Perbankan nasional kini harus bekerja lebih keras untuk memperkuat permodalan dan transparansi khususnya terkait dengan biaya dana (cost of fund). Pasalnya, sesuai ketentuan internasional Basel II tingkat kecukupan modal inti bank minimum 12% sudah terealisasi pada akhir 2012.
Selain memenuhi kebutuhan modal tambahan yang mutlak diperlukan guna mendorong ruang ekspansi kredit sekaligus mengantisipasi setiap ancaman risiko, perbankan juga diminta tidak latah menaikkan suku bunga kredit di tengah ancaman inflasi belakangan ini. Ini benar-benar menuntut bankir harus memiliki kompetensi dalam mengelola rasio CAMEL (Capital, Assets, Management, Earnings dan Liabilities) banknya.
Bagaimanapun, peranan rasio CAMEL dalam memprediksi kondisi bermasalah pada beberapa bank di waktu lalu sudah terbukti. Seperti bank-bank yang dinyatakan bangkrut atau ditutup oleh Bank Indonesia pada 8 April 2004 (PP No.25/1999), kemudian bank yang menderita kerugian tiga tahun berturut-turut, dan bank yang mengalami kerugian lebih dari 75% modal disetor sesuai (KUHD pasal 47 ayat 2).
Walau kita optimistis kondisi modal inti perbankan nasional saat ini tidak bermasalah, aturan Bank for International Settlement (BIS) itu menekankan pentingnya manajemen risiko, sehingga perbankan semakin efektif memanfaatkan besaran modal untuk menutup segala potensi risiko, termasuk risiko kredit.
Untuk mendongkrak permodalan bank, strategi yang dipergunakan perbankan biasanya melakukan penawaran saham umum terbatas dengan skema hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue). Kedua, mengundang investor stragis dan mitra strategis baru, baik lokal maupun asing. Ketiga, melalui penawaran saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO).
Ketiga cara tersebut tampaknya yang sering dimanfaatkan para bankir. Namun, cara yang lebih efisien seperti kebijakan tidak membagikan dividen (devident payout ratio) untuk menambah modal, kurang disukai sebagian bankir di negeri ini.
Padahal, untuk pengembangan usaha di masa depan dengan menyisihkan laba usaha, dan meningkatkan efisiensi, dan efektivitas operasional, merupakan kerja ekstra keras dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang sehat di Indonesia.
Begitu juga perbaikan kualitas aset terutama aset dalam bentuk kredit bermasalah (non performing loan/NPL) juga harus dilakukan dengan baik agar provisi (pencadangan) dapat ditekan. Jika dipandang perlu, bank menjual aset yang tidak produktif yang hanya membebani bank.
Penataan aset terbengkalai ini secara ekonomis bisa menekan biaya operasional bank. Apalagi untuk asset tidak produktif, bank juga harus menyisihkan provisi. Oleh karena itu, unit manajemen aset di bank-bank harus lebih diberdayakan untuk dapat memberikan kontribusi optimal dalam bentuk pendapatan atas hasil pelepasan aset yang tidak produktif.
Belakangan ini aksi korporasi dalam bentuk rights issue terus bergulir yang melibatkan sejumlah bank. Secara teoritis, hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue dalam pasar modal Indonesia adalah hak yang diperoleh para pemegang saham yang namanya telah terdaftar dalam daftar pemegang saham suatu perseroan terbatas. Semua itu dapat berjalan mulus jika bank sudah benar-benar melaksanakan azas transparansi dengan benar, termasuk informasi detil kepada calon debitur.
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…