KPK : Lembaga Penegakan Hukum Bermasalah

KPK : Lembaga Penegakan Hukum Bermasalah

NERACA

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa kondisi lembaga penegakan hukum di Indonesia bermasalah karena ada sejumlah aparat penegak hukum yang ditangkap KPK akhir-akhir ini.

"Ada beberapa yang ditangkap akhir-akhir ini itu menunjukan bahwa lembaga penegakan hukum kita itu masih bermasalah," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Rabu (25/5).

Pada Senin (23/5) KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba bersama dua rekannya hakim ad hoc PN Bengkulu Toton dan panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy di beberapa tempat di Bengkulu.

Sebelumnya, KPK juga menangkap tangan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro, Dermawan Ginting dan Syamsir Yusfan.

"Salah satu fungsi dan tugas KPK dalam undang-undang adalah satunya memperbaiki tata kelola termasuk korupsi di sektor penegak hukum. Itu salah satu yang dikerjakan KPK sekarang. KPK ingin bekerja sama dengan kejaksaan, kepolisian dan Mahkamah Agung dan berupaya keras untuk memperbaiki situasi ini agar lebih baik di masa yang akan datang," ungkap Laode.

Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari pun sudah menemui pimpinan KPK pada Selasa (24/5) untuk membahas perbaikan tersebut."Kemarin misalnya teman-teman dari KY datang ke KPK untuk membicarakan kira-kira program tindakan yang akan dilakukan antara KPK, KY dan MA agar hal yang seperti kemarin tidak terjadi di masa yang akan datang," jelas Laode.

Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba, hakim ad hoc PN kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

Dalam OTT, KPK menyita uang sebesar Rp150 juta yang diberikan oleh Syafri kepada Janner. Janner pada 17 Mei 2016 juga sudah menerima uang Rp500 juta dari Edi, sehingga total uang yang Janner terima adalah Rp650 juta.

Uang tersebut diberikan agar majelis hakim yang dipimpin oleh Janner Purba dengan anggota majjelis Toton dan Siti Ansyiria membebaskan Edi dan Syafri selaku terdakwa yang masing-masing dituntut 3,5 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu Muhammad Yunus. Vonis kasus itu rencananya akan dibacakan pada Selasa (24/5).

Kasus tersebut berawal dari Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor Z. 17 XXXVIII Tahun 2011 Tentang Tim Pembina Manajemen RSMY mengenai honor tim pembina RSUD M Yunus termasuk honor gubernur Bengkulu saat itu Junaidi Hamsyah.

Padahal SK itu bertentangan dengan Permendagri No 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina.

KPK menyangkakan Janner dan Toton berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Badaruddin Amsori Bachsin disangkakan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sehingga ia diduga sebagai penerima sekaligus pemberi hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Syafri Syafii dan Yunus Edi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta. Ant

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…