Kebijakan yang Adaptif

Maraknya nasabah kartu kredit berbondong-bondong menutup rekeningnya di bank penerbit (issuer bank) sebagai dampak munculnya peraturan menteri keuangan (PMK) No. 39/PMK.03/2016, yang mewajibkan 23 lembaga keuangan melaporkan data cardholder kepada Ditjen Pajak, merupakan cermin bahwa aturan baru tersebut tidak adaptif, karena menimbulkan kegaduhan bagi bank dan pemegang kartu kredit itu sendiri.

Dari sisi perbankan, penutupan kartu kredit yang dilakukan secara tiba-tiba tentunya akan menimbulkan kerugian besar. Pihak bank akan kehilangan pendapatan bunga kartu kredit yang lumayan besar. Bayangkan suku bunga kartu kredit saat ini sekitar 2,75%-3,0% per bulan atau 33%-36% per tahun dibandingkan dengan suku bunga tabungan atau deposito sekitar 6%-7% per tahun, jelas sangat berdampak negatif bagi penghasilan bank ke depan.

Dari sisi pemegang kartu kredit, kebijakan baru itu berimplikasi psikologis. Artinya, kondisi psikis bagi pemegang  kartu jenis Classic Card  yang limitnya maksimal Rp 10 juta sama dengan kondisi pemegang kartu Platinum Card yang limit kartunya di atas Rp 100 juta. Mereka berbondong-bondong melakukan penutupan rekeningnya secara bersamaan waktunya. Padahal, kita belum tahu kemampuan sumber daya manusia (SDM) Ditjen Pajak menelisik jutaan kartu kredit dari berbagai jenis tersebut.

Apakah ada manfaat yang signifikan menelisik data cardholder yang hanya maksimal limitnya Rp 10 juta? Bukankah hal ini malah menambah beban bagi perbankan karena menyiapkan data administratif jutaan kartu kreditnya, yang tidak sebanding dengan hasilnya dengan target penerimaan pajak yang hendak dicapainya?    

Menurut hemat kami, pemerintah melalui Ditjen Pajak seharusnya dapat menjelaskan kepada perbankan dan cardholder, tentang tujuan dari pemberlakukan aturan tersebut. Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan pada masyarakat. Adalah lebih baik Ditjen Pajak lebih spesifik dalam menelusuri data pemegang kartu kredit khususnya bagi pemilik Platinum Card yang limitnya di atas   Rp 100 juta.

Petugas pajak juga agar lebih berhati-hati menjaga kerahasiaan data pemegang kartu kredit, walau bukan termasuk rahasia bank. Pasalnya, transaksi pemegang kartu suatu ketika melonjak tinggi namun bukan untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan, melainkan untuk menjamu relasinya misalnya mencapai 10 orang di sebuah restoran. Tentu dalam slip transaksi hanya tercantum nama pemegang kartu saja.

Tidak hanya itu. Pembuat kebijakan publik hendaknya memperhatikan nilai-nilai (Values) Kementerian Keuangan yang mencakup:

-Integritas: Berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.

-Profesionalisme: Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi.

-Sinergi: Membangun dan memastikan hubungan kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas

Pelayanan: Memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman.

-Kesempurnaan: Senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.

Bagaimanapun, sebuah kebijakan strategis seharusnya mengandung nilai-nilai tersebut sehingga berlaku adaptif terhadap semua pihak yang berkepentingan. Jika ada salah satu bagian dari kebijakan itu merasa tidak nyaman, bahkan terganggu seperti pemegang kartu kredit berbondong-bondong menutup rekeningnya, maka pemerintah perlu legowo untuk merevisi kembali PMK tersebut.

Kementerian Keuangan harusnya menyadari bahwa masih banyak nasabah bank yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan belum memiliki e-KTP yang tentunya akan sangat merepotkan dari teknis administratif. Bukankah lebih baik dimulai dengan mensinergikan sistem informasi teknologi, antara Ditjen Pajak dengan perbankan?

BERITA TERKAIT

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

BERITA LAINNYA DI Editorial

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…