Hilir Industri Kayu - Menperin: Kewajiban SVLK Pacu Ekspor Furnitur Indonesia

NERACA

Jakarta – Pemberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara mandatory atau wajib untuk semua produk berbahan kayu dinilai melapangkan akses ekspor produk furnitur Indonesia, terutama Uni Eropa. Pemberlakuan SVLK itu selanjutnya menghilangkan kewajiban uji tuntas (due diligence) yang menjadi beban biaya bagi eksportir yang selama ini dialami oleh produk olahan kayu Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa. Apalagi, industri furnitur kayu sebagian besar merupakan industri kecil menengah.

Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan hal itu pada konferensi pers bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Perdagangan Thomas Lembong dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tentang “SVLK Mengantar Indonesia Capai FLEGT License Pertama di Dunia” di Kementerian LHK, Jakarta, pekan lalu, dilansir dalam keterangan resmi.

FLEGT sendiri merupakan Forest Law Enforcement Governance and Trade atau Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan. Negosiasi Indonesia dan Uni Eropa dalam rangka FLEGT Voluntary Partnership Agreement dinakhodai oleh Kementerian Luar Negeri dan melibatkan para pemangku kepentingan baik dari unsur pemerintahan seperti kementerian, unsur industri dan masyarakat.

“Berlakunya SVLK secara mandatory untuk seluruh produk berbahan kayu diharapkan berdampak positif terhadap industri hilir pengolahan kayu, terutama furnitur kayu, karena meningkatnya tingkat kepercayaan buyer internasional, terutama dari Uni Eropa, bahwa produk olahan kayu Indonesia dijamin legalitasnya,” kata Menperin.

Kepercayaan juga terkait bahwa bahan baku kayu bersumber dari hutan lestari atau Sustainable Forest Management (SFM) yang nantinya meningkatkan daya saing produk furnitur kayu Indonesia dan membuka peluang pasar yang lebih besar.

Beleid pemberlakuan SVLK secara mandatory itu tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan No.25 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No.89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Ketentuan ini memuat perubahan prinsip dari peraturan sebelumnya, dimana penerapan SVLK berlaku secara mandatory untuk semua produk berbahan baku kayu. Sebelumnya, penerapan SVLK voluntary untuk 15 HS, termasuk furnitur kayu.

Menteri Saleh melanjutkan, setelah keberterimaan produk kayu Indonesia berlaku secara resmi melalui skema SVLK oleh Indonesia untuk memenuhi skema FLEGT Uni Eropa, aplikasi penuh dari sistem ini di Uni Eropa diharapkan agar dapat segera diberlakukan. Skema ini menggunakan Dokumen V-Legal sebagai dokumen eksportasi produk kayu ke pasar internasional khususnya Uni Eropa.

SVLK juga menjadi upaya perbaikan tata kelola kehutanan yang perlu didukung oleh para pihak terkait. “Diharapkan tidak menjadi beban bagi pelaku usaha namun justru dapat menjadi investasi perbaikan manajemen industri pengolahan kayu,” imbuhnya.

Produk industri kehutanan merupakan salah satu produk ekspor nasional yang memberikan kontribusi dengan tren yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir sebesar 2 persen. Nilai ekspor produk industri kehutanan tercatat USD 10,6 miliar pada 2015 atau 8 persen dari total ekspor non migas Indonesia.

Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan, kebijakan tersebut merupakan respon pemerintah terhadap dinamika perdagangan kayu dunia yang menuntut produk bersertifikat legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

“Pelaku usaha furnitur dan kerajinan katu skala kecil dan menengah tidak perlu khawatir terhadap aturan baru ini. Pemerintah melalui KemenLHK dan Kemenperin akan memberikan pendampingan dan dukungan untuk mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) baik secara sendiri maupun berkelompok,” ujarnya.

Hingga kini dan ke depan, Indonesia memiliki peluang kuat untuk mengembangkan industri pengolahan kayu, karena didukung terbukanya peluang pasar baik di dalam maupun luar negeri dan adanya keunggulan komparatif. Juga karena masih memiliki sumber bahan baku kayu yang relatif besar, telah dikuasainya teknologi proses, tersedianya SDM yang cukup banyak dengan upah yang kompetitif.

Senada, Wakil Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) bidang Pengkajian dan Hubungan Antar Lembaga, Hari Basuki mengatakan dengan dikantonginya FLEGT License pertama di dunia ini maka industri hilir pengolahan kayu memiliki keunggulan komparatif dibanding negara penghasil kayu lainnya.

“Kami melihatnya seperti itu. Karena pertama di dunia, jadi secara riil lisensi ini memperkuat daya saing kita dari negara produsen furnitur lainnya seperti Vietnam dan China. Kita satu langkah di depan dan ini momentum yang menguntungkan,” katanya.

BERITA TERKAIT

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…