Jelang Setahun Pemerintah Presiden Jokowi - "Rapor Merah" Menteri Kabinet Kerja

Belum lama ini Joko Widodo mereshufle beberapa menteri yang menurutnya (presiden) mungkin  memiliki kinerja kurang baik. Tetapi dari reshuffle tersebut terselip beberapa keanehan karena banyak menteri dari Kabinet Kerja ini tidak memiliki prestasi membanggakan. Lihat saja pertumbuhan ekonomi Indonesia, masih sangat jauh dari apa yang ditergetkan.

Kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi, membuat ekonomi Indonesia makin memburuk. Karena, Jokowi sebagai presiden sepertinya tidak memiliki strategi yang jelas untuk menumbuhkan ekonomi Indonesia.

Biasanya, untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi, jurus lama yang digunakan Presiden sebelumnya adalah meningkatkan daya beli masyarakat. Tetapi, sangat disayangkan Jokowi justru menekan daya beli masyarakat dengan mematok tinggi harga Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik dan harga gas.

Seharusnya, Jokowi melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) bisa menekan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) karena harga minyak dunia saat ini di posisi rendah. Tetapi, Menteri ESDM Sudirman Said masih berpatokan dengan asumsi harga minyak Indonesia di level US$ 60 per barel dengan alasan telah memiliki perhitungan secara periodik. Padahal, harga minyak dunia sudah merosot di level US$ 40 per barel.

Kebijakan ngawur menteri bukan di Kementerian ESDM saja. Baru-baru ini, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani juga turut “ngelantur” membuat kebijakan, kini kebijakannya membuat website tengah menjadi sorotan banyak kalangan.

Pasalnya, putri Megawati itu membuat website www.revolusimental.go.id dengan menghabiskan anggaran sangat sangat fantastis, Rp 140 miliar. Padahal, dengan uang sebanyak itu bisa dilakukan hal-hal yang lebih bermanfaat untuk rakyat banyak. Ujungnya, anggota DPR dan praktisi meminta agar penggunaan uang negara sebanyak itu ditelusuri.

Kementerian Perindustrian pun demikian. Saleh Husin sang menteri tidak mampu menekan impor serta menaikkan ekspor. Bahkan kebijkan perdagangannya tidak bisa menjaga arus perdagangan dalam negeri. Salah satu contohnya adalah pembelian sapi dari Nusa Tenggara Tenga (NTT) bukan dibawa ke Jawa yang permintaan akan daging sapi sangat tinggi tetapi malah dibawa ke Kalimantan. Akibatnya, daging di Jawa menjadi langka dan mahal.

Kebijakan tak populis juga ditelurkan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Yuddy Chrisnandi, dimana sebelumnya sudah ada larangan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) rapat di hotel, dimana kebijakan ini hampir mematikan industri perhotelan. Kini, bakal ada aturan dimana pemesanan barang harus ke distributor, artinya pemesanan barang bukan lagi melalui supplier. Kebijakan ini dipastikan juga akan mematikan supplier-supplier pengadaan barang.

Begitu pula dengan kebijakan Kemenaker, Hanif Dakiri yang membuat ketimpangan gaji karyawan lokal dan asing, dan kegagalan diversifikasi pangan dari Kementan membuat masyarakat Indonesia semakin terbebani. Ditambah ketidakbecusan BI menjaga rupiah.

 

Tidak Memihak Rakyat

 

Menanggapi fenomena itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mengakui bahwa saat ini banyak "pembantu presiden" atau menteri membuat kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat. "Pembantu presiden atau menteri sebaiknya tidak membuat kebijakan yang menyusahkan, membebani dan membuat bingung disaat situasi perekonomian yang sedang sulit seperti sekarang ini," tegas Heri saat dihubungi Neraca lewat sambungan telepon, Selasa.

Menurut politisi Gerindra ini, seharusnya menteri menteri bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Pasalnya rakyat sudah dalam posisi yang sangat tertekan oleh gonjang ganjing ekonomi dunia yang saat ini sedang bergejolak dan sudah terasa terhadap perekonomian dalam negeri. "Banyak kebijakan yang ngawur. Misalnya, menaikkan harga premium di saat harga minyak dunia justru turun. Kita tahu, premium dikonsumsi sebagian besar rakyat kelas bawah. Sopir angkutan umum, nelayan, pesepeda motor, dan lainnya. Pada saat yang sama, pertamax dan pertamax plus tidak naik harganya,” tegasnya.

Heri menambahkan, kebijakan menteri kabinet kerja lainnya yang justru menyengsarakan rakyat adalah menaikkan harga LPG tabung 3kg, tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 300%. "Semua itu sangat bertentangan dengan jargon Trisakti yang diusung sewaktu kampanye Pilpres. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat kental bernuansa neolib dan menyakitkan rakyat," kata dia.

Menurut Heri, jargon Trisakti ditinggalkan dan hanya jadi jualan kampanye, sudah tampak sejak awal. Ini sudah tampak sejak kabinetnya dinamai dengan Kabinet Kerja. "Kalau hanya kerja, zaman penjajah Belanda dan Jepang juga digenjot kerja, kerja, kerja. Tapi yang diuntungkan bukan rakyat Indonesia. Justru asing yang makin menjadi ketika kabinetnya diisi banyak para penganjur neolib  dan para menterinya hanya bisa menaikkan harga,” tegasnya.

Lebih lanjut Heri mengatakan, banyak menteri yang tidak mengerti persoalan dan tidak peka terhadap kondisi rakyat. Hal itu, dapat terlihat dari carut-marutnya kondisi politik dan ekonomi Indonesia saat ini, mulai dari anjloknya nilai tukar rupiah, kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok. "Orang-orang yang duduk di kursi menteri saat ini memiliki kepentingan masing-masing. Sebab, kebanyakan dari mereka terpilih bukan karena kemampuan yang dimiliki, melainkan karena dapat jatah jabatan. Menjadikan banyak kebijakan pemerintah yang dibuat tidak sesuai sehingga tak mampu menyelesaikan persoalan," tegas Heri.

Menurut Heri, sebelum memutuskan sebuah kebijakan, menteri seharusnya mengkaji dan mempelajari betul isi dari kebijakan tersebut. "Ada tahapan dalam pengambilan kebijakan, yakni dikaji, lalu diujicoba, diteliti untung ruginya oleh sebuah Litbang di Kementerian/Lembaga. Sayangnya Litbang ini tidak pernah dimanfaatkan oleh para menteri. Jadi mestinya, kinerja menteri dievaluasi Presiden. Dan kinerja Presiden serta Wakil Presiden dievaluasi oleh rakyat melalui DPR," jelasnya.

Heri mengatakan, menteri kabinet kerja jangan membuat kebijakan yang aneh. Seharusnya para menteri membangun birokrasi yang Ideal, karena masih banyak persoalan yang menghambat laju pertumbuhan usaha, seperti rumitnya birokrasi dan kepastian hukum yang tegas dan aturan yang jelas.  Masalah birokrasi perizinan di Indonesia sangat jauh dari efisien.

"Pelayanan publik di Indonesia masih tidak efisien dan buruk. Banyak sekali meja yang harus dilewati dalam mengurus administrasi serta membutuhkan waktu yang cukup lama dan bertele-tele. Birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam mengurus perizinan tertentu dan masih banyak pihak yang mengeluhkan mengenai perizinan lantaran birokrasi yang terlalu panjang," kata dia.

Untuk saat ini, sambung Heri, jangan terlalu banyak peraturan atau regulasi upaya yang bisa dilakukan pemerintah antara lain mengatur perundangan dan mengatasi tumpang tindih perizinan. Harus dilakukan Pemangkasan perizinan dan penyederhanaan undang-undang.

"Saat ini Indonesia sudah memiliki terlalu banyak peraturan terutama mengenai pengembangan usaha. Harusnya mulai di stop membuat aturan yang tidak perlu. Cukup harmonisasikan dan selaraskan dengan yang ada. Terlalu banyak peraturan justru bisa menghambat pertumbuhan usaha.  Perizinan usaha pun masih menjadi masalah yang kerap dihadapi. Peraturan harus sederhana dan tidak rumit," paparnya.

Saat ini di Indonesia, pemda terlalu banyak membuat aturan perda begitu juga dengan kementerian yang menerbitkan berbagai Peraturan Menteri (Permen). Selain itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, hal baru belakangan ini yang membuat salah satu faktor ekonomi nasional melambat adalah egoisme kementerian dalam menerbitkan berbagai Peraturan Menteri (Permen) yang banyak bertentangan dan menyusahkan dunia usaha. Aturan-aturan sektoral yang sering kali tumpang-tindih menjadi salah satu faktor munculnya konflik. (tim)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…