Waspadai Utang Negara

Sinyal meningkatnya utang pemerintah terus meningkat mulai terlihat, data Kemenkeu mencatat  hingga Maret 2016 total utang pemerintah mencapai Rp 3.263,52 triliun, atau setara dengan 27% dari produk domestik bruto (PDB).

Meski Menkeu Bambang PS Brodjonegoro menyatakan posisi utang tersebut dalam kondisi aman, pemerintah tetap berencana memangkas belanja Rp 50 triliun di tengah gencarnya belanja infrastruktur yang tetap jadi prioritas.

Bambang merinci, total utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 750,16 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp 2.513,36 triliun. Untuk pinjaman mayoritas berasal dari luar negeri yang terdiri dari Bank Dunia, Jepang, Asian Development Bank (ADB), Perancis, dan Jerman.

Sementara itu, untuk SBN dalam bentuk valuta asing sebesar Rp 656,6 triliun dan dalam denominasi rupiah sebesar Rp 1.854,78 triliun. Dalam APBN 2016 terdapat SBN yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 228,5 triliun, ditambah SBN neto untuk menutupi defisit dan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 327,22 triliun. Dampaknya, hingga akhir April 2016, defisit anggaran sudah mencapai Rp 167,6 triliun atau 61,3% dari target defisit  2016 sebesar Rp 273,2 triliun.

Kendati keuangan negara tengah kritis saat ini, Presiden Jokowi tetap terus bertekad membangun infrastruktur. Karena tanpa infrastruktur yang memadai, negeri ini tidak bisa pernah bisa melangkah maju. Jadi, apabila pemangkasan anggaran dinilai belum cukup mengingat perjalanan tahun ini masih delapan bulan ke depan, pemerintah dipastikan akan berutang lebih banyak untuk membiayai deficit tersebut.

Seperti kita ketahui target defisit dalam APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, yang akan dibiayai melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) neto dalam denominasi rupiah Rp 272,8  triliun dan utang luar negeri neto Rp 400 miliar. Angka defisit ini setara dengan 2,15% dari PDB yang diperkirakan mencapai Rp 12.703,8 triliun.

Nah, berdasarkan UU Keuangan Negara, pemerintah hanya dapat menanggung maksimal 3% dari PDB. Namun, jika itu dilakukan, utang pemerintah terus meningkat secara signifikan, mau tidak mau pemerintah akan terus mendorong pengesahan UU Tax Amnesty secepat mungkin.

Sebab, dari tax amnesty, pemerintah bisa mendapatkan tambahan pajak sebesar Rp 70 triliun – 100 triliun. Untuk itu, pemerintah bersama BI, OJK dan DPR dituntut menemukan jalan keluar menghadapi kondisi cukup pelik tersebut.

Menghadapi kondisi keuangan negara yang cukup memprihatinkan tersebut, para menteri harusnya bekerja ekstra ketat dengan pola pikir out of the box sesuai dengan apa yang diinstruksikan Presiden Jokowi. Apalagi data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2016 hanya 4,92% menunjukkan kinerja para menteri ekonomi patut dipertanyakan.

Adalah wajar jika Presiden Jokowi merasa kecewa atas pencapaian kinerja pertumbuhan ekonomi tersebut. Karena, angka pertumbuhan selama 3 bulan pertama tahun ini tidak sesuai  konsensus pasar yang saat itu ditargetkan dapat mencapai 5,1%. Kinerja triwulan I-2016 juga lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,04%.

Melihat data PDB ekonomi Indonesia selama triwulan I-2016, menurut data BPS, hanya sebesar Rp 2.947 triliun, tidak jauh berbeda dengan PDB triwulan IV- 2015 yang Rp 2.945 triliun, bahkan lebih rendah dibandingkan triwulan III-2015 yang sebesar Rp 2.998 triliun.

Dari perbandingan data PDB tersebut, kita menyimpulkan selama triwulan I 2016, hampir tidak ada kemajuan aktivitas ekonomi dibandingkan triwulan sebelumnya. Padahal, selama kurun waktu tersebut, Presiden sudah berkeliling ke banyak daerah untuk meresmikan berbagai proyek infrastruktur.

Perlu diketahui, paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan telah mencapai jilid ke-XII, yang pada hakikatnya untuk mendorong investasi, memperbaiki daya saing, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Tidak hanya itu. Proses perizinan juga harus disederhanakan dan dipermudah. Tidak lagi berbilang hari, melainkan dalam hitungan jam, izin investasi atau usaha sudah harus keluar.

Padahal, Kepala Negara telah berulangkali menginstruksikan kepada para menterinya untuk melakukan pemangkasan perizinan dan lelang pengadaan barang dan jasa lebih awal, dengan harapan ekonomi Indonesia sudah menggeliat di awal 2016. Namun kenyataannya, kinerja PDB hanya tercapai Rp 200,31 triliun. Ini tantangan buat presiden untuk segera meninjau ulang rapor para menterinya, mengingat perjalanan waktu kian cepat menghadapi persaingan global saat ini.

 

 

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…