Telat Bertindak, Ekonomi Loyo

 

Melesetnya prediksi pertumbuhan ekonomi nasional memang agak sedikit mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, prediksi terakhir Bank Indonesia sebelum rilis data ekonomi makro oleh BPS adalah 4,85% pada kuartal III-2015. Sebelumnya Fitra Faisal, manajer riset FEUI, beberapa waktu lalu juga mengungkapkan hasil kajian fakultasnya ke dalam grup diskusi. Dengan angka prediksi 4,9%. Angka ini sama dengan perkiraan Bank Dunia dan IMF saat itu.   

Namun, ternyata hasilnya justru jauh dari prediksi tersebut, yaitu hanya 4,73%. Karena hasil ekspor tak sesuai dengan yang diharapkan dan indeks harga komoditas Indonesia yang diprediksi naik sekitar 11%, ternyata terkapar minus 16%. Hal ini tentu langsung berdampak pada penurunan devisa ekspor unggulan Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Di sisi lain, belanja pemerintah sama sekali belum membantu memberi daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Penyebabnya jelas ekspor komoditas melemah, karena kondisi permintaan global yang tidak stabil, bahkan berkali-kali Bank Dunia meralat prediksi pertumbuhan ekonomi global. Namun, realisasi belanja pemerintah juga ikut melambat karena ternyata realisasi pendapatan dari sektor perpajakan juga berjalan lamban. Ada kesan pemerintah sangat hati-hati dalam menggelontorkan anggaran belanjanya.

Salah satu faktornya adalah melambatnya perekonomian Tiongkok sejak awal tahun. Negara Panda itu adalah mitra dagang Indonesia terbesar kedua setelah AS dan sebelum Jepang. Perlambatan ekonomi Tiongkok secara otomatis akan menekan permintaan atas komoditas-komoditas ekspor Indonesia. Bahkan dalam target pertumbuhan ekonomi lima tahunan Tiongkok disebut-sebut sekitar 6,5% sebagai batas bawah pertumbuhan ekonominya.  

Tak berbeda halnya dengan modal yang masuk, angkanya masih terbaring jauh di bawah angka yang berhasil diraih tahun lalu. Dari Januari-Oktober 2015, aliran dana asing yang masuk ke Indonesia tercatat senilai Rp 33 triliun. Padahal tahun lalu dana asing yang sukses ditarik berada di kisaran Rp 130 triliun. Ada penurunan dan itu dipastikan akan berdampak pada over all balance payment Indonesia.

Dari sisi internal, upaya Bank Indonesia menstabilkan nilai tukar, harus diakui, memang sudah sangat agresif. Bahkan cadangan devisa terus terkuras hingga US$14,8 miliar sejak Februari hingga Oktober 2015, karena dipakai BI untuk melakukan pembelian aset di pasar sekunder agar permintaan untuk menahan rupiah tidak turun tajam.

Namun di sisi lain, ternyata reformasi struktural yang selama ini dilakukan malah membuat pergesekan yang cukup menyakitkan bagi fundamental ekonomi nasional sehingga perlambatan menjadi hasil resultante yang diterima bersama. Realisasi belanja pemerintah yang lambat berbanding lurus dengan berkurangnya sumber-sumber pendapatan pemerintah. Lambatnya realisasi belanja negara akhirnya gagal memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara umum, dan gagal mengangkat daya beli masyarakat Indonesia.  

Jadi, setelah BPS merilis data pertumbuhan ekonomi pekan depan, kita susah berharap di tahun ini pertumbuhan ekonomi akan berada di atas 5%.  

Jadi, meski secara regional dan global angka ini adalah angka yang relatif tinggi, secara fundamental, angka ini adalah angka yang cukup memprihatinkan. Prospek pembukaan lapangan kerja baru akan tergeret ke bawah, angka pengangguran akan melebar, dan daya beli secara perlahan akan semakin terganggu,  yang pada akhirnya berdampak pada pelemahan permintaan konsumsi dalam negeri.  

Diakui atau tidak, di satu sisi pemerintah terkesan terlambat dalam membaca kondisi mengambil keputusan melakukan reformasi struktural secara agresif dengan diawali kebijakan pencabutan subsidi BBM di akhir tahun lalu. Pemerintah juga telat dalam menerbitkan paket kebijakan ekonomi yang sejatinya tidak harus menunggu rupiah terdepresiasi lebih dalam mendekati Rp 14.000 per U$. Di sisi lain, kondisi ekonomi global setiap saat bergejolak dan rentan terhadap perekonomian nasional. Waspadalah bila angka pertumbuhan masih di bawah 5% akan terjadi pada tahun depan.

 

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…