Wapres Ingatkan Pengusaha untuk Bayar Pajak

 

NERACA

 

Bandung – Dihadapan kalangan dunia usaha, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan para pengusaha untuk membayar pajak sehingga pemerintah dapat membangun infrastruktur. "Apapun usaha anda, 25 persen milik pemerintah, jadi bayar pajak," kata Wapres saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) VII Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, di Bandung, Jawa Barat, Senin (23/11).

Dia mengatakan, pemerintah mengharapkan dunia usaha menjadi lebih baik sehingga pajak yang dibayar lebih banyak. Menurut Wapres, tanpa pajak maka pemerintah tidak akan punya dana untuk membangun infrastruktur. "Jangan protes bunga tinggi, tidak ada pelabuhan, itu semua dari pajak. Tidak ada dari kantong Jokowi-JK. Tanpa pajak tak bisa buat apa-apa," ucap Wapres, menegaskan.

Pemerintah sudah memberikan pengampunan pajak dan juga sedang mengusahakan "tax amnesty" yang saat ini sedang dibahas di DPR. Tax amnesty dinilai akan memberi keuntungan bagi Indonesia, khususnya menyumbang penerimaan pajak. Sebelumnya pelaksanaan program pengampunan pajak terakhir kali diimplementasikan pada 1984. "Artinya yang bayar pajak segera ya bayar pajak. Bayarlah baik-baik, jangan protes jalan jelek kalau tidak bayar pajak," tukasnya.

Permintaan JK dihadapan para pengusaha, tak lepas dari target penerimaan pajak masih jauh dari harapan. Pasalnya berdasarkan hasil pantauan data real time per 29 Oktober 2015, penerimaan pajak nonmigas yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak masih melempem di kisaran 57% dari target dalam APBNP 2015 Rp1.244,7 triliun. Penerimaan pajak (minus PPh migas) mencapai Rp714,5 triliun atau baru tumbuh sekitar 3,6% dari periode yang sama tahun lalu.

Menurut Peneliti Kebijakan Publik Prakarsa Ah Mahftuchan, kepatuhan warga untuk membayar pajak masih di Indonesia masih tergolong rendah. Ini terjadi pada para pengusaha yang memiliki harta berlimpah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, pengusaha kaya yang tercatat membayar pajak hanya berkisar 0,48 persen. Jumlah pengusaha di Indonesia hanya sekitar 1,56 persen dari total penduduk Indonesia. "Kepatuhan orang kaya bayar pajak sangat rendah," ujarnya, beberapa waktu lalu.

Dia mengaku kebanyakan para pengusaha kelas atas tidak memiliki bukti Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Oleh karenanya, potensi pendapatan negara dari sektor pajak banyak yang hilang. Kepatuhan pengusaha bertolak belakang dengan masyarakat kelas menengah dalam membayar pajak. Masyarakat kelas menengah sudah diwajibkan membayar pajak dari potongan gaji yang diterima setiap bulannya oleh perusahaan. "Kita tidak bisa mengelak karena habis gajian perusahaan melakukan pemotongan," katanya. 

Bahkan, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Kebijakan pengampunan pajak menjadi pilihan pemerintah untuk mengejar target penerimaan pajak sebesar Rp 1.350 di tahun depan. Diperkirakan sebanyak Rp 2.000 triliun uang orang Indonesia yang selama ini parkir di luar negeri akan kembali ke tanah air dan mampu menambah penerimaan pajak sebesar Rp 60 triliun.

Tax amnesty dalam asumsi pemerintah adalah penghapusan tunggakan pokok pajak, sanksi administrasi, dan atau pidana pajak atas ketidakpatuhan yang telah dilakukan oleh wajib pajak di masa lalu, demi peningkatan kepatuhan di masa yang akan datang. Namun wajib pajak (WP) tersebut harus membayar sejumlah tebusan dengan besaran tertentu, yang akan masuk dalam penerimaan pajak penghasilan orang pribadi.

Lalu bagaimana mekanismenya? Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito menjelaskan periode pemberlakuan tax amnesty selama setahun. Rencananya dari Desember 2015 hingga Desember 2016. Tergantung dari penyelesaian Undang-undang tentang tax amnesty yang akan diajukan pemerintah ke DPR. "Jadi hitungan kita setahun," kata Sigit.

Wajib Pajak bisa meletakkan dananya melalui perbankan. Selanjutnya bisa diletakkan dalam bentuk obligasi atau yang lainnya, minimal dalam kurun waktu setahun. Sehingga bisa memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. "Nanti kita akan coba tahan melalui pembelian obligasi. Jadi bisa ngendap dulu. Minimal setahun. Karena uang itu harus jadi penggerak ekonomi. Bukan di-declare saja, bukan pajak saja. Kalau nggak ngendap disini ngapain," papar Sigit.


BERITA TERKAIT

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…