Tax Amnesty Dukung Program Nawacita

Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyampaikan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) bukan hanya soal tambahan penerimaan pajak yang bisa didapat. Tetapi, dengan kebijakan tersebut, bagaimana pemerintah bisa mencapai program Nawacita. Sementara kalangan LSM menilai kebijakan pengampunan pajak cenderung pro konglomerat.

NERACA

Menurut Mardiasmo, permasalahan yang masih membelenggu saat ini adalah soal kesenjangan ekonomi antara kaya-miskin dan pembangunan antar-wilayah Timur-Barat. Apalagi koefisien rasio gini hanya turun tipis dari 0,42 menjadi 0,41, menurut laporan terakhir BPS.

“Karenanya, Presiden selalu menekankan pembangunan infrastruktur (khususnya di Timur) untuk menekan kesenjangan ekonomi,” ujarnya, Selasa (3/5). Akan tetapi, menurut dia, pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya bisa mengandalkan APBN. Sementara, menambah utang secara terus-menerus juga tidak mungkin.

Untuk itu, pilihannya adalah meminta orang-orang Indonesia yang memiliki simpanan di luar negeri untuk memasukkan dananya ke dalam negeri. “Oleh karena itu, kalau menurut pendapat saya, melihat tax amnesty itu bukan hanya isu pajak, tapi lebih isu ekonomi. Karena, bagaimana Presiden dan kabinet bisa melaksanakan Nawacita kalau APBN terbatas?” ujarnya.

Pembahasan Rancangan Undang-undang Tax Amnesty rencananya akan dilanjutkan kembali seusai reses Mei. Dalam rapat kerja terakhir antara Komisi XI DPR dan pemerintah, disepakati pembahasan RUU Tax Amnesty akan diteruskan oleh Panitia Kerja (Panja).

Ketua Panja Tax Amnesty dari pemerintah, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi optimistis kebijakan pengampunan pajak tahun ini bakal berhasil. Dia berharap tidak seperti kebijakan pengampunan pajak pada 1964 dan 1984.

“Tax amnesty sekarang tujuannya agar masyarakat berinvestasi. Kalau investasi masuk, akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan daya beli dan menciptakan wajib pajak baru,” ujarnya di Jakarta, kemarin.

Ken membenarkan bahwa Indonesia pernah melaksanakan kebijakan tax amnesty dan tidak berhasil. Menurut dia, kebijakan pengampunan pajak bukan hal baru lagi bagi Indonesia. Negara ini sebelumnya telah mengimplementasikan dua kali kebijakan pengampunan pajak, yakni pada periode 1964 dan 1984. Sayangnya, eksekusi dua kali tax amnesty ini mengalami kegagalan.    

"Pada 1964, tujuan tax amnesty untuk mengembalikan dana revolusi. Saat itu, Presidennya Soekarno dan implementasinya dilandasi Keputusan Presiden (Keppres). Tidak berhasil karena ketika tax amnesty disahkan 1964, lalu muncul Gerakan 30 September PKI pada 1965," ujarnya.

Kemudian pelaksanaan tax amnesty kedua pada 1984, menurut Ken, tujuan pengampunan pajak saat itu adalah memperbaiki sistem perpajakan dari sistem official assessment menjadi self assessment. Dan harus berakhir dengan kegagalan lantaran sistem perpajakan belum terbangun.  

"Sekarang tax amnesty ketiga, tujuannya supaya masyarakat berinvestasi. Kalau investasi masuk menyerap tenaga kerja, meningkatkan daya beli, dan menciptakan objek pajak baru. Dengan begitu, otomatis penerimaan pajak nantinya bisa meningkat," tutur dia.  

Dalam pengampunan pajak kali ini, sambung Ken, Ditjen Pajak tidak terlalu berharap banyak untuk mendongkrak penerimaan pajak. Seperti diketahui, pemerintah hanya menargetkan potensi penerimaan pajak yang masuk dari kebijakan tersebut sekitar Rp 60 triliun. Namun ironisnya,  sampai sekarang pembahasan Rancangan UU Pengampunan Pajak bersama DPR masih tarik ulur sehingga terancam makin mundur.

"Penerimaan pajak bukan dari tax amnesty. Itu nanti saja lah. Makanya kita berharap pembahasan semakin cepat semakin baik, karena ingin investasi bertambah," ujarnya.

Dengan tujuan dan diperkuat dengan sistem perpajakan yang semakin mumpuni, Ken optimistis, kebijakan pengampunan pajak akan berhasil kali ini. "Mudah-mudahan (berhasil). Karena kita ingin supaya investasi masuk. Itu saja," tegas dia.

Instrumen Investasi

Sebelumnya Gubernur BI  Agus DW Martowardojo mengatakan, harus ada instrumen investasi yang tepat guna mengantisipasi dana repatriasi dari kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Dia juga menyoroti pentingnya peran swasta terkait hal ini.

"Instrumen-instrumen itu sebagai alternatif, tentu instrumen yang kami harapkan adalah dari swasta," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Lebih lanjut, Agus menuturkan, tak hanya swasta namun BUMN pun dapat menyediakan produk alternatif instrumen investasi. Dia memberi contoh adalah dengan penerbitan obligasi perseroan maupun penambahan modal perusahaan.

Adapun dari sisi pemerintah, menurut dia, dapat pula menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebagai alternatif guna menampung dana repatriasi dari pengampunan pajak. Pasalnya, jika tidak disediakan instrumen investasi, maka dana yang masuk hanya akan berada sementara di Indonesia dan akan kembali ke luar negeri.

"Kemudian negara bisa saja mengeluarkan SBN dengan jangka waktu lebih pendek. Itu baik sekali. Kami juga melihat nanti bagaimana UU-nya. Investasi diminta untuk di lock up," ujarnya.

Tidak hanya itu. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon menyatakan, perbankan memiliki banyak channel atau saluran dalam menampung dana repatriasi tersebut.

Adapun saluran penampung investasi, menurut Nelson, dapat berupa produk perbankan seperti dana pihak ketiga maupun produk keuangan jangka panjang. "Pertama channel-nya seperti biasa, melalui DPK. Bisa itu deposito, tabungan, masih sangat terbuka. Dengan pertumbuhan kredit yang kita harapkan 14 sampai 15 persen tentunya butuh dukungan dana," ujarnya.

Saluran investasi kedua,  adalah pemilik dana dapat menjadi mitra strategis perbankan guna menambah kapasitas permodalan bank. Nelson mengungkapkan, saluran ini dapat digunakan kepada bank dengan modal kecil. "Yang ketiga tentunya dari obligasi. Kalau pemilik dana tidak mau terlalu permanen, bisa jangka panjang lewat obligasi," ujar Nelson.

Nelson menyatakan, permintaan dan penawaran untuk dana pembangunan sangat besar. Sehingga, dana repatriasi tidak hanya dapat masuk ke sektor perbankan, tapi juga untuk membiayai pembangunan dan investasi langsung.

Di sisi lain, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menolak kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Menurut Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi, ada beberapa argumentasi mengapa kebijakan ini tidak perlu dilanjutkan. Salah satunya, tax amnesty dianggap terlalu pro-konglomerat atau pro-pengusaha.

Menurut Apung, sesuai dengan asumsi yang disampaikan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, dana yang akan masuk langsung ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya Rp 60 triliun, atau maksimal Rp 100 triliun.

Angka itu merupakan uang tebusan dari dana yang dideklarasikan yang ditaksir sebesar Rp 5.000 triliun sampai Rp 8.000 triliun. "Saya pikir itu sangat rendah. Kalau hanya Rp 60 triliun itu tidak bisa menutupi defisit APBN kita yang sampai Rp 273 triliun," ujarnya di Jakarta, Jumat(29/4).

Yang menjadi pertanyaan kemudian, kata dia, apa yang diinginkan pemerintah dari pemberian pengampunan pajak? Apakah penerimaan negara yang langsung masuk ke APBN, ataukah dana-dana itu "didorong" untuk membiayai properti, manufaktur, dan sebagainya?

Menurut Apung, kedua tujuan tersebut berbeda secara kepentingan. Apabila masuk ke APBN, sambung Apung, maka tax amnesty boleh jadi memang untuk menutup kekurangan APBN.

Sebaliknya, dia memandang, apabila didorong untuk investasi, tax amnesty condong pada kepentingan bisnis atau konglomerasi. "Nah, garis antara kepentingan kepada konglomerat, pengusaha atau kemudian kepada negara, dan masyarakat itu jelas, (menurut Fitra) bahwa lebih pro ke konglomerat," ujarnya.

Dia menambahkan, terlalu rendahnya tarif uang tebusan juga menjadi landasan Fitra menolak tax amnesty. Tarif uang tebusan dianggap terlalu kecil apabila dibandingkan dengan tarif uang tebusan yang pernah diterapkan negara-negara lain.

"Kalau Obama jelas, dia ingin mengambil 30% karena dia ingin membiayai kebijakan sosial, pelayanan publik. Itu yang membedakan (dengan Indonesia). Dari beberapa poin itu, saya melihat bahwa itu perlu ditolak," tegas Apung.

Meski demikian, Presiden Jokowi sudah  menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) jika Rancangan Undang-undang (RUU) Tax Amnesty menghadapi masalah dengan waktu. Jokowi juga merespon RUU Tax Amnesty yang rencana pembasahannya diundur oleh DPR karena masa reses. bari/mohar/fba

 

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…