Koreksi Mismanajemen Rupiah!

 

Oleh : Tumpal Sihombing

Chief Research Officer

Rifan Financindo Berjangka

 

Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), pasar valas adalah pasar keuangan terbesar di dunia dengan nilai rerata volume harian US$ 5 triliun. Dalam Rupiah dimana kurs IDR = 14.600 per USD nya, nilai itu setara dengan Rp 73 Ribu triliun, atau sekitar 50 kali cadangan devisa kita saat ini. Berdasarkan perbandingan tersebut, boleh disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia tak punya kekuatan sama sekali dalam menentukan dinamika dan arah pasar valas dunia.

Dengan kata lain, intervensi pasar valas dalam rangka memperkuat Rupiah adalah suatu proposisi yang sangat mahal,suatu pilihan atau langkah terakhir sang Bank Sentral.Apabila cadangan devisa tak dikawaldengan ketat, maka nilai USD 105 Miliar yang dimiliki negara saat ini mudah sekali menguap di pasar valas dunia. Namun jika intervensi tak segera dilakukan oleh Bank Indonesiadalam beberapa bulan belakangan, maka Rupiah mungkin sudah tak jelas lagi juntrungannya saat ini.

Intervensi yang dilakukan oleh BI selama ini memang wajib, namun kurang taktis dan tidak efektif. Ada yang lemah dalam inisiatif jangka pendek ala manajemen BI saat ini dalam upaya mengelola dinamika dan mitigasi risiko Rupiah. Jika pola dan inisiatif yang sama diteruskan, maka Rupiah bakal lebih terpuruk. Status Rupiah kini bermasalah, artinya BI harus segera berkoordinasi taktis dan urjen dengan ragam lembaga lainnya di bawah koordinasi Menko Perekonomian.

Sebenarnya ada cara lebih efektif,namun selama ini justru kurang mendapat perhatian serius dari otoritas moneter, entah kenapa. Jika Pemerintah tak sudi krisis moneter babak kedua terjadi, maka segeralah lakukan langkah efektif dalam rangka mencegah depresiasi lanjut terhadap Rupiah. Perhitungan Direktorat Riset Rifan, nilai ambang panik Rupiah adalah 15.800 per US$. Semoga ambang ini tak jebol.

Kasus pelemahan Rupiah, tentu terkait dengan fluktuasi yield obligasi Pemerintah tenor 10 tahun. Dalam sebulan terakhir yield obligasi ini mengalami lonjakan sangat tajam. Awal September 2015 masih di rentang 8.7-8.8%,kini meroket ke 9.7-9.8%. Artinya ada penurunan drastis terhadap harga obligasi dalam sebulan belakangan. Banyak investor obligasi yang melepas kepemilikannyadalam kuantitas masif. Ini berhubungan erat dengan tingkat risiko berinvestasi efek obligasi di Indonesia. Ini refleksi dari semakin tingginya sovereign risk.

Pelemahan Rupiah telah merongrong fundamental domestik. Sedikit lagi saja Rupiah melemah, perekonomian bisa bergerak ke posisi yang sangat sulit mengembalikannya ke kondisi normal dalam jangka pendek. Jika paham akan situasi ini, tentunya Pemerintah saat ini lebih bersikap kritis lagi dalam upaya mengoreksi tatanan moneter. Kondisi moneter membutuhkan kepiawaian tim perekonomian Jokowi dalam bermanuver di pasar.

 

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…