Awan Gelap dalam Pendidikan

Oleh: Posman Sibuea

Ketika bangsa ini sedang merayakan Hari Pendidikan (2 Mei 2016), dunia pendidikan di Indonesia kembali berduka. Seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, Dra Hj Nurain Lubis (63) harus meregang nyawa dan mengembuskan napas terakhirnya setelah dianiaya oleh mahasiswanya sendiri.

Konon, berawal dari diskusi serius terkait pembimbingan skripsi   hingga berujung cekcok. Karena tersinggung, pelaku menunggu korban yang sedang berada di kamar mandi. Begitu korban keluar, dengan cepat, pelaku melukai leher dan menebas tangan korban hingga akhirnya korban ambruk.

Peristiwa kekerasan fisik di dunia pendidikan bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya wajah pendidikan sudah ternodai oleh tindak kekerasan fisik di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta yang menewaskan seorang taruna yuniornya karena dipukuli tujuh taruna seniornya saat perpeloncoan. Dua tahun lalu terjadi penganiayaan seorang siswa  kelas V SD  di Jakarta Timur hingga tewas karena dipukuli kakak kelasnya. Praktik pendidikan telah diperlakukan tak ubahnya seperti dunia persilatan yang mengutamakan otot ketimbang otak.

Budaya Instan

Kasus kekerasan di Medan  menjadi awan gelap dalam pendidikan tinggi. Dunia pendidkan di Tanah Air bukannya menampakkan wajah yang makin cemerlang, melainkan justru menampilkan roman muka yang kian terselubungi awan hitam. Pembunuhan dosen yang diduga sudah direncanakan dan dilakukan mahasiswanya sendiri amat memprihatinkan sebab terjadi di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu yang jauh dari tindak kekerasan.

Pertanyaannya, mengapa penganiayaan fisik masih berkembang di lembaga pendidikan dan berakhir dengan menghilangkan nyawa orang? Salah satu alasan yang kerap dilontarkan adalah proses pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan hanya sekedar mengejar target pencapaian kurikulum sehingga proses pendidikan nilai makin kabur.

Proses pendidikan itu seharusnya  tidak hanya mengajarkan bagaimana mengetahui sesuatu (how to know), bagaimana melakukan sesuatu (how to do), dan bagaimana agar menjadi sesuatu (how to be) saja. Yang tidak bisa dilepaskan adalah bagaimana hidup rukun bersama dengan orang lain (how to live together). Artinya, pendidikan nilai dan karakter merupakan bagian yang tidak bisa dikesampingkan atau dinomorduakan.  

Sayangnya, lembaga pendidikan belum optimal mengajarkan pendidikan karakter. Itu berarti program pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah sejak 2011 perlu dievaluasi. Anggaran negara yang dihabiskan untuk program itu ternyata gagal menanamkan karakter pada peserta didik. Sebaliknya, budaya instan justru bersemai di sekolah.

Lembaga pendidikan dibayangi pragmatisme. Pembelajaran larut dalam orientasi hasil dan menafikan proses. Mentalitas menerabas pun marak (Kompas, 2/5/2016). Hal ini telah berlangsung lama dan menjadi proses pelapukan mutu pendidikan.

Fenomena ini menjadi keprihatinan bersama. Pendidikan di negeri yang berlandaskan Pancasila ini masih selalu dibayang-bayangi perapuhan nilai. Ketika proses pendidikan diarahkan semata mengejar pencapaian tujuan kurikulum, institusi pendidikan telah diposisikan sekedar pabrik yang hanya membidani lahirnya produk akhir.  Proses pelapukan mutu pendidikan tanpa disadari tengah terjadi karena miskin pembelajaran budi pekerti.

Secara perlahan tapi pasti lembaga pendidikan direduksi menjadi sekadar lembaga diklat (pendidikan dan latihan) untuk menyiapkan lulusannya siap pakai. Bahwa sekolah mempersiapkan lulusanya siap masuk ke pasar kerja, jelas hal penting. Namun, dalam tataran nilai budaya, tujuan ini tidak seluruhnya benar karena lembaga pendidikan tidak semata pusat pemintaran intelektual. Secara pedagogis adalah sesat jika keberhasilan kognitif terlalu didewa-dewakan sebagai alat representasi prestasi anak didik dengan memarjinalisasikan sistem pendidikan yang berkaitan dengan budi pekerti.

Benih Kekerasan

Saat terjadi penganiayaan fisik di kampus, lembaga pendidikan yang seharusnya menaburkan benih-benih demokratisasi ini bukan lagi tempat yang steril dari segala macam bentuk kekerasan. Tawuran di tingkat siswa SMP dan SMA di sejumlah kota di Tanah Air – kerap meminta korban nyawa – merupakan serpihan contoh lain yang menyadarkan bahwa kekerasan kerap berulang di sekolah. Revitalisasi pendidikan nilai guna membentuk kembali budi pekerti kian penting dimaknai ketika dalam kehidupan masyarakat kriteria moral yang dapat digunakan sebagai acuan untuk berperilaku makin tergerus.

Kekerasan di dunia pendidikan seakan tidak pernah surut.  Benih kekerasan yang disemaikan dalam media perpeloncoan misalnya, terus diwariskan  ke generasi  berikutnya dan menjadi awan gelap yang menutupi pancaran sinar pencerahan pendidikan nilai. Meski perpeloncoan sudah dihapus sejak tahun 1995, kegiatan ini masih terus bergulir seperti bola salju di sejumlah kampus untuk alasan menumbuhkan “disiplin” bagi mahasiswa baru.

Para mahasiswa baru yang setiap tahun mendapat perlakuan keras dari para senior akhirnya mewariskan dendam kepada yunior sehingga muncul lingkaran setan aksi balas dendam. Kasus penganiayaan saat perpeloncoan itu berawal dari kegiatan yang sebenarnya bertujuan membina taruna yunior. Para yunior ditatar agar lebih disiplin dan hormat kepada senior. Ujung-ujungnya menjurus penganiayaan dan dapat mengakibatkan kematian. Lembaga pendidikan kerap salah memahami konsep kedisiplinan. Sikap disiplin, bertanggung jawab dan tangguh dalam mental seharusnya bisa dilatih tanpa melalui aksi kekerasan atau upaya pembunuhan karakter seseorang. Proses orientasi mahasiswa dalam pendidikan tidak harus berbasis pada kekerasan.

Lembaga pendidikan patut  menerapkan paradigma baru untuk menabur  kedisiplinan di tengah  mahasiswa dengan cara-cara yang manusiawi. Dosen harus mampu mengajak  mahasiswa  berdiskusi penuh wawasan baru. Arahkanlah mereka pada pemikiran-pemikiran mutakhir lewat diskusi dan  dialog rasional berbasis kebangsaan. Sebab gejala ketidakdisiplinan yang berkembang saat ini bukan lagi merupakan gejala individual, melainkan gejala sosial-budaya yang melanda bangsa. Bangsa ini tidak hanya butuh angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menghadapi globalisasi, tetapi lebih dari itu butuh  peningkatan kualitas kehidupan sosial-budaya.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan patut segera disterilkan dari segala bentuk kekerasan. Proses pembelajaran tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi) tetapi saatnya diarahkan juga  kepada pembentukan karakter (afeksi) peserta didik secara berkelanjutan.  

Untuk memutus mata rantai kekerasan harus dimulai dengan memperbanyak muatan kurikulum berbasis pendidikan nilai dan  karakter guna menetaskan lulusan berbudi pekerti  luhur yang memiliki integritas moral yang tinggi.  Kekerasan fisik di Medan diharapkan dapat menjadi bentuk kekerasan yang terakhir di lembaga pendidikan. Semua pihak perlu menghentikan akar budaya kekerasan di lembaga pendidikan.(www.satuharapan.com)

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…