Waspadai Sinyal The Fed

Indikasi perbaikan perekonomian AS tampaknya dapat dilihat dari tanda-tanda jumlah orang negeri tersebut yang bekerja paruh waktu karena perlambatan  ekonomi beberapa tahun belakangan. Angkanya turun menjadi 5,7 juta pada Oktober. Penurunan pekerja paruh waktu menunjukkan pemilik usaha cukup percaya diri terhadap perekonomian negaranya, sehingga memunculkan keberanian untuk terus mengambil lebih banyak karyawan penuh waktu. Artinya, perekonomian AS mulai kembali ke tren yang cukup positif.

Implikasi selanjutnya adalah, data ekonomi ini menjadi salah satu pertimbangan utama bagi The Fed atau Bank Sentral AS untuk  menentukan waktu yang tepat untuk melakukan pengetatan moneter. Pasalnya, sejumlah petinggi The Fed termasuk kalangan dunia usaha dan para ekonom sedang mencari celah yang tepat untuk menaikkan suku bunga pada tahun ini, terutama pada Desember tahun ini.

Kita melihat besarnya suku bunga acuan The Fed sudah sejak lama bertahan di level nol persen. Tujuannya mendorong laju pertumbuhan pascaresesi 2008.  Tetapi, sekalipun AS telah perlahan-lahan pulih dari resesi besar, pertumbuhan global yang lebih lambat membuat kenaikan suku bunga pertama ditunda. Ini karena The Fed mempertimbangkan berbagai risiko yang sedang berlangsung terhadap ekonomi AS. 

Menurut analis Goldman Sachs, ada tiga hal yang dijadikan pertimbangan atau faktor penentu penundaan kenaikan suku bunga  The Fed  sejak September, adalah pertumbuhan upah, turunnya  harga minyak, dan suramnya perekonomian global.  Terlepas dari pandangan Goldman Sach, sebenarnya The Fed punya kriteria utama mengenai kenaikan suku bunga, sebagaimana yang diungkapkan Gubernur The Fed Janet Yellen bebeapa waktu lalu.  

Ketiga kriteria itu, yakni pengangguran (target 5%) dan inflasi 2% (year on year). Jadi, dengan perkembangan data ekonomi belakangan ini, spekulasi pasar terhadap peluang kenaikan suku bunga The Fed pada Desember terus meningkat hingga 72%.  

Padahal, sebelum komentar Yellen pasca-FOMC pada Oktober,  peluangnya hanya sekitar 56 % atau jauh lebih besar dari bulan lalu yang bertengger di level 36%. Konfidensi penaikan suku bunga kredit bahkan kian marak pascadata pengangguran awal November ini yang dirilis pas di level persentase 5%. Ini setelah beberapa bulan sebelumnya hanya mampu mencatatkan angka 5,1%-5,3%.

Imbasnya, komentar para pejabat The Fed pasca-FOMC pada Oktober pelan-pelan mulai menekan rupiah. Ini membenamkan nilai tukar rupiah  pada akhir pekan lalu, setelah terkerek naik akibat kombinasi penundaan kenikan suku bunga The Fed pada September dan paket ekonomi jilid III pemerintahan Jokowi-JK.  

Misalnya, nilai tukar rupiah di pasar spot pada Jumat (13/11) terlihat tergerus 0,65% dari level sehari sebelumnya menjadi Rp 13.685 per US$. Sementara itu, berdasarkan  kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah melemah 0,4% ke level Rp 13.633 per US$.

Padahal dari dalam negeri diharapkan,  ada data positif yang menyambung kehidupan rupiah, seperti sentimen positif dari data current account deficit (CAD) kuartal III-2015 sebanyak US$ 4 miliar atau 1,86% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih baik dari CAD kuartal sebelumnya yaitu US$ 4,2 miliar atau 1,95% dari PDB. 

Namun kenyataannya, data ini tak memberi efek fundamental yang mumpuni karena dirilis setelah penutupan perdagangan pada Jumat. Jadi, data ini belum sempat bertemu respons pasar. Untuk minggu ini, pergerakan rupiah juga dalam posisi menunggu sokongan data  data trade balance yang diperkirakan surplus.

Benar, di satu sisi penundaan kenaikan memberi jeda pada negara-negara emerging market seperti Indonesia, untuk bersiap-siap dan menyiapkan aspek fundamental sesegera mungkin agar kuat berbenturan dengan faktor eksternal, terutama isu suku bunga The Fed. Di sisi lain, penundaan akan menambah daftar panjang ketakutan di pasar domestik karena absenya pegangan ekonomi yang bisa dijadikan patokan. Kondisi seperti ini mengirim indeks harga saham gabungan dan mata uang ke arena spekulatif. Harga akan berfuktuasi sesuai aksi ambil untung atas persepsi, tanpa dasar fundamental ekonomi. Waspadalah!

 

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…