Kebijakan Paket Ekonomi Hanya Untungkan Segelintir Konglomerat, Rakyat Dipaksa "Pay The Bill"

Oleh: Theo Fransisco

Rencananya dalam waktu dekat ini pemerintah akan kembali meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII, yang menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, bertujuan untuk mendorong daya beli masyarakat.

Kabarnya, dalam paket terakhir ini, PPH 21 akan menerima insentif untuk mendorong kesejahteraan karyawan, sekaligus menolong pengusaha. Tapi sampai saat ini, itu juga belum pasti karena pemerintah masih “menimbang-nimbang”.

Sayang sekali, jika ditelisik dari kebijakan jilid satu hingga enam, tampaknya semua hanya memihak para pemilik modal alias orang kaya saja. Tidak ada satupun yang menyentuh hajat hidup “wong cilik” yang justru mendominasi jumlah penduduk negeri ini.

Semua yang dilakukan pemerintah lagi-lagi, dan lagi-lagi, hanya berupa text book therapy, yang pada akhirnya, rakyat juga yang menjadi objek penderita karena menjadi pihak yang “pay the bill”.

Dalam paket jilid I, pemerintah menekankan pada sektor deregulasi, debirokratisasi dan penegakan hukum, serta peningkatan kapasitas usaha.

Wow, tunggu dulu…

Rasanya kita tidak asing lagi dengan kosa kata deregulasi dan debirokratisasi…

Ya, bersama privatisasi, trisula maut inilah yang disodorkan oleh IMF kepada Indonesia, ketika negeri ini dicengkeram krisis moneter tahun 1998. Trisula ini juga yang menjadi pembunuh kedaulatan, kemandirian, serta budaya Indonesia sebagai sebuah bangsa berdaulat.

Lantas kenapa pemerintah justru menempatkan produk-produk Washington Consensustersebut, berdiri di pintu gerbang serangkain kebijakan ekonomi, yang katanya untuk mengembalikan kejayaan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat perlambatan ekonomi global?

Aneh Tapi Nyata

Miris juga, ternyata masih banyak pegangum Laissez Faire yang bercokol di Istana. Sudah jelas, itu bukan bagian dari ideology Trisakti, tapi kenapa justru produk neo liberalisme itu yang dipakai?

Deregulasi, debirokratisai, serta privatisasi selalu bermuara pada paham demokratis kapitalis, menyanjung tinggi prinsip free market, free enterprises, dan free trade.

Apa betul, kebijakan ekonomi seperti ini yang akan disodorkan untuk rakyat yang makin hari makin susah hidupnya akibat himpitan ekonomi?

Mempercepat implementasi proyek, sederhankaan ijin, dan meningkatkan investasi sektor property, supaya rumah murah banyak dibangun untuk dinimati rakyat. Terus, rumah murahnya dimana? Yang ada sederet property mewah dan mall mewah saja yang berdiri.

Siapa yang untuk dan siapa yang buntung?

Dengan akses konglomerat ke pinjaman bank begitu mudahnya diraih, jelas gelontoran rupiah hanya masuk ke pundi-pundi para pemodal. Ujung-ujungnya, kembali rakyat yang dibebankan membayar hutang para orang kaya!

Seandainya saja pemerintah membuka jalur ke bank lebih banyak untuk rakyat jelata, supaya kesempatan memperbaiki hidup menjadi lebih terbuka, mungkin Indonesia akan melihat bahwa Pemerintahan Jokowi benar-benar pro rakyat, seperti janji awal ketika menjadi presiden.

Terlalu. Itu judul lagu Rhoma Irama. Tapi cocok juga untuk dialamatkan pada pemerintah. Dari awal paket kebijakan saja, sudah jelas hanya menguntungkan orang kaya. Bagaimana dengan paket lanjutannya yang kini hampir memasuki episode ke tujuh?

Pada paket pertama, pemerintah berharap daya beli menguat dan pendapatan rakyat bertambah.

Benarkah demikian?

Jauh api dari panggangnya. Semua cuma angin surga saja. Janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi. Pun kalau ada peningkatan Upah Minimum Regional, dipastikan semua barang juga menyusul naik. Jadi, nol besar lagi, karena rakyat tidak diuntungkan.

Lalu ada paket jilid II yang menyasar layanan investasi dengan jalan mempermudah ijin bagi para investor, kemudian ada tax allowance dan tax holiday. Lagi-lagi, tidak ada pembelaan untuk wong cilik.

Semua kemudahan hanya diberikan bagi pemilik modal. Deregulasi ekspor impor seperti menjadi roh dalam paket jilid II ini. Dampaknya apa? Indonesia kebanjiran barang impor.

Produk-produk murah asal China banjir di pasaran. Akibatnya jelas, produk lokal tidak bisa bersaing. Importir (baca: pemilik modal) kembali panen uang, sementara pengusaha lokal gigit jari dan akhirnya harus melakukan PHK, karena tidak kuat membiayai industri yang makin hari makin terjepit oleh deregulasi import ala pemerintah, yang dibungkus rapi dalam gula-gula paket kebijakan ekonomi.

Pada paket jilid III, sedikit ada kabar baik yaitu turunnya harga BBM. Tapi ternyata cuma sesaat, karena BBM jenis Premium, tidak “diutak-atik” oleh pemerintah. Padahal, itulah yang menjadi hajat hidup orang banyak. Apa gunanya turunkan Pertamax yang tidak bersubsidi. Jangan lupa bahwa pencabutan subsisi menjadi salah satu produk IMF (baca: Neo Liberal) yang harus dijalankan pemerintah.

Kalau begitu, apakah paket jilid III menguntungkan wong cilik? Lagi-lagi tidak. Pengguna Pertamax yang nota bene adalah para orang kaya, kembali bersorak. Di ujung lain, rakyat jelata dibiarkan meratap, dengan kertakan gigi akibat pemerintah yang kembali berkhianat.

Masih dalam paket ke III, pemerintah membuka fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR).Tapi ingat, lewat deregulasi ekspor impor pada paket sebelumnya, dan membajirnya pasar Indonesia dengan produk asing nan murah, seberapa kuat produksi dalam negeri bisa bersaing?

Memikirkan hal itu saja, sudah membuat rakyat berpikir untuk menggunakan KUR. Buat apa berhutang, hanya untuk terpuruk kemudian? Dapat duit kredit dengan bunga 12%, lantas buka usaha, tapi harga jual produk tak sanggup bersaing. Sama saja bunuh diri, karena nanti malah terlilit hutang kredit.

Kalau berniat membantu rakyat dengan KUR, kenapa bunga tidak ditekan sampai serendah-rendahnya? Angka 12% itu turun dari 22%. Buat kelompok menengah ke bawah, tetap saja itu ketinggian. Pinjam duit ke rentenir pun masih ada yang diberikan bunga 10%. Miris, karena bunga pinjaman KUR ternyata lebih tinggi dari bunga rentenir rendahan!

Dalam paket kebijakan IV, lagi-lagi pemerintah hanya menguntungkan pengusaha. Kebijakan yang meengatur pengupahan sesuai inflasi, ternyata tidak menyejahterakan kaum buruh. Usaha menengah kecil makin tenggelam, sementara investor dengan modal massif makin berjaya.

Dalam paket jilid IV, daya beli masyarakat yang tak kunjung membaik -malah makin melemah-, kembali dibuat tambah payah. PHK yang marak terjadi, rupanya tidak cukup untuk membuka mata pemerintah. Bukannya menyelamatkan, malah makin menindas rakyat sendiri. Perhitungan upah yang ditambahkan dengan perhitungan inflasi, makin membuka lebar kekuasaan pengusaha yang bisa bertindak apa saja bagi para pekerja. Rakyat tidak diberi pilihan, pada akhirnya harus hidup dengan mental budak hanya untuk menjaga supaya dapur tetap ngebul.

Boro-boro memperbaiki hidup, serta mengangkat harkat dan martabat. Jauh……….

Paket ke V berisi tentang besaran tarif khusus untuk PPh final revaluasi dari 10 persen menjadi 3 persen bila diajukan revaluasinya hingga 31 Desember 2015, lalu besaran tarif khusus untuk PPh final revaluasi menjadi 4 persen bila diajukan revaluasinya pada periode 1 Januari 2016-30 Juni 2016, dan besaran tarif khusus untuk PPh final revaluasi menjadi 6 persen bila pengajuan revaluasinya 1 Juli 2016-31 Desember 2016.

Lantas, paket jilid VI menyasar pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus.

Sama saja. Setali tiga uang. Betul ada lapangan kerja baru. Tapi ketika dirunut ke belakang, sesungguhnya kepentingan pengusaha dan pemodal sudah terlebih dahulu dilindungi. Upah buruh tidak membaik, sementara kemudahan berusaha dijamin.

Sangat pintar memang. Seakan-akan memperbaiki ekonomi, tapi ternyata hanya lebih menindas rakyat jelata. Semua dirajut demikian indah dalam paket demi paket.

Sayang, kembali lagi semua untuk melindungi kepentingan para konglomerat. Banjir investasi asing sejatinya akan terjadi. Mungkin itulah barometer pemerintah dalam menakar suksesnya atau bangkitnya ekonomi Indonesia. Dari luar kelihatan bagus, tapi di dalam rakyat menjerit.

Para investor pesta pora dengan keuntungan menggiurkan, pundi-pundi gemuk di atas penderitaan para wong cilik.

Paket Kebijakan Ekonomi, tak lebih dari proses pencitraan diri pemerintah saja. Indonesia menjadi surga kaum neo liberal. Terbuka pintu gerbang bagi kaum kapitalis untuk menghantam sendi-sendi perekonomian bangsa, hingga akhirnya, pemegang saham utama republik ini yaitu rakyat Indonesia betul-betul tidak lagi sanggup berdiri di atas kaki-kaki mereka, yang memang sudah demikian rapuh dan lemah.

Sebentar lagi ada paket jilid VII. Akankah rakyat akan kembali hanya menjadi penggembira, sekaligus objek penderita?

Menolong para pemodal dan kemudian mengatakan bahwa rakyat kecil akan tertolong, tidak lain hanyalah teori belaka. Apa benar rakyat kecil benar-benar tertolong?

Mari kita simak bersama….

Contoh nyatanya begini. Masih fresh dalam ingatan kita, ketika para konglomerat yang hancur dihantam krisis moneter 1997-1998, kemudian di bail out oleh pemerintah baik melalui BLBI,Bond Recap, Frankfurt Agreement dan bentuk “pertolongan lainnya”, ternyata semua memakai duit masyarakat Republik ini.

Celakanya, sampai hari ini, bunga biaya krisis dana bail out tersebut, masih dibayarkan menggunakan APBN. Artinya apa? Ya memakai uang rakyat kecil juga…..

Lihat apa yang terjadi pada konglomerat-konglomerat yang dibail out itu, sekarang mereka 3 kali lebih kaya!

Akhirnya, biaya-biaya yang “menolong” konglomerasi, kini menjadi beban masyarakat Indonesia. Sekali lagi, jelas, teori yang mengatakan pemodal akan menolong orang miskin ternyata omong kosong belaka.

Dan kita bangsa Indonesia, masa masih mau untuk jatuh ke dalam lobang yang sama? Terlalu! (www.jokowinomics.com)

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…