Jakarta- Kalangan pengamat kebijakan publik dan anggota DPR menilai masalah birokrasi masih menjadi kendala pembangunan di sektor air minum dengan skema public private partnership (PPP). Padahal, hingga tahun 2015 proyek infrastruktur tersebut membutuhkan dana pembangunan sekitar Rp 46 triliun.
NERACA
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhidin mengatakan, pembangunan di subsektor air minum tidak berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, karena antara pemerintah dan swasta saling tunggu. ”Kalangan swasta baru mau masuk ke subsektor air minum, kalau pemerintah mau menyediakan infrastrukturnya,” ujarnya, Kamis (3/11)
Menurut dia, kalau pemerintah ingin mempercepat pembangunan di subsektor air minum, berbagai kendala yang ada itu harus diatasi terlebih dulu. Pemerintah harus memberikan stimulan berupa pembangunan jalan dan jembatan agar swasta berminat masuk ke lokasi pembangunan instalasi air minum itu.
Muhidin mengakui, kendala yang mengganjal itu menyangkut birokrasi itu sendiri, penyediaan lahan, tumpang tindih antara kepentingan pemerintah pusat dan daerah, serta pengadaan infrastrukturnya.
Menurut dia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menghilangkan ego sektoralnya, sehingga pembangunan infrastruktur di subsektor air minum yang masih sangat kurang diminati oleh kalangan swasta dalam skema public private partnership, bisa berjalan sesuai harapan.
Pengamat kebijakan publik UI Andrinof Chaniago mengatakan kebijakan pemerintah untuk mega proyek MP3EI ini terlalu ruwet atau melalui banyak meja, dengan kondisi seperti ini yang menyebabkan proyek tersebut tidak berjalan dengan mulus.
Seharusnya menurut dia, proyek ini bisa berjalan dengan satu persatu menurut rencana, namun kenyataan yang ada sampai saat ini belum ada yang bisa berjalan, oleh karena itu dia berharap sekali proyek infrastruktur ini bisa terlaksana.
“Proyek MP3EI merupakan suatu keharusan, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, apalagi proyek ini untuk menarik para investor dari dalam dan luar negeri untuk lebih banyak lagi menanamkan modalnya di sini,”tegasnya.
Padahal proyek ini juga bekerja sama dengan pihak swasta, namun masih mengalami kendala saja, memang Ia akui kalau masalah lahan masih menjadi kendala utama untuk proyek tersebut.
Keterbatasan Dana
Secara terpisah, Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Kementerian Pekerjaan Umum Rachmat Karnadi mengatakan untuk mencapai target MDGs, Indonesia perlu sedikitnya Rp 46 triliun.
”Anggaran yang bisa disediakan oleh pemerintah melalui APBN sekitar Rp 11,8 triliun. Sehingga diperlukan sumber pendanaan lain dari PPP dan pinjaman bank sebesar Rp 34,2 triliun,” katanya.
Rachmat mengatakan untuk mencapai target MDGs 2015 masih tersedia waktu tiga tahun, sehingga paling tidak diperlukan dana Rp 11,4 triliun setiap tahunnya.
Dia mengatakan akses air minum secara nasional baru mencapai 47,71%, sehingga masih perlu kerja keras untuk mencapai target MDGs 2015 dengan cakupan layanan 68,87%.
Menurut dia, cakupan pelayanan air minum perpipaan untuk tingkat nasional 25,56%, perkotaan 43,96% dan perdesaan 11,56%. Sementara tingkat kehilangan air rata-rata nasional 32,86% (2009, Data BPKP) dan tekanan air di jaringan distribusi masih rendah.
Menurut dia, tarif rata-rata air minum sekarang adalah Rp 3.159/m3 sedangkan harga pokok produksi adalah Rp 3.375/m3.
Rachmat mengatakan alasan diperlukannya investasi di luar pemerintah karena keterbatasan investasi pemerintah, pertimbangan efisiensi, pertimbangan adanya teknologi baru yang digunakan swasta, dan mempercepat peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan publik.
Dia mengatakan tujuan proyek kerjasama (KPS) adalah untuk mencukupi kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan, meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan yang sehat, meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur.
”Kami juga mendorong prinsip pakai bayar dan dalam hal tertentu dipertimbangkan kemampuan membayar pemakai,” katanya.
Dia mengatakan proyek PPP yang sedang berjalan adalah konsesi antara Aetra Tangerang dengan Pemkab Tangerang dengan investasi Rp 520 miliar, guna menyediakan air minum dengan kapasitas 900 liter per detik.
Lingkup pekerjaan untuk proyek ini adalah instalasi pengolahan air 900 l per detik, konstruksi jaringan transmisi ke rumah-rumah, pembangunan reservoir dan konstruksi jaringan distribusi untuk 70.000 rumah tangga sepanjang 180 km.
Planolog Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan bahwa birokrasi yang ada telah menghambat pembangunan infrastruktur air minum PDAM. Selain itu, dalam hal ini pemerintah atau PDAM juga bekerja sama dengan pihak swasta.
“Sementara yang ada dibenak investor, pasti keuntungannya. Kalau tidak memberikan keuntungan mereka tidak akan mau investasi,” tegasnya.
Tak hanya itu, dia juga menilai sistem jaringan yang dikelola PDAM bersama mitra kerjanya banyak kebocoran-kebocoran yang terjadi. Nah kalau ini bisa diatasi maka penyaluran air pun akan baik. “Tetapi mereka melihat jumlah penggunanya, jika penggunanya kecil, maka pemerintah juga enggan memberikan suplai air,” ujar Yayat.
Soal kualitas air, saat ini, dikatakan Yayat, memang belum sesuai dengan standar yang ditetapkan WHO, sehingga harga yang ditetapkan menjadi mahal. Menurutnya, kalau untuk sekadar air minum tidak masalah, tetapi kalau ditinjau dari segi lainnya, harga yang ditetapkan terlalu tinggi. “Kita mengacu pada apa, kalau dari standar WHO masih jauh,” katanya.
Dia mengatakan, kebutuhan air minum ini sangat ditentukan hulu (sumbernya). Apakah bersumber dari mata air, waduk dan sebagainya. Sehingga menjadikan daerah resapan air sangat penting untuk pembuatan jaringan air minum. “Banyaknya pembabatan hutan juga turut mempengaruhi air serta kualitasnya,” tuturnya.
Pada bagian lain, guru besar FE Univ. Brawijaya Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika mengatakan sulit memangkas birokrasi panjang jika pemerintahnya sendiri tidak menuntaskan reformasi birokrasi. Sehingga tidak ada upaya konkret.
“Menko Perekonomian dan Menkeu harus menyederhanakan prosedur birokrasi. Saya melihat tindakan Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Dahlan Iskan cukup berani,” jelas Erani kemarin.
Era Wapres Jusuf Kalla, sambung Erani, jika menteri tidak berani mengambil putusan menyelesaikan proyek tertentu, maka dia langsung turun tangan. Kemudian Dahlan Iskan, ketika melarang perusahaan BUMN ingin membentuk unit usaha baru atau ingin menambah utang tapi tidak perlu izin pemegang saham, merupakan wujud dari reformasi birokrasi nyata.
“Seharusnya, cara seperti ini dijadikan standar baku, kalau pemerintah serius menjalankan MP3EI. Kalau tidak, ya, masing-masing kementerian saja yang bagus. Ini juga berkaitan erat dengan etos dalam bekerja,” tegasnya. iwan/ahmad/ardi/agus
Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…
Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…
Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…
Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…
Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…
Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…