Kenapa Harus Kartu Kredit?

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

 

Penerimaan pajak yang menurun karena kelesuan ekonomi membuat Dirjen Pajak memutar otak dengan berbagai cara. Mulai dari mendorong percepatan pengesahan RUU Pengampunan pajak atau tax amnesty hingga yang terbaru meminta data nasabah kartu kredit. Alhasil menanggapi Peraturan Menteri Keuangan No.16/PMK.03/2013 tentang informasi yang diminta dari perbankan dan mulai berlaku per 31 Mei 2016, banyak pengguna kartu kredit yang buru-buru menutup akunnya. Dalam aturan tersebut ada 23 bank yang diminta untuk menyetor data transaksi elektronik meliputi nama bank, nomor kartu kredit, nama pemilik kartu dan detail informasi lainnya. Tujuannya agar petugas pajak bisa mencocokan profil transaksi kartu kredit dengan setoran pajak.  

Harus diakui kebijakan ini erat kaitannya dengan penerimaan negara dari sektor perpajakan yang belum optimal. Hal tersebut terlihat dari indikator rasio pajak terhadap PDB selama satu dekade terakhir yang cenderung tidak mengalami perubahan. Jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, rata-rata tax ratio Indonesia hanya sebesar 12%. Angka tersebut sedikit lebih baik dari Kamboja yang rasio pajaknya sebesar 10%. Lebih dari itu, Indonesia yang masuk ke dalam negara G-20 masih jauh di bawah Thailand (15%), Malaysia (15%), Filipina (13%), dan bahkan Vietnam (21%) serta Laos (12,4%).

Target pajak di tahun 2016 pun masih jauh dari kata berhasil. Per Maret 2016 hanya 13% target setoran pajak yang berhasil diperoleh Pemerintah. Artinya dibandingkan Maret tahun 2015 lalu, target pajak meleset sebesar Rp.4,4 triliun. Pada tahun 2015 target pajak yang tercapai hanya 81,5% atau terealisasi sebesar Rp.1.055 triliun dari target APBNP Rp.1.294,25 triliun. Kondisi saat ini tanpa adanya gebrakan baru bisa mengulangi short fall pajak tahun 2015.

Namun, sudah jelas bahwa keputusan untuk menarik informasi pengguna kartu kredit justru kontraproduktif terhadap penerimaan pajak. Alasan yang memberatkan adalah ditengah kondisi ekonomi yang melambat, justru pertumbuhan kartu kredit meningkat signifikan. Buktinya sepanjang tahun 2015, laju pertumbuhan kartu kredit melesat lebih dari 16,8 juta kartu. Sedangkan jumlah transaksi sebesar 248,49 juta dan nilai transaksi menembus Rp.247,21 triliun. Ini membuktikan bahwa tendensi masyarakat untuk terus melakukan konsumsi meningkat. Perlu dicatat bahwa sektor pertumbuhan terbesar Indonesia justru datang dari konsumsi. Jika pengguna kartu kredit berlomba-lomba menutup akunnya maka bisa jadi akan ada pelambatan konsumsi.

            Dibandingkan memburu dana dari kartu kredit lebih baik Pemerintah memburu potensi pajak dari nasabah deposito. Total deposito bank umum menembus Rp.1.824 triliun per Maret 2016 dan nasabah yang memiliki rekening deposito merupakan nasabah kelas menengah keatas. Dengan profil nasabah yang memiliki timbunan dana cukup besar, tentu disitu potensi penggalian pajak baru pasti besar.

            Jika permintaan informasi perbankan menyasar ke deposito maka bentuk reaksi yang mungkin muncul adalah penarikan uang deposito dari perbankan oleh nasabah. Mengapa justru reaksi ini yang di inginkan? Karena saat ini kita mulai menghadapi apa yang disebut dengan secular stagnation, yaitu kondisi dimana orang-orang berpendapatan menengah keatas lebih memilih menaruh uangnya di bank karena imbal hasil yang pasti dibandingkan mengkonsumsi barang atau menginvestasikan uangnya ke sektor riil. Akibatnya bank kelebihan likuiditas, dan ekonomi tidak bergerak. Aturan yang menyasar informasi nasabah deposito diharapkan justru menjadi langkah tepat dibandingkan kartu kredit.

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…