Degradasi Kesejahteraan dan BPS

 

Oleh: Shinta Dwi Nofarina

Peneliti INDEF

 

Para petinggi negara Kabinet Kerja berharap cukup tinggi terhadap program Nawacita. Sektor-sektor vital pembangunan ekonomi seperti daya saing, membangun dari pinggiran, hingga mewujudkan kedaultan ekonomi Indonesia merupakan visi utama di pemerintahan presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tujuan utama dari visi yang telah dirumuskan tentu saja untuk menggapai kesejahteraan masyarakat. Tetapi, kondisi kesejahteraan masyarakat belum menunjukkan perubahan kearah yang diidam-idamkan bahkan hingga pertengahan 2015 ini. Alih-alih, kinerja perekonomian dalam satu semester awal menunjukkan degradasi yang cukup dalam.

Data merupakan instrument yang sangat penting dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam situasi genting seperti saat ini, dimana pertumbuhan ekonomi triwulan II 2015 kembali melambat, keberadaan data terutama oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menjadi begitu krusial. Nyatanya kredibilitas BPS dalam menunjang ketersediaan data harus kembali dipertanyakan. Setiap tahun di bulan Maret, BPS melakukan survei sosial ekonomi nasional. Hasil survei akan dipublikasikan pada bulan Juli di tahun yang sama. Namun hingga kini (akhir Agustus) publikasi mengenai indikator sosial dan ekonomi masyarakat (terutama tingkat pengangguran dan kemiskinan) belum juga direlease. Keterlambatan publikasi data tersebut tentu menjadi tanda tanya besar terutama bagi para pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Hal ini juga menghambat proses evaluasi dan penentuan program-program pembangunan di masa mendatang.

Senyampang dengan itu, dapat diperkirakan bahwa indikator kesejahteraan masyarakat sedang mengalami degradasi. Hal ini setidaknya dapat dibaca melalui beberapa point. Pertama, membengkaknya Inflasi Volatile Food. Secara umum,inflasi pada 2015 dinilai cukup rendah. Selama bulan Januari-Juli 2015, akumulasi m-t-m memang baru mencapai 1,90%. Namun perlu diperhatikan, inflasi bahan makanan / volatile food mengalami tekanan yang sangat tinggi. Sejak bulan Mei, Juni, dan Juli tingkat inflasi masing-masing adalah 1,52%, 1,74%, dan 2,13%. Jika dibandingkan dengan tahun lalu di bulan yang sama (Juli), tingkat inflasi volatile food juga mengalami peningkatan dari 2,00% menjadi 2,13%.

Kedua, Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami penurunan. NTP disinyalir mengalami kemerosotan di semua subsector pertanian, baik di sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, maupun perikanan. Ketiga, menurunnya upah riil buruh. Sekalipun pemerintah daerah saat ini banyak yang telah menaikkan Upah Minimum Regional (UMR), tetapi sesungguhnya nilai upah riil sedang mengalami kemerosotan. Upah riil buruh industri terdegradasi 3,5% secara triwulan. Menurunnya upah riil merupakan dampak dari inflasi sehingga daya beli masyrakat tergerus.

                

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…