Data Ketimpangan Bias Kepentingan

Oleh: Bhima Yudhistira

Peneliti INDEF

Data yang dirilis BPS beberapa hari lalu tentang penurunan ketimpangan terkesan bias kepentingan. Memang benar rasio Gini tercatat menurun di level 0,40 dibandingkan rasio Gini bulan Maret 2015 sebesar 0,41. Penurunan 0,01 ini seharusnya menjadi pertanda bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas menengah dan bawah. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah adanya efek pelambatan ekonomi yang berpengaruh terhadap pendapatan orang kaya di Indonesia. Disatu sisi banyaknya pengangguran di sektor-sektor formal mengisyaratkan kelas menengah dan bawah semakin terjepit.

Bias data dimulai dari penjelasan dalam laman berita resmi Statistik bahwa distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40% dengan pengeluaran terendah meningkat dari 17,10% per Maret 2015 menjadi 17,45% per September 2015. Sedangkan 40% penduduk dengan pengeluaran menengah meningkat dari 34,65% menjadi 34,7%.

Jika merunut pada hitung-hitungan BPS, maka penduduk dengan pengeluaran terendah hanya mengalami peningkatan 0,35% dan penduduk menengah naik 0,05%. Yang menarik adalah 20% penduduk dengan pengeluaran tertinggi justru turun dari 48,25% ke 47,84%. Pengeluaran penduduk kaya turun signifikan menjadi 0,41%. Artinya, faktor penurunan ketimpangan lebih disebabkan penurunan signifikan pengeluaran orang kaya dibanding peningkatan pendapatan kelas bawah.

Data rasio gini juga menyebutkan bahwa faktor utama perbaikan data ketimpangan adalah kenaikan upah buruh pertanian sebesar 1,21% dan kenaikan upah buruh bangunan sebesar 1,05% dari Maret hingga September 2015. Padahal kedua jenis pekerjaan ini bukan termasuk ke dalam sektor formal.  

Selain itu di sektor formal, data ketenagakerjaan juga mengisyaratkan adanya kenaikan pengangguran. Hal ini terbukti dari angka pengangguran saat ini mencapai 5,81%. Artinya, ada sekitar 7,45 juta jiwa yang menganggur di Indonesia. Naiknya pengangguran tidak dapat dilepaskan dari rendahnya harga komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit. Selama tren harga komoditas belum membaik, maka pengangguran tetap jadi ganjalan pemerataan pendapatan.

Data ketimpangan memang selalu ditunggu oleh Pemerintah, terutama untuk mencitrakan diri berhasil dalam mengatasi kemiskinan. Boleh jadi ini strategi untuk menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan Pemerintah telah meresap hingga ke kelas bawah, dibuktikan dengan naiknya pendapatan buruh tani dan buruh lepas. Turunnya angka ketimpangan tentu jadi berita baik. Namun sayangnya bias kepentingan muncul saat data BPS hanya berbicara soal faktor penyebab ketimpangan turun karena perbaikan pendapatan kelas bawah. Padahal sudah jelas, pendapatan kalangan atas terkena imbas pelemahan ekonomi global.

Orang-orang kaya kini lebih menghemat pengeluaran. Para pengusaha, pemilik modal terutama yang berkaitan dengan sektor perdagangan menelan pil pahit. Ekspor per Maret 2016 anjlok hingga 13,51% dibandingkan Maret tahun sebelumnya. Jika dilihat lebih detail ekspor nonmigas turun drastis 9,29% (yoy). Bagi orang kaya pemilik perusahaan, sepanjang tahun 2015 juga bukan waktu yang baik. Rupiah hampir menembus angka Rp.15.000 per US$ pada pertengahan September lalu. Imbas dari pelemahan rupiah berdampak pada membengkaknya utang swasta yang berdenominasi dolar. Akibat pembayaran utang luar negeri swasta yang membengkak, pemilik usaha cenderung untuk melakukan efisiensi. Dari sini terlihat rasio gini turun dari sisi penurunan pengeluaran 20% orang kaya, bukan sebaliknya turun karena naiknya pendapatan si miskin.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…