Masa Transisi Terapkan Daur Ulang Sampah Hanya Lima Tahun - Industri Plastik Keluhkan RPP Pengelolaan Sampah

NERACA

Jakarta – Kalangan pelaku industri plastik mengeluhkan pemberlakuan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Tentang Pengelolaan Sampah. Mereka merasa keberatan dengan RPP tersebut karena para pengusaha di sektor indusri plastik hanya diberi waktu transisi selama lima tahun untuk menerapkan kewajiban mendaur ulang produk yang mereka hasilkan.

Sekretaris Jendral Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (Giatpi) Totok Wibowo menilai, para pelaku industri plastik dipastikan mengeluh dengan rencana pemerintah mewajibkan mereka menarik kembali produk kemasannya atau sampah yang sudah beredar di masyarakat.

Totok berpandangan, kebijakan itu membebani mereka dengan berdasarkan pertimbangan produk plastik yang mereka jual bukanlah sampah melainkan kemasan baru.

Apalagi, lanjutnya, ketentuan batas waktu lima tahun tak memiliki dasar yang jelas. “Kami dengar dari rapat terakhir di eselon I KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) yang hanya memberi waktu transisi lima tahun. Menurut kami apa dasarnya itu?” kata Totok, Senin (31/10).

Dia menjelaskan, masa transisi lima tahun itu merupakan hasil perkembangan terakhir terkait pembahasan RPP yang merupakan turunan dari UU No 18/2008 menenai pengelolaan sampah. Dalam pasal 15 UU tersebut disebutkan, produsen kemasan yang tak bisa memenuhi ketentuan memproduksi plastik daur ulang (bio degradable) maka pilihannya adalah menarik sendiri sampah-sampah plastik itu atau menggunakan jasa pihak ketiga.

“Kalau produsen menggunakan bahan baku yang tak mudah teruarai kami harus menarik kembali, tapi kan bahan baku itu pun di dunia baru cuma 1% yang dipakai,” keluh Totok yang mengklaim anggotanya berjumlah 40 pabrik plastic yang memproduksi karung plastik, terpal plastik, jumbo bag, waring, net jaring nelayan, alas jalan, dan plastik semen dengan kapasitas total produksi mencapai 300 ribu ton per tahun.

Totok mengutarakan, bahan baku bio degradable selama ini berasal dari jagung atau dari bahan nabati lainnya yang banyak diimpor. Selain itu penggunaannya pun hanya 200 ribu ton di dunia. Sementara kebutuhan plastik di Indonesia yang per tahunnya bisa mencapai 2,5 juta ton.

“Kita juga pertanyakan apakah semua kemasan bisa pakai itu, kalau kantong plastrik untuk beras maka akan hancur semua. KLH juga harus memikirkan masalah-masalah seperti itu,” terangnya.

Menurut Totok, pihak industri makanan juga enggan menggunakan bahan plastik berbasis biodegradable karena kadaluarsa seperti produk makanan mie hanya 6-8 bulan, sementara plastik berbasis biodegradable akan hancur pada waktu yang sama.

“Intinya UU 18 tahun 2008 pasal 15, sumber persolan ada di undang-undang. Kami melihat informasi ke pemerintah dan DPR saat penyusunan UU itu mereka salah, mereka tercampur, dengan pemahaman bahan baku oxo degradable,” ujar Totok.

Dia mengungkap, bahan baku oxo degradable selama ini memang sudah banyak digunakan di Indonesia terutama oleh ritel-ritel modern. Namun menurut dia, hal itu berbeda dengan bahan baku bio degradable.

“Kalau oxo degradable dalam dua tahun akan hancur tapi tidak terurai, asalkan tidak tertimbun tanah dan terkena sinar Matahari, sementara bio degradable itu terurai karena dari bahan organik seperti jagung,” jelas dia.

Apapun ketentuan dalam RPP sampah tersebut, imbuh Totok, hasil akhirnya adalah untuk mengejar pendapatan pemerintah. Pasalnya, jika produsen plastik yang tak bisa memenuhi aturan tersebut maka akan dikenan disinsentif dalam bentuk pengenaan cukai. "Soal kapan pengesahannya, sekarang masih terus dibahas oleh pemerintah,” tutur Totok.

Di atas segalanya, Totok mengakui, pangkal masalah dari kisruh RPP ini terdapat pada perbedaan persepsi antara pemerintah dengan pelaku usaha dalam melihat perspektif sampah. Kata dia, bagi industri, yang selama ini menghasilkan sampah adalah masyarakat bukan produsen. “Padahal produsen tak menghasilkan sampah, menurut kita itu tak boleh dicampur aduk,” tegas Totok.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya berkewajiban mengambil alih fungsi pengelolaan sampah yang dihasilkan masyarakat. Alasannya, pasal 6 poin D dalam UU yang sama menyebutkan, pemerintah punya kewajiban mengelola sampah.

Bahkan Totok menuding, langkah pemerintah ini sengaja menggiring agar industri plastik kena cukai. “Arahnya pemerintah mau mengenakan cukai. Kalau tak bisa maka kena cukai salah satu poin dari RPP itu,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…