Moratorium dan Kesepakatan Iklim Paris

Oleh: Virna Puspa Setyorini

Bertepatan pada peringatan Hari Bumi yang digelar di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, 14 April 2016, Presiden RI Joko Widodo menyatakan rencana regulasi moratorium lahan perkebunan kelapa sawit dan tambang. Sikap pro dan kontra langsung bermunculan pada hari yang sama.

Presiden mengatakan bahwa membutuhkan keberanian untuk mengeluarkan kebijakan tersebut. Tampaknya pilihan berani telah menjadi sebuah keputusan. Presiden ingin lahan perkebunan sawit yang sudah ada dapat memproduksi dua kali lipat. Beliau juga tidak ingin izin konsesi pertambangan menabrak hutan konservasi.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bereaksi. Mereka meminta Presiden mengkaji kembali rencana moratorium tersebut. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sawit menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di luar sektor migas.

Tidak hanya pengusaha besar yang bereaksi atas rencana moratorium tersebut, para petani sawit dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta rencana tersebut diterapkan hanya untuk pengusaha besar dan bukan petani kecil. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan memengaruhi pendapatan petani mengingat saat ini harga tandan buah segar (TBS) sedang turun.

Meski demikian, dukungan terhadap rencana kebijakan tersebut jauh lebih kuat. Tidak hanya oleh para aktivis lingkungan dan masyarakat, tetapi juga disuarakan oleh perusahaan sawit besar hingga institusi di Singapura.

CEO Cargill Tropical Palm John Hartmann kepada Antara mengatakan bahwa ada banyak objektif yang mendasari Presiden Joko Widodo mengambilan kebijakan moratorium izin lahan perkebunan sawit baru dan tambang. Cargill selalu ada pada posisi ikut melindungi hutan, gambut, dan hak-hak masyarakat.

Ia mengatakan bahwa pihaknya juga ingin tetap menjadi bagian dari rantai suplai brand sawit di dunia yang di dalamnya tetap memperhitungkan komponen keberlanjutan lingkungan.

Menurut dia, minyak sawit merupakan bagian produksi penting bagi Indonesia, Malaysia, dan konsumen dunia. Jika berbicara soal rata-rata konsumsi pangan per orang di planet ini, minyak sawit menyumbang untuk konsumsi 2,5 miliar orang.

"Bagaimanapun mereka juga harus memikirkan tentang keamanan pangan yang disumbangkan minyak sawit. Jadi, saya yakin ada objektif tertentu untuk melindung hutan, gambut, dan hak masyarakat yang di lain pihak kita harus bisa memastikan bahwa dunia akan punya cukup minyak nabati," ujarnya.

Ada respons cepat yang, menurut Hartmann, harus segera dilakukan dengan intensifikasi, termasuk kepada pengusaha kecil. Di sisi lain, segera mendorong praktik perkebunan sawit yang baik.

"Saya yakin ada dampak positif dari moratorium ini," ujar Hartmann.

Dari sektor pertambangan, Direktur Utama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Tedy Badrudjaman mengatakan bahwa kebijakan tersebut memiliki tujuan baik, antara lain, mencegah kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, pihaknya justru berterima kasih jika kebijakan tersebut memang diberlakukan mengingat kandungan emas pada umumnya terkandung di dalam hutan lindung dan taman nasional.

Diharapkan dengan kebijakan tersebut tidak ada lagi konsesi pertambangan yang menginfiltrasi kawasan-kawasan yang dilindungi tersebut.

Kesepakatan Paris Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 menjadi pukulan telak kesekian kalinya bagi Indonesia. Tidak boleh hanya kerugian materi semata yang menjadi perhitungan, tetapi justru kehilangan jiwa dan dampak buruk kesehatan masyarakat jangka panjang yang terjadi di sejumlah daerah akibat polusi udara yang sangat berbahaya.

Indeks standar pencemaran udara (ISPU) untuk konsentrasi partikulat PM10 di sejumlah kabupaten/kota di Sumatra dan Kalimantan pada saat kebakaran hutan dan lahan terjadi, bahkan ada yang melebihi angka 3.000 mikrogram per meter kubik.

Akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia disebutkan setara dengan satu miliar ton Karbon dioksida (CO2). Perkiraan konservatif yang dikeluarkan peneliti dari Universitas Amsterdam Guido van der Werf bahwa sejak awal September hingga pertengahan Oktober 2015 kebakaran hutan dan lahan tersebut telah melepaskan karbon pada tingkat 15--20 juta ton per hari hanya diperhitungkan dari emisi CO2, metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) dari api, belum dari gambut.

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan bahwa moratorium izin lahan perkebunan sawit baru dapat membantu restorasi lahan gambut.

"Pasti akan membantu karena selama ini ada kekhawatiran ekspansi perkebunan sawit dari semua level, dari perusahan, usaha menengah, hingga mafia tanah, bisa mengganggu restorasi," kata Nazir.

Dengan adanya kebijakan tersebut berarti tidak bisa lagi ekspaksi dilakukan. Jika lahan gambut yang sudah memiliki izin terbakar, akan diambil alih oleh Negara.

Kebijakan tersebut, kata dia, diterjemahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan tidak mencabut langsung izinnya, hanya saja sistem aktivitas di area bekas terbakar ditentukan oleh Negara.

Saat ini BRG, menurut dia, sedang mengkaji tanaman yang tepat pada lahan budi daya bekas terbakar yang direstorasi.

"Kalau yang konservasi, ya, tentu kita kembalikan ke fungsi konservasi," katanya.

Tugas BRG tidaklah sederhana karena dikhawatirkan dari 2,26 juta hektare lahan yang ikut terbakar pada kebakaran hutan dan lahan 2015 sebagian besar merupakan lahan gambut yang hancur. Kalaupun ada pohon yang tersisa dalam kondisi bagus, dia mengatakan bahwa jumlahnya tidak banyak.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan menjadi tantangan terbesar untuk mengurangi emisi GRK.

"Tantangannya ada pada kebakaran hutan dan lahan. Begitu (hutan dan gambut) terbakar, pasti kita mengemisi," ujarnya.

Aspek apa yang harus diperhatikan jika ingin kebakaran hutan dan lahan yang dapat menambah emisi GRK tersebut tidak terjadi lagi? Ia mengatakan bahwa kepatuhan hukum, peningkatan kapasitas masyarakat, kemiskinan, kepatuhan penggunaan tata ruang menjadi tantangan yang harus diselesaikan.

"Tidak perlu strategi baru (mencegah dan mengatasi kebakaran hutan dan lahan), yang penting petunjuk yang sudah ada dijalankan. Pengawasan oleh KLHK, aparat, dan pemda yang akan diperketat," katanya.

Menurut dia, harapan terbesar Indonesia untuk dapat menekan emisi GRK untuk memenuhi target penurunan 26 persen hingga 2020, dan 29 persen pasca-2020 hingga 2030 adalah restorasi gambut. Gambut merupakan penyimpan karbon terbesar dapat mencapai lebih dari 3.000 ton per hektare.

"Jika gambut bisa diatasi, ya, pengaruhnya akan besar, sebagian besar PR (pekerjaan rumah) kita (untuk bisa memenuhi Kesepakatan Iklim Paris) bisa selesai," katanya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…