TERMS OF TRADE MASIH DI BAWAH 100 - BI: Masih Ada Risiko Ekonomi Global

Jakarta – Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo melihat ke depan masih ada potensi risiko "risk-on risk-off" atau perubahan-perubahan dalam aktivitas investasi dalam merespon pola ekonomi global. Sementara pengamat ekonomi menilai pelemahan rupiah terhadap terhadap dolar AS yang selama ini terjadi bukan semata masalah fiskal dan moneter, terbukti  indeks term of trade Indonesia dalam tiga tahun terakhir berada di bawah 100.

NERACA

"Saya melihat masih ada risk-on risk-off karena yang pertama kita tunggu ini adalah Fed Fund Rate akan dinaikkan atau tidak," ujar Agus saat ditemui di Kantor Pusat BI Jakarta, Jumat (28/8).

Agus menuturkan, beberapa hari lalu Bank Sentral AS menyatakan sepertinya tidak akan menaikkan suku bunga acuannya, tetapi di sisi lain kenaikan suku bunga itu diperlukan. "Kita juga tahu bahwa AS sudah terdesak karena terjadi pengaliran dana ke AS dan membuat mereka menjadi terlalu kuat dan mungkin mereka menjadi tidak kompetitif," ujarnya seperti dikutip Antara.

Namun, lanjut Agus, data-data ekonomi terakhir ekonomi AS sudah menunjukkan perbaikan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal kedua 2015 mencapai 3,7%, di atas proyeksi 3,2%.  "Jadi kita tetap harus waspada termasuk kalau ada 'competitive devaluation' yang dilakukan oleh negara yang ingin menjaga mata uangnya tetap kompetitif," ujarnya.

Terkait banyaknya dana yang mengalir ke AS dan negara-negara maju dalam sebulan terakhir, Agus sendiri menilai hal tersebut terjadi karena kepanikan semata akibat 'global sale' yang terjadi di pasar modal dunia dan diperkirakan akan kembali terkoreksi. Kendati tekanan global memberikan tekanan terhadap nilai tukar, Agus meminta masyarakat tidak panik.

"Kami ingin sampaikan bahwa kami optimis dan kami mohon kepada masyarakat jangan khawatir yang tidak perlu karena sebetulnya ekonomi kita menuju ke arah yang lebih baik. Kalau nanti pencairan APBN dan APBN berjalan dan infrastruktur juga terealisasi, itu akan membuat ekonomi kita mengarah ke yang lebih baik," ujarnya.

Sebelumnya BI juga telah mengubah batas nilai maksimum pembelian valas melalui transaksi spot yang dilakukan tanpa keperluan tertentu (underlying), dari sebelumnya sebesar US$100.000 per bulan per nasabah/pihak asing menjadi sebesar US$25.000.

"Dengan demikian, pembelian valas di atas US$25.000 diwajibkan memiliki underlying transaksi berupa seluruh kegiatan perdagangan dan investasi," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara di Jakarta, akhir pekan lalu.  

Selain itu, BI mengatur pula bahwa apabila nominal underlying transaksi tidak dalam kelipatan US$5.000,  akan dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan US$5.000. Bank Indonesia menegaskan bahwa transaksi yang memiliki underlying, seperti untuk keperluan mengimpor barang, membayar uang sekolah dan biaya pengobatan di luar negeri, atau pembayaran utang luar negeri, tidak akan diberlakukan pembatasan.

"Kebijakan pembatasan pembelian valas transaksi tanpa underlying tersebut, dilakukan BI sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah mengingat masih banyak terdapatnya permintaan valas yang tidak terkait langsung dengan kegiatan ekonomi riil (tanpa underlying transaksi), yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valas, dan mengarah pada kegiatan spekulasi," ujar Tirta.

Sehubungan dengan hal tersebut, BI melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik dan Pihak Asing. Perubahan tersebut antara lain mengatur penurunan nilai transaksi spot yang diwajibkan untuk memiliki underlying transaksi.

Sejalan dengan pengaturan sebelumnya, cakupan pengaturan ambang batas (threshold) tersebut selain mengatur transaksi nasabah kepada bank juga mengatur transaksi antara nasabah kepada Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bank dan KUPVA Bukan Bank. "Dengan adanya penyempurnaan ketentuan ini, diharapkan kondisi pasar valuta asing domestik akan lebih stabil dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat terhadap valuta asing untuk mendukung aktivitas ekonomi," kata Tirta.

Indeks Harga Ekspor

Di sisi lain, pelemahan rupiah terhadap terhadap dolar AS yang selama ini terjadi bukan semata akibat fiskal dan moneter, tetapi juga karena lemahnya positioning Indonesia dalam perdagangan internasional. Ini terlihat dari besaran nilai indeks term of trade Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini berada di bawah 100. Terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dan indeks harga impor.

“Semua perekonomian negara manapun di dunia ini, kalau terms of trade-nya di bawah 100, currency-nya pasti melemah, itu sudah hukum ekonomi. Karena itu jangan heran jika rupiah terus terdepresiasi, artinya nilai rupiah dianggap murah,” tegas pengamat ekonomi yang juga kepala riset PT Rifan Financindo Berjangka Tumpal Sihombing kepada Neraca, Minggu (30/8).

Menurut dia, kondisi seperti ini membawa dampak lebih luas, di mana tatkala kondisi eskternal bergolak, dampaknya akan terasa signifikan bagi perekonomian Indonesia. Untuk meningkatkan indeks terms of trade, Tumpal mengatakan pemerintah perlu meredefinisi kebijakannya untuk fokus dan memperkuat sektor agribinis, yang memang merupakan kompetensi dan kekayaan alam Indonesia.

Selama ini, menurut dia, ada salah kaprah dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi dari sektor manufaktur dan konstruksi. Padahal Indonesia dipastikan sulit bersaing dengan Jepang atau Korea Selatan yang memang sangat kuat di sektor itu. Terlihat dari kontribusi sektor manufaktur yang mencapai 48 persen pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia. “Dengan begitu otomatis impor konten sangat besar, ini membuat Indonesia sangat tergantung dengan kondisi eksternal yang pada akhirnya menekan rupiah,” ujarnya.

Pada lain sisi sebagai negara agraris, kontribusi sektor agribisnis sumbangsihnya terhadap PDB masih kurang dari 20%. Menurut dia, jika kontribusi agribisnis digenjot hingga di atas 25 persen maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih kencang dan mampu menahan gejolak ekonomi global. “Porsi terbesar penyumbang PDB yang menjadi skema dari perhitungan output kita harus diubah prioritasnya dari yang sebelumnya manufaktur menjadi non capital intensif, yakni agribisnis” imbuhnya.

Salah satu langkah memperkuat sektor agribisnis  yaitu memberikan perhatian lebih serius terhadap keberadaan bursa berjangka. Ini penting dalam pembentukan harga jual komoditas di pasar dunia. “Prinsipnya dimana harga terbentuk maka disitu pasar akan bertumbuh,” ujarnya.

Patut diketahui, bahwa sejauh ini sebagai penghasil komoditas Indonesia tidak hanya sebatas pekerja, sementara para spekulan seenaknya menentukan harga negaranya seperti kopi, karet, crude palm oil yang harga acuannya ditentukan di bursa luar seperti Rotterdam atau Malaysia. “Harusnya acuan harga harus ditentukan di Indonesia agar menjadi perhatian investor,” ujarnya.

Selain itu tidak kalah penting Tumpal meminta pemerintah lebih memperkuat keberadaan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebagai regulator perdagangan komoditi di Indonesia sebagaimana pemerintah memberi perhatian besar pada pasar modal melalui Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan.

Sebelumnya Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution memberi saran jitu dalam menghadapi gejolak pelemahan rupiah, yang kini sudah menembus angka Rp 14.000 per dollar AS.

“Sebetulnya, satu-satunya jawaban yang jitu adalah jangan ikuti iramanya tapi ambil posisi lawannya,” kata Darmin kepada wartawan seusai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin rapat koordinasi dengan para Gubernur, dan setelahnya menerima sejumlah pimpinan utama perusahaan-perusahaan besar di tanah air, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/8).

Menurut Darmin, yang pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan pengeluaran pemerintah terutama belanja modal, karena belanja modal masih 20 persen sampai hari ini

Darmin mengatakan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan pengeluaran pemerintah, terutama dari segi belanja modal. Hingga Agustus, belanja APBN baru sekitar 50% dan belanja modal yang terealisasi mencapai 20%%.  Selain itu, jumlah dana daerah yang masih mengendap di bank sangat besar, yaitu sekitar Rp 273 triliun.

Langkah kedua, ujar Darmin, adalah mendorong arus masuk investasi ke dalam negeri. Langkahketiga, menderegulasi secara besar-besaran berbagai aturan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi.

“Pemerintah menderegulasi besar-besaran aturan penghambat, agar investasi bisa lebih lancar dan ekonomi kita bisa bergerak. Kita jangan hanyut mengikuti perlambatan ekonomi. Kita harus maju,” ujarnya.

Darmin juga mengatakan, pemerintah akan membantu pengusaha menghadapi berbagai persoalan, khususnya menyangkut persoalan gudang dan standar produksi.

Dana Kabur

Menurut Institute of International Finance (IIF), akibat sejumlah investor panik belakangan ini, mereka telah membuang ekuitas hingga mencapai US$8,7 miliar atau setara Rp121,8 triliun. Modal tersebut mengalir keluar dari pasar negara berkembang (emerging market) pada Agustus.

“Arus keluar modal bersih mencapai US$4,5 miliar, dengan arus masuk utang (surat utang) hanya setengahnya mengimbangi aksi jual ekuitas,” menurut laporan lembaga itu, Sabtu (29/8).

Itu bulan pertama selama tahun ini, modal negatif bersih mengalir ke pasar negara berkembang (EM), dan kontras dengan Juli yang tenang, ketika arus keluar modal hanya US$100 juta, dibandingkan dengan arus masuk utang sebesar US$6,2 miliar.

Arus keluar itu ternyata sangat intensif pada pekan lalu yang membuat sebuah “flows alert” untuk IIF, sebuah kelompok riset perbankan dan lobi global. “Saat itu saja, tujuh negara dalam sampel arus harian kami mengalami arus keluar US$2,7 miliar,besarnya sama dengan 17 September 2008 selama pekan kebangkrutan Lehman Brothers,” kata IIF.

Alasan utama, menurut kelompok riset itu, adalah gejolak di Tiongkok, di mana bursa saham Shanghai pada hari itu mengalami penurunan tajam 8,5%.

“Harga komoditas lemah dan dikaitkan dengan Tiongkok telah menekan pasar saham negara-negara berkembang, ketika pasar sudah tegang dalam mengantisipasi tinggal landas The Fed,” kata laporan tersebut, mengacu pada ekspektasi kenaikan suku bunga oleh The Fed.

“Pengumuman rezim nilai tukar baru yang lebih berorientasi pasar dan devaluasi RMB (renminbi) pada 11 Agustus meningkatkan kekhawatiran tentang ekonomi Tiongkok dan memicu volatilitas pasar berbasis luas, depresiasi mata uang dan penjualan luas ekuitas negara-negara berkembang,” ujarnya. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…