Rupiah Tersandera US$

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kini mencapai titik nadir, yaitu mencapai kisaran Rp 14.000 per US$. Menurut sejumlah pengamat ekonomi, pelemahan rupiah ini disebabkan banyak faktor seperti persoalan internal dalam negeri dimana pemerintah lamban merealisasikan belanja negara, faktor tim ekonomi Jokowi yang ditengarai kurang dipercaya pasar, faktor perang harga minyak dunia, dan yang tidak kalah penting adalah gelombang resesi ekonomi global yang turut berimbas terhadap ekonomi Indonesia. 


Di sisi lain, pemerintah masih menanggung utang cukup besar sekitar Rp 1.903 triliun. Utang ini merupakan akumulasi dari utang lokal dan internasional. Lokal seperti utang ke Pertamina dan seterusnya, sedangkan utang luar negeri pemerintah seperti ke Bank Dunia, ADB dan lainnya.

Bank Dunia sejak awal memang sangat kontroversial di negara-negara yang pernah atau masih terlilit utang. Semenjak terjadi krisis keuangan global, Bank Dunia dianggap sedang menambal sulam kepincangan sistemnya yang selama ini dijalankan. Kehadiran Bank Dunia di Indonesia, misalnya, telah melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Ini terlihat kontroversi  saat Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intens (LoI) pada 1997 yang selanjutnya dikenal dengan nama Konsensus Washington.

Lantas mengapa perekonomian Indonesia sebelum 1997 yang moncer itu kemudian langsung terpuruk seketika hanya gara-gara diterpa krisis ekonomi? 

Menurut Anne Booth, hal itu terjadi karena biaya regulasi ekonomi nasional yang kemudian disebut pola pembangunan itu sebagian besar disandarkan ke utang-utang yang jumlahnya begitu masif. Ketika tiba saatnya terjadi krisis ekonomi global, lembaga-lembaga besar seperti Bank Dunia buru-buru menarik investasi dan utang-utang di negara yang menjadi pasiennya.

Nah, ketika perekonomian Indonesia ketika ditangani Bank Dunia pada 1997 awalnya sangat menggembirakan karena pertumbuhannya melesat jauh. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi itu tidak sehat, meski menggembirakan. 

Akibat kegagalan kebijakan deregulasi diterapkan di Indonesia akhirnya mengundang keprihatinan berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah ekonom asing seperti pemenang hadiah Nobel Joesph E. Stiglitz, Paul Krugman dan Jeffry Sach, menilai kekeliruan terbesar Bank Dunia adalah kecenderungannya menerapkan kebijakan tanpa mempertimbangkan keunikan problem sosial politik di masing-masing negara.

Seperti tidak berfungsinya negara dan rakyat dalam memainkan peran kontrol terhadap pasar merupakan kesalahan yang fatal bagi negeri ini. Padahal menurut para ekonom Barat itu, keterlibatan negara dan rakyat dalam mengontrol laju pasar merupakan syarat mutlak apabila ingin deregulasi dapat berjalan baik, seperti yang terjadi di negara maju. 

Stiglitz (2007) dalam bukunya berjudul Roaring Ninetees , Bank Dunia digambarkan seperti dokter yang hendak mengobati pasiennya, tapi tak pernah berhasil menyembuhkannya. Penyakitnya bahkan semakin memburuk.  Stiglitz mengritik lembaga keuangan internasional itu, bahwa lembaga-lembaga itu sangat ambisius menjadi dokter yang akan menangani pasiennya, meskipun secara nekad obat yang akan diberikan sesungguhnya resepnya tidak ampuh atau bahkan terlihat sembrono sehingga tidak pernah bisa menyembuhkan. 

Kemudian ketika pemerintahan dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus belajar dari sejarah pemerintah Orba yang terlalu percaya menjadikan Bank Dunia sebagai dokter, sikap pemerintah mulai sedikit berubah.

Salah satunya bentuk sikap pemerintah adalah menunjukkan, tidak mau didikte dan ditakut-takuti oleh gertakan Bank Dunia. Laporan Bank Dunia soal kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya hanyalah perangkap yang pada intinya supaya pemerintah mau menjadi pasiennya lagi. 

Pemerintahan Jokowi kini saatnya harus menunjukkan keberanian bahwa ia memiliki integritas menyelesaikan dan membuat kebijakan strategis sendiri. Tidak ada yang lebih mengerti persoalan bangsa ini, kecuali kita sendiri.

Pemerintah harus back to basic dalam soal kebijakan ekonomi. Karena ini sudah menjadi tuntutan publik yang harus dijalankan. Kembali ke khittah dalam arti supaya pemerintah melakukan nasionalisasi ekonomi sesuai ideologi negara Pancasila, bukannya liberalisasi ekonomi seperti yang selama ini dipraktikkan.  



BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…