Mengapa Harus Tax Amnesty?

Oleh : Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Di akhir tahun 2015—pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan fiskal dalam bentuk tax amnesty (pengampunan pajak) yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional. Dikeluarkannya tax amnesty oleh pemerintah secara prakmatis bisa diterima dengan nalar dengan konsekuensi pemerintah ingin mendapatkan dana sebesar Rp 60 triliun dalam APBN 2016 dari dana orang Indonesia yang selama ini di parkir di Singapura yang mencapai Rp 2000 triliun. 

Pemerintah mengasumsikan Rp 60 triliun bisa  diperoleh dari  tarif tebusan 3% dari dana yang masuk sekitar Rp 2.000 triliun. Hal ini sangat fantastis bagi pemerintah  untuk  mendapatkan setoran APBN yang ditargetkan untuk tahun 2016 adalah sebesar Rp1.348,4 triliun. Namun disatu sisi tax amnesty—jika dikaji dalam perspektif hukum—pemerintah telah gagal dalam menegakkan supremasi hukum, dimana pemerintah telah gagal dalam melakukan manajemen pengawasan terhadap orang-orang yang berbisnis yang memiliki kewajiban dalam membayar pajak,  baik pajak penghasilan pribadi maupun pajak transaksi bisnis lainya.  Anehnya, para pelaku kejahatan dan pelanggaran perpajakan ini memperoleh sebuah amnesty dari negara yang dituangkan dalam undang-undang pengampunan nasional. Pada hal, orang-orang yang menggelapkan pajak tersebut selama ini telah lama menikmati kekayaannya selama berbisnis dan mengeksploitasi sumber daya alam di negeri ini.

Anehnya pemerintah memberikan pengampunan kepada  mereka, dengan catatan uang yang di parkir di Singapura tersebut di tarik kembali untuk investasi di Indonesia dan negara akan mendapatkan pajak sebesar Rp 60 triliun. Memahami ini semua ini—sangat jelas bahwa negara telah dikalahkan oleh para pemodal besar dan negara sudah nyaris kehabisan akal sehat dalam memanajemen.

Memang soal ampun mengampun adalah domain dari negara, negara memiliki hak untuk melakukan itu semua atas dasar kekuasaan yang dimilikinya. Tapi negara—harus becermin kepada Singapura, Malaysia dan negara-negara lain. Mengapa orang-orang kaya Indonesia memilih menimbun kekayaanya ke negara tersebut daripada di negara sendiri. Pada hal jika orang-orang kaya tersebut bisa lama menyimpan uangnya di negeri sendiri akan berpengaruh besar terhadap penguatan nilai rupiah serta laju inflasi yang bisa ditekan.

Rezim pajak di Indonesia---membuat orang Indonesia tidak nyaman karena tingginya nilai pajak yang harus dibayarkan secara pribadi  serta sistem pajak progresif yang digunakannya  di negeri ini membuat para pelaku usaha di Indonesia bermain curang dengan membuat laporan keuangan ganda. Sehingga keuntungan bisa diraih oleh palaku usaha, namun jika mereka jujur sesuai aturan maka laba yang diperoleh oleh pelaku usaha sangat kecil, karena semakin besar omzet pendapatan  maka semakin besar juga pajak yang harus dibayarkan. Hal inilah sering terjadi tindakan moral hazard.         

Hal ini sangat berbeda dengan sistem perpajakan di negara tetangga, dimana pajak di Singapura lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dimana  di Singapura pajak di patok 18% sementara Indonesia 25%. Singapura sangat transparan dalam pengelolaan pajak serta pemanfaatanya, sementara di Indonesia banyak dilakukan penyelewengan-penyelewengan dalam program pembangunan. Dengan logika yang demikian maka wajar banyak orang menaruh kekayaanya di negara Singa dalam bentuk instrumen keuangan dan investasi.

Terkait dengan tax amnesty—sudah selayak pemerintah melakukan inovasi dalam mengelola pajak di negeri ini, jangan sampai rejim pajak yang diterapkan memberatkan bagi masyarakat. Soal pemberian tax amnesty itu adalah hak dari negara, tapi negara harus bisa menegakkan supermasi hukum dimana setiap warga negara diberikan kewajiban untuk membayarkan pajak. Apalagi dalam sudut pandang Islam sangat jelas dimana setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Maka apapun seupermasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah harus bisa ditaati oleh masyarakat asalkan untuk kemaslahatan. Inilah yang menjadi catatan mengapa tax amnesty harus dikritisi.

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…