Asap dan Biaya Transaksi

 

Oleh: Shinta Dwi Nofarina

Peneliti INDEF

 

Kebakaran hutan, sebuah peristiwa yang entah lebih tepat disebut dengan “tragedi” ataukah “bencana”. Selain mudik dan banjir, kebakaran hutan sudah bak peristiwa rutin di Indonesia. Seolah tak pernah kunjung belajar dari pengalaman di masa lampau, kebakaran hutan terus berulang setiap tahun. Dari sini dapat disimpulkan, hamper setiap lapisan masyarakat Indonesia belum mencurahkan kepeduliannya terhadap isu lingkungan.

Baru-baru ini, peristiwa kebakaran kembali terjadi dan menimbulkan polusi udara yang sangat masif. Kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap tahun ini terjadi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Kerugian yang terjadi akibat peristiwa ini bukan hanya materi yang tak terhitung nilainya, tetapi juga kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.Tidak hanya mencemari lingkungan setempat, asap kebakaran hutan juga sangat mengganggu negeri-negeri tetangga khususnya Singapura dan Malaysia. Komplain dan keluh kesah pun dilancarkan kepada pemerintah yang terkesan lamban dalam menangani peristiwa ini.

Hasil investigasi pun menyebutkan peristiwa asap kebakaran hutan ini 99 persen merupakan kesengajaan ulah manusia (korporasi dan masyarakat sekitar). Hal ini sungguh ironis dan amat memilukan. Betapa keputusan yang diambil oleh oknum-oknum tersebut sungguh jauh dari tatanan etika berekonomi yang pantas. Pembakaran hutan dinilai sebagai jalan yang cukup murah untuk pembukaan lahan baru ketimbang harus menempuh cara-cara konvensional. Akan tetapi sebegitukah cara yang pantas untuk meraih keuntungan? Tidakkah terbayangkan bahwa lingkungan dan kesehatan masyarakat harus menanggung biaya transaksi yang begitu berat?

Dari kesemua ini, dapat kita saksikan bahwa banyak korporasi yang acuh pada AMDAL. Mindset dari definisi ekonomi yang “mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk meraih keuntungan sebesarnya” masih bercokol dalam proses pengambilan keputusan. Padahal di era saat ini, mindset teori itu sudah cukup using dengan kondisi kekinian yang sangat mempertimbangkan nilai-nilai etika, sosial, dan juga lingkungan. Akhir kata, rasanya restorasi kebijakan dan low enforcement merupakan hal yang sangat serius untuk disegerakan, demi menertibkan setiap aktivitas perekonomian.

 

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…