Jaga Pertumbuhan Berkualitas

Kita tentu ingat dalam forum internasional seperti G-20, para petinggi Indonesia sering mengingatkan empat agenda utama perekonomian Indonesia, yaitu menjaga pertumbuhan ekonomi global yang sehat, mendorong konsep perekonomian yang inklusif dalam arsitektur perekonomian dunia, pembangunan ekonomi dan perdagangan global. Namun kenyataannya sekarang, bagaimana?

Peringatan  tersebut seharusnya perlu didalami secara seksama dan dijabarkan dengan konkret oleh siapapun presidennya, dan para pembantunya yaitu kalangan menteri-menteri ekonomi, agar inisiatif pemerintah memiliki bobot kredibilitas yang tinggi di mata dunia. Hanya persoalannya, hingga sekarang, Indonesia dalam kompetisi dengan negara ASEAN saja sudah ketinggalan, apalagi menjelang sekarang masuk dalam arena Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.  

Kecuali tahun 2013-2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif positif minimal 6% per tahun.  yang sehat. Indonesia harus diakui merupakan salah satu negara yang mencapai pertumbuhan tinggi pada periode 2009-2012, di samping China dan India. 

Namun di balik itu, realita pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari makna “sehat” akibat berjalan seiring dengan makin naiknya ketimpangan pendapatan. Data Gini Ratio (rasio ketimpangan pendapatan) sejak 2010 hingga 2014 terlihat kian membesar, yaitu dari 0,38 (2010) naik menjadi 0,41 (2011-2012) dan 0,42 pada akhir 2014. Ini merupakan sejarah ekonomi Indonesia modern muncul ketimpangan pendapatan mencapai setinggi itu.

Kemudian soal perekonomian yang inklusif dalam arsitektur ekonomi dunia. Substansi dari agenda ini tidak lain adalah pemerataan perekonomian dalam level global, di mana saat ini ketimpangan pembangunan antarnegara juga semakin menganga. Melalui instrumen sektor keuangan dan pergerakan investasi yang kian cepat akumulasi kesejahteraan ekonomi semakin terkonsentrasi oleh negara-negara kaya misalnya AS,Jepang,dan sejumlah negara Eropa.

Negara lainnya di kawasan Afrika, Asia Selatan,Amerika Latin, dan Eropa Timur belum sepenuhnya meningkat kesejahteraan ekonominya pascaglobalisasi ekonomi.Pada titik ini dapat dikatakan arsitektur ekonomi dunia bermasalah karena mengakibatkan disparitas ekonomi yang makin menguat antarnegara.

Lalu masalah pembangunan ekonomi dan perdagangan global, terungkap bahwa pembangunan ekonomi dipacu lewat liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga percepatan kegiatan ekonomi mudah dicapai. Karena sejak liberalisasi dijalankan secara masif pada 1980-an perekonomian berjalan dengan cepat. Namun liberalisasi tersebut hanya menjadi stimulus negara maju untuk mengeruk keuntungan ekonomi ketimbang memberi manfaat bagi negara berkembang.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling mengadopsi liberalisasi itu, bahkan dibandingkan dengan negara maju sendiri. Di sektor perbankan misalnya, investor asing boleh memiliki hingga 99% saham bank di negeri ini, padahal di kawasan negara ASEAN lainnya hanya di bawah 40%.
Tidak hanya itu. Ketimpangan pembangunan di Indonesia sebetulnya tidak disebabkan oleh sisi pendapatan, namun juga ketimpangan sektoral dan regional. Sektor ekonomi pascakrisis ekonomi 1997/1998 yang memberikan kontribusi tinggi adalah nontradeable (keuangan, jasa, telekomunikasi, perhotelan, dan  perdagangan), sementara sektor tradeable (pertanian dan industri) masuk dalam perangkap pertumbuhan zona rendah. Ini patut menjadi perhatian pemerintahan baru untuk menjaga pertumbuhan yang berkualitas di masa depan.

Alih-alih memberi contoh keberhasilan, posisi Indonesia dalam soal ini seharusnya belajar dari negara lain. Berikutnya, agenda mendorong perubahan tata kelola perekonomian dunia merupakan hal yang memang wajib disuarakan oleh Indonesia. Tapi,di sini juga ada satu faktor yang luput diperhatikan. Penyebab tunggal dari ketimpangan ekonomi dunia adalah promosi liberalisasi ekonomi yang disuarakan oleh negara maju sejak lama, tapi celakanya Indonesia merupakan bagian dari jamaah yang takzim menerima tanpa reserve apa pun.

Sementara itu,wilayah yang tumbuh subur perekonomiannya hanya Jawa dan Sumatera, di mana kedua kawasan itu menyumbang sekitar 82% dari total PDB. Dengan kata lain, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali cuma punya donasi kurang dari 18%. Dari sini ini agak ganjil apabila Indonesia turut meneriakkan keberhasilan soal pertumbuhan ekonomi yang sehat di forum G-20 sebab fakta di lapangan problem itu justru sedang tampil dengan kasatmata di negeri ini.

 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…