, dengan lima provinsi di Indonesia nyala apinya terparah meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Kabut asap pun menyebar melintas batas pulau dan provinsi dengan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sempat menyentuh hampir dua kali lipat dari taraf berbahaya (indeks 300-500).

Memang, kekeringan yang terjadi pada masa itu menjadi salah satu faktor pemicu munculnya "amukan" si jago merah di tanah gambut yang berkarbon tinggi. Akan tetapi, itu tidak lantas membuat pemerintah diam dan menyalahkan alam.

Belasan perusahaan, umumnya bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, diperiksa oleh pihak kepolisian dan ada yang dijadikan tersangka.

Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk melakukan penundaan atau moratorium terhadap izin perluasan konsesi kelapa sawit.

Pro dan Kontra Sejak dicetuskan, rencana moratorium itu langsung mendapat tanggapan, ada yang mengapresiasi, ada yang menolak. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kesepakatan Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) menyatakan dukungannya.

CEO Cargill Tropical Palm, perwakilan IPOP, John Hartmann menyebut moratorium adalah kesempatan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit nasional.

"Pemerintah dapat menindaklanjuti beberapa permasalahan seperti terkait restorasi lahan gambut dan permasalahan-permasalahan hukum yang berkenaan dengan masalah sawit," ujar John.

Perusahaan-perusahaan yang berikrar dalam IPOP adalah Asian Agri, GAR, Wilmar, Cargill, Musim Mas dan Astra Agro Lestari.

Institut Penelitian Inovasi Bumi (Inobu) pun berpendapat senada. Direktur Pelaksana Inobu Joko Arif menyatakan moratorium adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kerap menghantui industri kelapa sawit seperti terkait pemberdayaan petani, legalitas, lahan gambut, penebangan hutan, emisi gas rumah kaca hingga konflik dengan masyarakat setempat.

"Pemerintah perlu membangun sebuah rencana strategis industri kelapa sawit yang menerapkan prinsip berkelanjutan," ujar Joko.

Argumen berbeda disampaikan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Organisasi yang beranggotak lebih dari 600 perusahaan kelapa sawit ini berpandangan moratorium izin konsesi kelapa sawit jika jadi diterapkan oleh pemerintah akan mengakibatkan industri kelapa sawit tidak berkembang.

Menurut Kepala Bidang Riset Lingkungan Gapki Pusat, Bandung Sahari, walau setiap produsen sawit memberlakukan pengembangan industri melalui intensifikasi, program ekstensifikasi melalui perluasan lahan tetap penting.

Akan tetapi, Bandung Sahari mengembalikan semuanya kepada pemerintah. Sebab sejatinya semua hal yang terkait kebijakan moratorium konsesi lahan sawit adalah hak pemerintah.

Gapki sendiri menolak mentah-mentah anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit yang berdiri di atas tanah gambut merupakan penyebab utama "mengamuknya" api tahun 2015.

"Kami yakin setiap perusahaan sawit sudah menerapkan pengaturan perairan yang mumpuni agar lahan gambut tidak kering. Faktanya, kebakaran juga banyak terjadi di lahan dengan tanah mineral," kata Bandung Sahari.

Gapki mendapat dukungan dari pihak akademisi. Guru Besar Fakultas Pertanian Sumatera Utara Erwin Harahap. Bahkan, Erwin mengatakan bahwa kelapa sawit sebenarnya merupakan tanaman konservasi.

Menurut dia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, kelapa sawit bisa mengembalikan fungsi tanah yang sebelumnya tidak subur menjadi kembali produktif.

Bahkan ketika kelapa sawit ditanam di tanah bekas tambang timah hasilnya bagus," ujar Erwin.

Dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai guru besar tahun 2007 dengan judul "Peranan Tanaman Kelapa Sawit pada Konservasi Tanah dan Air", Erwin menyimpulkan bahwa kelapa sawit memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan memperbaiki tata air.

Selain itu, kelapa sawit juga diyakin Erwin dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta menyediakan bahan baku industri yang terus menerus.

"Tidak ada data ilmiah yang menyatakan kelapa sawit itu tidak bagus," kata dia.

Berkelanjutan Gapki sendiri menilai kebakaran hutan di lahan gambut sejatinya bisa dicegah dengan melakukan intensifikasi dengan sistem berkelanjutan. Perkumpulan yang berdiri pada 27 Februari 1981 ini mencontohkan apa yang sudah dilakukan beberapa perusahaan sawit di Sumatera Utara.

PT Perkebunan Nusantara IV Unit Kebun Unit Ajamu di Kecamatan Panai Hulu, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, contohnya. Sejak berdiri pada tahun 1930-an, kebun kelapa sawit ini tidak pernah mengalami kebakaran hutan.

Begitupula yang terjadi di PT Perkebunan Nusantara IV Unit Kebun Unit Meranti Paham, yang berlokasi tidak jauh dari Ajamu. Kedua kebun ini menerapkan pengelolaan perairan atau "water management" yang terpola dan terpelihara dengan baik.

Caranya, di sekeliling lahan gambut dibuat parit-parit air dengan lebar sekitar 1,5 meter dan dengan kedalaman diatur agar tidak lebih dari 50-60 sentimeter.

"Kalau berlebih, airnya akan kami alirkan keluar. Jika kurang, air kami pompa dari Sungai Barumun," ujar Kepala Dinas Tanaman Kebun Meranti Paham Rahmadansyah.

Sistem ini juga diterapkan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit swasta PT Socfindo yang berlokasi di Desa Negri lama, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu dan PT Abdi Budi Mulia (ABM) di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Dengan mempertahankan tinggi permukaan air, lahan gambut menjadi tetap lembab dan sangat sulit untuk terbakar.

Hasil program berkelanjutan tersebut pun menguntungkan pemerintah daerah. Bupati Labuhanbatu Selatan Wildan Aswan Tanjung menuturkan industri kelapa sawit memang menjadi tumpuan utama kehidupan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, selain perkebunan karet.

Menurut Wildan, 70 persen atau sekitar 150.000 hektare dari luas daerah yang dipimpinnya telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit.

Kabupaten yang berdirinya disahkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan tersebut memiliki 23 pabrik kelapa sawit, jumlah yang diklaim Wildan terbesar untuk ukuran kabupaten di seluruh Indonesia.

"Keberadaan industri kelapa sawit membuat makin banyak masyarakat berdomisili di wilayah-wilayah yang dahulunya tidak subur," tutur dia, sembari menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan sawit di daerah politisi PAN ini juga membantu pembangunan infrastruktur, seperti jalan. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…