Kelautan, Potensi Ekonomi Baru

Di tengah kondisi perekonomian global yang memprihatinkan saat ini, Indonesia sebenarnya sebuah negara yang beruntung. Pasalnya, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut, Indonesia dianugerahi potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besarnya sekitar US$1,5 triliun/tahun atau setara 7 kali lipat APBN 2016. Ini sungguh menakjubkan, setidaknya dapat menyediakan lapangan kerja untuk sedikitnya 45 juta orang, lebih dari sepertiga angkatan kerja Indonesia. 


Menurut Prof Dr Rokhmin Dahuri, guru besar kelautan IPB, hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensi ekonomi tersebut. Lebih dari itu, posisi geoekonomi dan geopolitik laut Indonesia juga sangat strategis. Di mana sekitar 45% dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500 triliun /tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (UNCTAD, 2012). 

Posisi geoekonomi yang strategis ini sejatinya menempatkan Indonesia pusat dari sistem rantai suplai (perdagangan) global. Sayangnya, sampai sekarang kita lebih sebagai bangsa pembeli berbagai produk bangsa-bangsa lain, bukan sebagai produsen (pemasok) barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia. 

Padahal, banyak emerging economies menjadi lebih maju dan makmur, seperti Singapura, Malaysia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki lantaran mampu mengapitalisasi posisi geoekonomi wilayah lautnya. Potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, bak ‘rakasasa yang masih tidur’ itu mesti kita bangunkan dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang tepat supaya bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dan pengungkit daya saing nasional secara berkelanjutan. 

Kebijakan terobosan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) sangatlah tepat dan visioner. Melalui PMD, bangsa Indonesia diajak melakukan reorientasi platform pembangunannya, yang sejak awal kolonialisme hingga sebelum Pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (berdirinya KKP) berorientasi pada daratan (land-based development) ke orientasi kelautan. 

Dengan aplikasi iptek dan manajemen yang ramah sosial dan lingkungan serta etos kerja unggul, kebijakan PMD akan mampu mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, menciptakan banyak lapangan kerja, dan membuat ekonomi Indonesia lebih berdaya saing. 

Indonesia sebagai PMD mengandung makna bahwa melalui strategi pembangunan kelautan secara tepat dan benar, Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama akan mampu menjadi bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim yang kokoh. 

Dengan kekuatan dan kemakmurannya itu, Indonesia diharapkan mampu menjadi a role model (teladan) dan mengajak bangsa-bangsa lain untuk menyelamatkan, mendayagunakan, dan mengelola wilayah laut dunia, terutama di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, untuk perdamaian dan kesejahteraan dunia yang lebih baik. 

Sayang, kebijakan dan gebrakan pemerintah Kabinet Kerja selama satu setengah tahun ini terlalu dominan bersifat larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim investasi tidak kondusif. Akibatnya, justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, Ambon, dan Tual) mengalami mati suri, ribuan ton ikan kerapu, kepiting soka, dan lobster tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lainnya. 

Sejauh ini, Kemenko Maritim pun belum punya konsep dan nampak kebingungan dalam melaksanakan fungsi dan tugas utamanya, yakni mengoordinasikan, menyinergikan, mengakselerasi, dan melakukan terobosan (breakthrough) pembangunan di bidang kelautan, yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, ESDM, transportasi laut dan kepelabuhanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, dan sumber daya alam laut nonkonvensional. 

Belum ada upaya dari Kemenko Maritim untuk menyamakan ‘playing field’ (seperti sukubungabank, insentifusaha, iklim investasi, dan ease of doing business) dengan negara-negara kelautan Asia lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, Jepang, dan China. Jadi, untuk dapat mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, kita mesti melaksanakan kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek dan panjang secara terpadu dan berkesinambungan. 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…