Semua Harus Tunduk Pada UU Nomor 22/2009

Gubernur DKI Jakarta, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama meminta pemilik atau pengelola layanan transportasi berbasis online untuk memenuhi kewajiban membayar pajak. Berdasarkan aturan, setiap pengusaha angkutan di Jakarta wajib membayar pajak yang nilainya sekitar 25 hingga 28 persen dari total pendapatannya setiap tahun. Pengusaha transportasi berbasis online juga tak luput dari pajak itu. "Transportasi online itu pasti lebih murah, karena kan tidak harus membayar pajak, bayar asuransi dan lain-lain. Sedangkan, angkutan umum konvensional dan taksi harus memenuhi kewajiban untuk membayar pajak tersebut," ujar mantan Bupati Bangka Belitung itu.

Sementara, salah satu pengemudi Grab Car bernama Bashari menepis jika pihaknya abai membayar pajak. "Bahkan nominal yang dipungut perusahaan itu berkisar Rp170 ribu-Rp180 ribu setiap minggunya. Itu dari satu pengemudi," ujar Bashari.

Dia pun berkisah saat ini menjadi pengemudi Grab Car semakin kompetitif, karena jumlahnya yang semakin banyak "Sekarang, saya harus bekerja selama 15 jam sehari untuk bisa mencapai target penghasilan Rp3 juta per minggu. Jadi, kami turut merasakan kesulitan," kata dia.

Sementara itu, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Dharmaningtyas, berpendapat senada dengan Ahok. Menurutnya, walaupun mengaku sebagai perusahaan teknologi, tetapi baik Grab dan Uber memberikan jasa layanan transportasi bagi publik. Di saat taksi-taksi reguler dikenai pajak, kir (pengujian kendaraan bermotor), dan dituntut memiliki pull.

"Sementara, angkutan seperti Grab dan Uber kan tidak. Masalahnya kan di situ. Menguntungkan konsumen, tetapi bagi operator taksi pada umumnya merugikan. Apalagi bagi taksi reguler," ujar Dharmaningtyas.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah? Dharmaningtyas menyarankan agar Presiden Joko Widodo mengingatkan kedua perusahaan itu agar tetap tunduk kepada UU No 22 tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. "Tetapi, jika Presiden ingin merevisi UU tersebut harus hati-hati. Sebab, penggunaan angkutan berbasis aplikasi online ini hanya ada di kota-kota besar. Sementara, UU kan berlaku secara nasional," kata dia.

Dia menyarankan sebaiknya aplikasi itu digunakan oleh operator taksi yang legal. "Tetapi, taksi konvensional juga harus berbenah diri, menurunkan tarif agar lebih bisa kompetitif. Alasan publik menggunakan taksi Uber dan Grab kan karena tarifnya lebih murah. Pengelola taksi reguler harus mencari jawaban bagaimana bisa menerapkan tarif yang kompetitif," papar dia. (iwan)

 

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…