Jelang Pelaksanaan MEA - Realisasi Perdagangan Bebas Asia Tenggara Masih Perlu Kajian

NERACA

Jakarta - Pengamat Internasional dari Par Indonesia Strategic Research, Jakarta, Guspiabri Sumowigeno mengatakan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam waktu dekat perlu dibahas secara mendalam. Ia mengatakan dirinya juga tak pernah mendengar mereka memproduksi buku putih mengenai mau kemana negeri yang populasinya terbesar keempat didunia ini di panggung internasional.

“Topik mengenai kebijakan luar negeri sangat jarang dibicarakan serius dan mendalam dikalangan parpol, seperti tak banyak berdiskusi mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” katanya di Jakarta, dikutip dari Antara, kemarin.

Menurut dia, di DPR, tak terjadi debat yang hangat mengenai MEA. Berbeda sekali dengan bagaimana parlemen Jerman atau Inggris berdebat mengenai keputusan Uni Eropa. “Saya berharap Presiden Jokowi memiliki informasi yang memadai sewaktu mengambil keputusan go ahead untuk MEA,” ujarnya.

Ia mengatakan jangan sampai keputusan atas nama bangsa dan negara ini dibuat hanya berdasarkan masukan dari sekelompok pejabat dalam birokrasi negara yang selama ini intens terlibat berbagai perundingan internasional baik dengan pejabat negara lainnya maupun dengan kalangan bisnis asing.

Hingga akhir Juli 2015, sudah eksis 463 kesepakatan dari 506 komitmen kesepakatan dalam kerangka MEA. Itu jumlah kesepakatan yang banyak sekali dan ada sekelompok pejabat tinggi pada tingkat Dirjen atau Deputi beberapa Kementerian dan Lembaga yang terlibat dalam perundingan intens di tingkat ASEAN.

Menurut dia, para pejabat inilah yang menyusun laporan mengenai kesiapan berbagai sektor ekonomi Indonesia untuk diliberalisasi dalam konteks MEA. Semoga laporan yang menjadi rekomendasi para menteri pada presiden mengenai kesiapan Indonesia memasuki MEA itu akurat.

Masalahnya, selalu ada risiko bahwa sebagian rekomendasi untuk kebijakan negara mengenai MEA dibuat dengan kesengajaan untuk memberikan keuntungan bagi pelaku bisnis asing memanfaatkan pasar Indonesia seraya merugikan pelaku ekonomi nasional dengan imbalan tertentu.

“Kita berdoa agar tidak ada praktek menjurus korupsi dalam aktifnya jajaran birokrasi dalam proyek integrasi ekonomi ASEAN ini. Celah praktek seperti ini bisa saja terjadi ditengah minimnya pengawasan DPR, dan seringnya pergantian para menteri ekonomi,” katanya.

Karena MEA sudah diputuskan untuk berjalan per 31 Desember 2015, maka tugas Pemerintah Jokowi adalah memonitor bagaimana semua sektor ekonomi dan bisnis yang disertakan dalam skema MEA berjalan.

Guspiabri Sumowigeno mengatakan Indonesia perlu mengajukan skema” exit parsial”, sementara, maupun permanen dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk menjadi bagian cetak biru MEA. “Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukan barang sakral. Mengingat Cetak Biru MEA masih belum 100 persen terbentuk,” katanya.

Menurut dia hal ini wajar saja, karena kerangka integrasi ekonomi yang demikian dalam dan luas seperti Uni Eropa juga memiliki opsi exit bagi setiap negara peserta. Apapun MEA hanyalah kesepakatan politik antar negara yang pasti bisa dibatalkan bila dipandang perlu oleh para pihak didalamnya. “Dengan memasukkan mekanisme exit dalam Cetak Biru MEA, Indonesia bisa melakukan evaluasi setiap tahun dan sekiranya ada sektor yang mengalami kemunduran hebat,” katanya.

Untuk itu ia meminta pemerintah agar segera merancang langkah renegosiasi atau bahkan exit dari kerangka kesepakatan MEA secara parsial baik untuk sementara waktu maupun permanen. Kalau semua sektor terpuruk, tentu exit permanen harus menjadi opsi nasional.

Ia berharap satgas pengawas pelaksanaan MEA perlu dibentuk Presiden dengan kewenangan memonitor dan merekomendasikan respon. Pejabat yang merekomendasikan dan memutuskan kebijakan untuk menyertakan sektor yang kemudian terpuruk tersebut dalam kerangka MEA, perlu diperiksa oleh panel etik profesi PNS dan dimintai pertanggungjawaban. “Tak ada seorangpun pejabat dan mantan pejabat perancang rekomendasi dan pengambil kebijakan dalam kerangka MEA yang boleh lepas dari tanggungjawab profesional maupun politik,” jelasnya.

Dikatakannya negara lain bisa tertarik untuk mendukung opsi exit, karena MEA akan disaingi oleh kerjasama ekonomi Trans Pacific Partnership (TPP). TPP awalnya beranggotakan Amerika Serikat, Australia, Brunei, Kanada, Chili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura dan Vietnam.

Belakangan Filipina, Thailand dan Indonesia juga ingin bergabung dengan TPP. Tak lama lagi, 7 dari 10 negara ASEAN: Malaysia, Brunei, Singapura, Vietnam, Filipina, Thailand dan Indonesia bergabung dengan TPP.

Akibatnya interaksi ekonomi antar 7 negara anggota MEA menjadi tumpang tindih dengan interaksi sebagai anggota TPP. Hubungan ekonomi antara 7 negara ASEAN itu akan direpotkan oleh regulasi yang berbeda antara MEA dan TPP. Jika skema TPP lebih menguntungkan, skema MEA pasti akan ditinggalkan. “Jadi opsi exit memang perlu ada,” tegasnya.

BERITA TERKAIT

Tingkatkan Kinerja UMKM Menembus Pasar Ekspor - AKI DAN INKUBASI HOME DECOR

NERACA Bali – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno bertemu dengan para…

UMKM Perikanan Potensial di 12 Provinsi Terus Didorong

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberikan dukungan penuh terhadap 376 Unit Pengolahan Ikan (UPI) Usaha Mikro…

Indonesia dan Tunisia Segera Tuntaskan Perundingan IT-PTA

NERACA Tangerang – Indonesia dan Tunisia segera menuntaskan Perundingan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) pada 2024. Ini ditandai dengan  penyelesaian…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Tingkatkan Kinerja UMKM Menembus Pasar Ekspor - AKI DAN INKUBASI HOME DECOR

NERACA Bali – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno bertemu dengan para…

UMKM Perikanan Potensial di 12 Provinsi Terus Didorong

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberikan dukungan penuh terhadap 376 Unit Pengolahan Ikan (UPI) Usaha Mikro…

Indonesia dan Tunisia Segera Tuntaskan Perundingan IT-PTA

NERACA Tangerang – Indonesia dan Tunisia segera menuntaskan Perundingan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) pada 2024. Ini ditandai dengan  penyelesaian…