Budaya Konsumtif Akut

Masyarakat di kota besar seperti Jakarta sekarang berada dalam keadaan transisional. Mereka sekarang sedang bergerak dari masyarakat tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat industri moderen yang materialistik. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat sosial.

Munculnya perilaku budaya konsumtif di zaman yang modern yang dibalut kemajuan teknologi dan sarana prasarana, masyarakat kini seakan terbuai di dalamnya. Jika kita amati lingkungan sekitar kita khususnya di kota besar segala fasilitas itu sudah tersedia. Semua kebutuhan seolah sudah tersedia untuk kita, tinggal kita mempunyai uang apa tidak untuk membeli semua itu. Budaya konsumtif tidak dipahami hanya sebatas makanan saja, akan tetapi konteks budaya konsumtif sangat luas. Contohnya penggunaan listrik berlebih karena perabotan elektronik rumah yang sangat banyak, penggunaan air, pemakaian pulsa baik pulsa internet ataupun pulsa telepon, pembelian brand-brand mahal sebagai wujud dari eksistensi sosial, makanan dan minuman, dan masih banyak hal lainnya.

Budaya konsumtif juga dapat diartikan sebagai perilaku masyarakat yang berorientasi kepada proses pemakaian atau proses mengonsumsi segala hal yang ada pada kebutuhan mereka tanpa memedulikan klasifikasi kebutuhan yaitu: primer, sekunder dan tersier. Segalanya dapat dibeli tanpa memikirkan sesuatu itu perlu apa tidak bagi saya. Nilai guna tidak lagi penting di sini, nilai tanda ( sign value) sebagai identitas sosial sangat dinomor satukan.

Seringkali kasus seperti ini ditemukan pada masyarakat perkotaan. Di mana segala fasilitas, bujukan media dan kemudahan dapat diperoleh dengan mudah. Budaya urban kini telah melekat erat pada kehidupan di kota-kota besar di Indonesia. Gaya kehidupan yang sebelumnya tidak disebut sebagai budaya, namun telah merambah ke semua kalangan masyarakat yang tengah menjalani kehidupan di kota. Kota tak lagi berbudaya nenek moyang kita. Adat-istiadat seperti tata karma yang dulu dijaga oleh generasi pendahulu kian hari luntur oleh budaya-budaya baru yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.

Lantas mengapa budaya konsumtif mereka menggelora? Karena ada pada faktor kendali diri dan daya kritik yang majal. Terbentuknya kelas menengah di negeri ini ternyata tidak melahirkan kelompok masya­rakat kritis. Kalau boleh disebut, mereka adalah kelas menengah yang secara psikososial sangat labil dan permisif. Ciri-cirinya, antara lain, mudah terpengaruh, lekas berpuas diri, alergi bernalar, dan suka dipuji. Bukan kebetulan, label the consumer is king cocok benar dengan karakter tersebut. Sebab, hanya dengan menjadi pembelilah mereka merasa jadi raja. Sayang, itu cuma perasaan belaka. Faktanya, konsumen yang tak kritis hanya menjadi budak nafsu konsumtifnya sendiri.

Masyarakat urban sebagian besar tidak menyadari bahwa dirinya berada pada komoditas kaum penguasa, karena kaum penguasa menginternalisasi pemikiran mereka secara halus melalui berbagai institusi dan media yang ada, seperti media elektronik dan media massa. Masyarakat urban seakan sudah terbiasa terbentuk melalui habitus perkotaan yang gemerlap dan konsumtif, hedonis. Alam bawah sadar adalah kondisi manusia pada luar kesadarannya, yang bisa dipengaruhi atau dibentuk melalui cara habituasi yang melibatkan sebagian besar masyarakat, sehingga per individu tidak merasakannya secara langsung.

Adapun faktor penyebab budaya konsumtif di lingkup masyarakat urban antara lain akibat kepenatan yang dialami masyarakat membuat mereka jenuh dan mengarahkannya pada kegiatan yang sifatnya dapat merefresh kepenatan mereka, dan hal itu membuat mereka kembali terjerumus dalam budaya konsumtif. Misalkan untuk menghilangkan penat mereka pergi ke mal, berlibur keluar kota begitu ada hari libur panjang.

Ingat, bahwa budaya kon­sumtif akhirnya menjadi bentuk undangan terbuka bagi kapitalisme global untuk leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup, selera, bahkan ideologi kelas menengah kita sesuai dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan. Melihat ancaman besar seperti itu, tampaknya pemerintah Indonesia harus mencari jurus ampuh untuk meredam penyebaran budaya konsumtif dan hedonis yang sudah akut di masyarakat kita. Semoga!

 

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…