Pasar Internasional Mulai Sambut Kebijakan SVLK

NERACA

Jakarta - Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Jatim, Liem Laurentius mengatakan penghapusan pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak akan menunjang kinerja ekspor industri mebel, seperti klaim pemerintah.

“Penghapusan pemberlakukan SVLK tidak akan menunjang kinerja ekspor industri mebel, seperti yang dikatakan pemerintah selama ini, namun sebaliknya dengan adanya pemberlakuan SVLK, maka image Indonesia sebagai negara eksportir kayu hasil illegal loging bisa dihilangkan,” katanya ketika dihubungi Antara di Surabaya, dikutip dari kantor berita tersebut, kemarin.

Ia mengatakan, pemberlakuan kewajiban SVLK sendiri untuk memastikan bahwa produk kayu berupa mebel dari Indonesia berasal dari sumber-sumber yang legal, sedangkan pasar internasional sudah mulai menyambut pemberlakuan kewajiban SVLK sebagai salah satu syarat untuk memasuki pasar Eropa.

“Ada 28 negara Eropa tujuan ekspor produk mebel Indonesia hanya empat negara saja yang menolak penggunaan SVLK, sisanya menyetujui penggunaan SVLK sebagai salah satu syarat memastikan legalitas produk hasil kayu yang masuk ke negara mereka,” ujarnya.

Jika aturan ini diberlakukan, lanjutnya akan meningkatkan praktik illegal logging dan Indonesia akan kembali menghadapi sorotan dunia internasional sebagai negara dengan tingkat pembalakan liar yang cukup tinggi.

“Permasalahan sebenarnya bukan terletak pada kewajiban penggunaan SVLK. Kendala selama ini yang terjadi adalah mahalnya biaya pengajuan untuk mendapatkan SVLK lantaran diserahkan kepada pihak swasta,” jelasnya.

Menurut Liem yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong kinerja industri mebel adalah memberikan kepastian hukum bagi pengusaha, dengan membatasi kenaikan upah minimum provinsi tak lebih dari 10 persen per tahun serta deregulasi dan mendorong industri padat karya dengan berbagai insentif pajak.

Selain itu, ia menambahkan bagi produsen skala menengah ke atas, untuk menjaga keberlangsungan usahanya, mereka harus terlebih dahulu merelokasi pabriknya ke daerah lain yang biaya produksinya lebih murah, salah satunya dengan mencari daerah yang upah minimum pekerjanya lebih murah.

“Sebagian produsen ini direlokasi ke daerah lain untuk menutup biaya produksi yang lebih murah dan karena masalah Upah Minimum Regional (UMR), seperti di Gresik, Surabaya, Sidoarjo, mereka pindah ke Lamongan, Bojonegoro karena UMR-nya masih rendah, sekitar Rp1,2 juta,” tandasnya.

Sebelumnya, Sebanyak tiga negara yakni Vietnam, Myanmar dan Malaysia tengah mendekati Indonesia untuk mengadopsi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), di mana sistem tersebut merupakan alat untuk memastikan legalitas kayu serta pengelolaan hutan lestari.

“Memang saat ini mereka belum punya (SVLK), namun mereka mendekati kita untuk belajar karena mereka tidak akan bisa masuk ke Uni Eropa,” kara Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ida Bagus Putera Parthama di Jakarta, dikutip dari Antara.

Putera mengatakan, saat ini ketiga negara tersebut masih berada pada tahapan datang ke Indonesia untuk mempelajari SVLK, atau mengundang Indonesia ke masing-masing negara untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana sistem tersebut dijalankan.

Namun, meskipun sistem tersebut tengah dilirik oleh negara lain khususnya yang berada di wilayah ASEAN, Indonesia sendiri tidak mewajibkan penyertaan Dokumen V-Legal untuk ekspor produk industri kehutanan yang masuk dalam golongan B, namun harus disertai dokumen yang dapat membuktikan bahwa bahan baku dari produk tersebut berasal dari penyedia bahan baku yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, dimana produk industri kehutanan kelompok B tersebut terdiri dari 15 Nomor Pos Tarif (HS).

“Permendag tersebut membebaskan 15 HS Code untuk SVLK, namun peraturan dirjen akan kita susun sedemikian rupa yang menyebutkan klausul bukan berarti bisa menggunakan kayu ilegal,” ucap Putera.

Menurut Putera, saat ini, kayu-kayu ilegal sesungguhnya masih banyak yang beredar di Indonesia. Sementara jika SVLK hanya diterapkan untuk kayu-kayu dari sektor hulu, hal itu dirasakan masih belum mencukupi. “Industri mebel itu kayunya bisa datang dari mana saja. Tidak Cukup dari hulu saja (untuk SVLK), karena kayu ilegal itu masih banyak. Nanti kita minta Menko Perekonomian untuk menjembatani,” ujar Putera.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…