Raup Untung Rp50 Juta / Bulan - Menggendong Untung dari Bisnis Tas Kanvas

Munculnya ide usaha membuat tas kanvas timbul lantaran ketiganya suka melakukan aktivitas travelling bersama sehingga terbersit gagasan untuk membuat merek tas yang bisa dipakai untuk liburan sekaligus untuk dijual. Itulah awal mula brand tas Rafheoo yang berpusat di Jalan Jatiraya, Pasar Minggu, Jakarta lahir.

Pemiliknya adalah tim yang terdiri dari tiga orang pria lajang usia 23 tahun, yakni Hendi Dermawan Putra, Agra Geneosya, dan Alif Pratama. Tiga pria yang bersahabat sejak SMA ini menggeluti usaha pembuatan tas sejak Maret 2011.

“Awalnya memang kami fokus pada bahan kanvas, tetapi akhir-akhir ini kami mengembangkan banyak produk dengan beragam material. Persentasenya sekarang 70% cotton canvas, selebihnya ada bahan 400 Denier, 200 Denier dan Sunbrella,” kata Hendi, salah satu pemilik usaha tas kanvas ini.

Dengan modal patungan Rp5 juta, mereka membiayai produksi label, tas dan kemasan produk. Demi meminimalisir modal, mereka memilih mengawali bisnis dengan memakai jasa pihak ketiga yakni vendor produksi tas.

Namun mulai 2013 mereka berhenti pakai jasa outsourcing dan mulai menerapkan in house production.  Untuk memperkuat identitas produk Rafheoo, belakangan Rafheoo memilik pakai bahan baku kanvas tradisional yang dibuat dengan sistem tenun tangan sehingga produknya lain dari yang lain. “Produsen tas bisa membeli kain kanvasnya dari produsen kain, secara grosir ataupun eceran. Namun jika pelaku usaha mampu mengembangkan kanvasnya sendiri, tentu akan menjadi nilai tambah bagi produknya. Dan biasanya untungnya lebih besar,” ujarnya.

Selain itu, mereka juga memakai bahan batik serta aksesoris handmade berupa Strap Adjuster, Buckle dari bahan peluru yang didaur ulang, serta Glass Beads recycle dari kaca bekas sebagai hiasan gantungan pada zipper.

“Produk kami yang paling diminati adalah tas handwoven, karena kami mengembangkan kain canvas sendiri sehingga tak ada di tiruannya di pasaran. Keunggulan handwoven canvas ini yakni memiliki pattern, tidak polos dan bisa customize, serta diproduksi tanpa listik oleh pekerja asli Indonesia,” katanya.

Pasar Ekspor

Pemanfaatan bahan baku kanvas tenun tangan serta aksesoris handmade, selain membuat produk menjadi unik dan trendi, tentunya juga akan lebih mengerek modal produksi tas karena harganya lebih mahal dari kain kanvas biasa.

Namun hal itu tidak menjadi soal karena Rafheoo tetap laris manis meski memasang harga jual yang cukup tinggi. Bahkan ada satu toko di Singapura yang rutin memesan tasnya sebanyak 50 pieces tiap tiga bulan.

Saat ini Rafheoo sudah memproduksi lebih dari 20 artikel tas yang dibanderol dengan harga mulai dari Rp245.000 – Rp 1,8 juta. Range harga yang cukup lebar itu adalah strateginya agar bisa masuk ke semua target market, baik di pasar lokal maupun di luar negeri.

“Alhamdullilah, kami sudah pernah ekspor ke Singapura, Australia, Amerika dan Malaysia. Untuk buyer lokal kami menerapkan sistem konsinyasi, sementara kalau buyer luar negeri pakai sistem resell atau wholesale,” tambah Hendi.

Pemasaran Online dan Offline

Agar pemasarannya lebih maksimal, dia memakai promosi online dan offline sekaligus, yakni lewat blog www.rafheoo.blogspot.com dan media sosial Twitter, Instagram dan Facebook dengan nama akun @Rafheoo. Selain itu produknya juga bisa ditemukan di mal fesyen online localbrand.co.id.

Adapun, untuk penjualan offline, Rafheoo kerja sama dengan toko Rekluse Workshop di Jakarta Selatan, serta beberapa toko lainnya.

Untuk pemesanan, konsumen bisa memilih ready stock, atau made to order di mana konsumen bisa memilih material dan warna maupun custom order. Dia mengklaim Rafheoo adalah brand indie Indonesia pertama yang mampu menerima custom order sesuai referensi design yang diinginkan konsumen.

Dalam sebulan, ada sekitar 500 tas Rafheoo yang diproduksi. Selain dari penjualan langsung, mereka juga mendapat pemasukan dari jasa maklun produksi tas yang ditangani sister company di workshop-nya.

“Untuk laba bersih saat ini belum terlalu banyak, tapi bila digabungkan dengan 76 Labs, yakni sister company kami yang bergerak di bidang produksi tas untuk merek lain, bisa mencapai Rp50 juta per bulan,” tuturnya.

Hendi berujar, bisnis produksi tas kanvas sebenarnya masih sangat cerah dan semakin pesat perkembangannya karena banyak investor besar yang berani menanamkan modalnya. Seiring dengan pasar bebas nantinya, pasar ekspor akan makin terbuka bagi produsen lokal.

Agar bisa memenangi persaingan itu, kata Hendi, pelaku usaha harus terus berinovasi dan sebanyak mungkin berusaha memakai material lokal.

“Musuh sebenarnya dari brand lokal seperti kami adalah gimmick dari para brand besar asing, yang membuat masyarakat lebih memilih membeli brand asing daripada lokal, padahal kami para produsen lokal sudah sangat mampu bersaing asalkan terus dapat dukungan kuat dari customer lokal,” tuturnya. [agus]

BERITA TERKAIT

INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan

  INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan   Melakukan perawatan kecantikan bagi perempuan merupakan suatu cara untuk menjaga…

Stop Provokasi di Media Sosial, Pentingnya Netiket

  Stop Provokasi di Media Sosial, Pentingnya Netiket NERACA Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Cara Melestarikan Budaya Lokal di Era Digital

  Cara Melestarikan Budaya Lokal di Era Digital NERACA Jawa Tengah - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian…

BERITA LAINNYA DI Keuangan

INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan

  INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan   Melakukan perawatan kecantikan bagi perempuan merupakan suatu cara untuk menjaga…

Stop Provokasi di Media Sosial, Pentingnya Netiket

  Stop Provokasi di Media Sosial, Pentingnya Netiket NERACA Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Cara Melestarikan Budaya Lokal di Era Digital

  Cara Melestarikan Budaya Lokal di Era Digital NERACA Jawa Tengah - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian…