Oleh: Agus Yuliawan
Pemerhati Ekonomi Syariah
Hari Minggu 1 Mei adalah May Day, yang selama ini dikenal dengan hari buruh internasional, tiap negara-negara yang ada di belahan bumi ini memperingati hari tersebut sebagai solidaritas kepada kaum buruh atau pekerja dunia. Hal yang sama terjadi di Indonesia, di hari tersebut para pekerja seluruh Indonesia melakukan aksi di berbagai kota-kota besar sambil meneriakkan tuntutan mereka yaitu perbaikan nasib kaum buruh yang belum sejahtera, tolak pekerja kontrak, fasilitas perumahan, kesehatan dll. Itulah semua tuntutan yang dilakukan oleh para peserta aksi dalam May Day.
Terkait dengan aksi dan tuntutan oleh para buruh, semua pengusaha dan pemangku kebijakan publik, menginginkan hal yang senada, agar para buruh di Indonesia bisa sejahtera dan bisa hidup yang layak. Apalagi dari kaca mata pengusaha, peran pekerja sangat vital, karena faktor penggerak produksi adalah pekerja, maka peran pekerja adalah modal utama dalam industri. Hal itu untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja, sekaligus untuk meningkatkan etos kerja dan produktivitas. Pendekatan inilah dirasakan oleh para pengusaha manapun, jika pengusaha tersebut memahami manajemen perusahaan dan psikologi industri.
Namun pendekatan ini terkadang bertolak belakang dengan realitas yang dilakukan perusahaan, ketika perusahaan dihadapkan dengan berbagai masalah terutama makro ekonomi terutama inflasi, resesi global ekonomi dan faktor fundamental ekonomi terutama stabilitas politik. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam produksi terutama dalam supply dan demand. Belum lagi beban yang diberikan oleh regulator terkait perijinan, kemanan, pajak dan retribusi yang selama ini dibebankan menjadikan sebuah beban tersendiri bagi pengusaha.
Ditambah lagi adalah biaya distribusi, ketika infrastruktur di Indonesia yang kurang bagus, menjadikan beban biaya distribusi bagi perusahaan menjadikan overhead cost yang sangat besar. Di hadapkan dengan masalah ini, semua perusahaan di Indonesia menggunakan pendekatan efisiensi yang salah satunya adalah menekan biaya gaji karyawan dan jumlah tenaga kerja, sehingga diharapkan perusahaan mampu memperoleh laba keuntungan dan rasio kesehatan yang cukup sehingga tidak mengalami kebangkrutan.
Sementara dari kaca mata pemangku kebijakan publik, untuk menjalankan roda pembangunan pemerintah butuh dana pembangunan, dana tersebut bisa diperoleh dari pendapatan pajak dan retribusi. Untuk memperoleh dana tersebut yang masif, dimunculkannya investasi dan industrilisasi sebagai bagian program pembangunan. Hal ini dilakukan oleh suatu negara atau daerah, karena memiliki fungsi terhadap penyerapan tenaga kerja dan sekaligus pendapatan pajak dan retribusi. Jadi hubungan antara pemangku kebijakan publik dan pengusaha adalah setali tiga uang yang memiliki kepentingan yang sama dalam memajukan pembangunan.
Namun dengan adanya tuntutan para buruh yang hak-haknya semuanya harus di turuti seperti kenaikkan upah minimum regional (UMR) dll, menjadikan dilema semua pihak. Disatu sisi—pengusaha mengalami keberatan karena akan menanggung beban biaya yang sangat besar dan bisa-bisa banyak investor melarikan modalnya ke negara lain dan memilih negara yang nyaman dalam investasi. Disisi lain jika perusahaan bangkrut dan banyaknya pemutus hubungan kerja (PHK) akan menjadikan kerawanan sosial terjadi dimana-mana dan ini akan menjadi sebuah masalah suatu negara.
Maka sangat diperlukan tata kelola kepemilikan badan usaha yang melibatkan kepemilikan para pekerja dengan share saham yang adil. Maka ketika perusahaan itu kepemilikan sahamnya dimiliki oleh para pekerja, maka pekerja akan sama-sama tahu dan merasakan apakah perusahaan tersebut mengalami keuntungan atau tidak. Dengan demikian maju dan tidaknya sebuah perusahaan ditentukan oleh para pekerjanya yang merupakan pemilik modalnya.
Tatakelola badan usaha yang sesuai dengan konsep demikian yang tepat adalah koperasi dan di negara-negara luar negeri seperti Australia, Selandia Baru,Swiss dll mengadopsi sistem tersebut. Bahkan perusahaan susu Nestle dari negara Swiss itu saja badan hukumnya adalah koperasi dan seluruh pekerjanya dari hulu dan hilir adalah anggota koperasi. Dengan demikian kaum pekerja atau buruh adalah pemilik dari perusahaan tersebut, sehingga sejahteranya mereka tergantung dari mana mereka secara independen dalam mengelola perusahaannya itu sendiri.
Indonesia—tentunya harus melakukan hal ini, apalagi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Sehingga dengan demikian koperasi adalah lembaga yang tepat sebagai badan hukum usaha. Hancurnya tata kelola ekonomi dengan semakin kencangnya penderitaan para buruh lebih dikarenkan karena asas kekeluargaan itu sudah tidak ada lagi digantikan asas perseroan terbatas (PT) dimana yang berkuasa adalah sekelompok orang sebagai pemodal. Sehingga ketimpangan ekonomi inilah yang sering terjadi, saat diri kita mengadobsi neo liberal sebagai pilihan dan bukan ekonomi kerakyatan yang selama ini sebagai konstitus kita. Jadi buruh menggugat dikarenakan sistem ekonomi koperasi telah ditanggalkan.
Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…
Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…
Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…