Tantangan Cahaya Moral

Oleh: M Sunyoto

Di tengah arus deras informasi, pers bisa menjadi cahaya moral untuk membangun optimisme, itulah pernyataan metaforik Presiden Joko Widodo dalam perayaan Hari Pers Nasional 2016.

Ada dua variabel yang dikorelasikan di sana. Variabel moralitas dan optimisme. Dalam diskursus filsafati, dua variabel itu memang begitu dekat. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh peradaban manusia, yang ditegakkan lewat beragam aksi representasi dari hati nurani akan memberikan ruang untuk berpengharapan, untuk memancarkan optimisme.

Pada mulanya, fungsi pers cukup simpel sebagai medium pekabaran. Setelah memasuki dinamika kehidupan yang semakin komplek, pers diberi tanggung jawab tambahan, di samping menginformasikan, juga mendidik dan menghibur .

Kemudian dalam percaturan relasi kebangsaan, para pemimpin nasional menajamkan tujuan dari kerja jurnalisme, yakni menjadi suluh, pedoman, kompas bagi perjalanan bangsa. Tentu misi itu kadang tak terwujud karena perbenturan kepentingan kuasa dan modal yang membingkai denyut kehidupannya. Para penguasa otoriter mengkooptasi pers untuk kepentingan melanggengkan kuasa mereka.

Dalam sejarah pers di Tanah Air, rezim Orde Baru dengan tanpa malu-malu, meminjam istilah peneliti pers Daniel Dhakidae, memamerkan pornografi politik. Pornografi politik adalah frasa sinonim untuk pemberangusan terhadap pers yang mengancam eksistensi sang rezim.

Kini, rezim otoritar telah lewat. Pers bebas mengkritik dan kendala dalam bentuk pembredelan lenyap sama sekali. Namun, misi pers untuk menjadi cahaya moral tak seratus persen bebas hambatan.

Kendalanya justru di dalam diri tubuh pers itu sendiri. Di sini godaan untuk sintas dalam persaingan membuat sejumlah insan pers memilih mengabdi pada modal. Cerita soal ini berlimpah. Salah satunya adalah sebuah perusahaan media massa membiarkan dirinya dikendalikan oleh pemodal dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Para pengusaha pun beramai-ramai mengakuisisi perusahaan pers yang kekurangan darah finansial. Di sini pers jelas tak mmpu menjelmakan dirinya menjadi cahaya moral bagi kepentingan publik.

Yang lebih menyedihkan, pers yang tak punya pemodal besar menggantungkan hidupnya pada berita-berita sensasional yang disebarkan untuk meraih pembaca dan iklan sebanyak mungkin. Di sini prinsip-prinsip jurnalisme paling dasar dikesampingkan.

Presiden Joko Widodo memngingatkan kembali awak pers untuk tidak memberitakan atau menayangkan siaran semata-mata demi meraih audiens sebanyak-banyaknya, demi target peringkat program.

Spirit Nasionalisme

Dalam konteks kehidupan pers yang bebas inilah, menurut Presiden, diperlukan spirit nasionalisme dari insan pers. Perlu ada ruang dalam lembaga penyiaran untuk menayangkan lagu-lagu nasional.

Tampaknya, ada satu hal prinsipil yang terlewatkan oleh Presiden dalam memperbincangkan misi pers di perayaan Hari Pers Nasional itu. Poin prinsip itu adalah keniscayaan pers untuk mewujudkan keadilan, yang semakin hari semakin tergerus oleh pergulatan antarkepentingan. Para awak pers yang menjalankan fungsi pers demi memuliakan keadilan tampaknya penting sekaligus genting.

Kenapa penting? Karena perslah yang paling efektif untuk menggiring opini publik dalam memuliakan keadilan. Kenapa genting? Karena pers juga sangat rapuh untuk dikooptasi oleh kepentingan pihak yang memaksakan keadilan versi subjektif sang pemilik kepentingan.

Di sinilah pers kadang beralih fungsi menjadi kuda troya yang mengangkut para penunggang atau penumpang gelapnya. Jika pers sudah menjadi alat kepentingan, entah untuk mengukuhkan kekuasaan atau merobohkannya, kepercayaan publik mulai goyah.

Mengusung prinsip keadilan tentu harus diikuti oleh pemihakan. Pers yang memihak atau pers yang netral tentu pernah menjadi topik yang panas dalam wacana akademis. Namun, kesimpulan paling banyak dianut, alias yang menjadi paradigma arus utama adalah pers yang memihak. Kata-kata Henry Luce, pendiri majalah terkemuka dunia Time sangat terkenal ihwal pers yang memihak ini: Jika demokrasi terancam, pers harus berpihak.

Pertarungan ideologi antara komunisme dan liberalisme di era Perang Dingin memperlihatkan kecenderungan bahwa pers sangat mendesakkan opininya untuk membela liberalisme dan mengutuk komunisme. Berbagai cara dilakukan untuk itu.

Tentu pemihakan pers bukannya tanpa dilandasi filosofi yang kuat. Bagi pers pemihak liberalisme, yang harus dibela adalah kemerdekaan perbendapat, berkumpul dan berserikat. Hanya di kondisi liberalismelah pers dapat menjalankan fungsinya sebagai cahaya moral karena pena sang jurnalis tak dikendalikan sang penguasa otoriter.

Pilihan pers untuk memihak liberalisme ternyata menunjukkan kebenarannya, bahwa sistem politik dan sosial yang pada akhirnya jaya dan digdaya adalah liberalisme yang menjadi ruang subur bagi demokrasi. Francis Fukuyama merumuskannya dalam bukunya yang kini jadi klasik yakni Akhir Sejarah dan Manusia Terakhir yang terbit hampir setengah abad silam.

Meskipun secara tersurat Presiden Jokowi tak berbicara tentang perlunya pemihakan pers pada keadilan, secara tersirat politisi yang memulai karirnya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta pers untuk berpihak pada nilai-nilaidan kejayaan kebangsaan. Tentu itu selaras dengan salah satu misi pemerintahannya yang berisi perjuangan untuk menegakkan kedaulatan politik. Itu sebuah permintaan yang moderat tapi krusial di tengah percaturan globalisme.

Pers perlu membangun persepsi lewat pemberitaannya untuk menarik investasi. Itu kurang lebih yang diminta Presiden pada pers. Tentu lewat pemberitaan yang beretika, seperti yang ditegaskannya sendiri. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…